Melangkahkan kaki masuk ke Toko Vinolia, sekonyong-konyong aku merasa iba dan seperti ditendang balik ke atmosfir Jogja era awal 90-an, ketika belum ada satupun pusat perbelanjaan berkonsep mall diperkenankan masuk ke kota yang berhati nyaman ini.
Toko dengan ornamen standard sangat ala kadarnya.?Deretan sepatu anak-anak yang diletakkan begitu saja, pakaian yang digantung menggunakan hanger kawat di sebuah gantungan melingkar dengan tiang sebagai sumbu dan beroda, display barang-barang yang masih menggunakan rak kaca yang menuntut kita untuk berujar, “Mbak, tolong mau lihat yang itu!”, sambil menunjuk ke barang yang kita minati lalu si Mbak penjaga membuka pintu geser dan mengambilnya, dan ketika memandang ke atas ke dinding toko, alamak, aku masih bisa menemukan beberapa penanggalan terpajang serta jam dinding bulat di dinding putih yang mulai kekuning-kuningan!
Entahlah, setelah sekian lama, barangkali itu adalah kali pertama aku berbelanja di toko yang tidak berada dalam sebuah mall dan aku menyebutnya sebagai sebuah keajaiban.
Keajaiban yang berawal mula dari keenggananku untuk menembus kemacetan lalu lintas Jogja kalau aku harus pergi ke mall, jadi lebih baik memilih untuk mencarikan sepatu anak-anak untuk dikenakan pada acara makan malam pergantian tahun di sekitar hotel saja dan bertemulah aku dengannya, Vinolia.
* * *
Jogja, Desember 1993.
Setengah tahun pertama tinggal di Jogja membuatku begitu bergairah. Sekolah dan kota yang menyenangkan dan tak terasa Natal sudah di sudut ruangan; menggejala riangnya terpancar di langit Jogja.
Dan bagi warga Jogja, barangkali Natal ini adalah Natal yang istimewa karena untuk pertama kalinya hadir pusat perbelanjaan berkonsep mall, Maliboro Mall.
Kami tak lagi harus berbelanja di Gardena, Ginza, Vinolia, U2, Ramai dan Progo dan tak perlu pula kami harus pergi ke Semarang atau bahkan Jakarta hanya demi merasakan sejuk dan menyenangkannya berbelanja di mall, kini kami punya sendiri!
Aku sudah membayangkan bahwa nanti begitu Malioboro Mall dibuka, aku akan ke sana, jalan-jalan, dan ini yang paling penting… merasakan sensasi seperti yang anak-anak Jakarta lakukan yang kerap kulihat di ilustrasi foto majalah remaja yang kubeli; berdiri bersandar ke pagar kaca berbingkai besi bulat yang ada di tiap lantainya lalu menyandarkan tangan di sana.
Lalu aku menelpon Mama.
“Ma!”
“Hey.. piye Le?”
“Aku mudiknya tanggal 23 ya!”
“Oh, kok mepet banget dengan Natal? Kenapa nggak ambil tanggal 18nya kan itu Sabtu dan 20nya kamu ulang tahun!”
“Hmmm.. ya udah, tapi ada syaratnya!”
“Halah, apa itu?”
“Aku minta kiriman duit tambahan karena aku pengen belanja baju Natal dan jajan di Malioboro Mall sebelum pulang!”
Mama setuju (ia sangat jarang tak setuju denganku!). Hari berikutnya, sopir Papa yang kebetulan sedang ke Jogja, menitipkan uang Rp 75.000,00 ke mbak penjaga asrama tempatku tinggal.
Hari yang dinantikan pun tiba.
Sepulang sekolah tanggal 18 Desember 1993, hari itu hari Sabtu, bersama kawan yang kebetulan juga berasal dari Kebumen, aku langsung mengambil bus kota jalur 10 dari depan Gedung Wanita menuju ke Jalan Mataram. Uang 75 ribu kusimpan benar di kantong rahasia celana karena jalur 10 itu sarat dengan copet.
Begitu sampai, kami menitipkan tas dan segala macam bungkusan barang yang harus dibawa pulang di agen travel yang akan kami tumpangi, Bumen Jaya, yang letaknya tepat di pertigaan Jalan Mataram dan Jalan Perwakilan yang menghubungkan kami ke Malioboro.
Dari situ kami jalan sekitar 250 meter jaraknya ke Maliboro Mall. Meski telah dibuka secara resmi, Malioboro Mall ternyata masih menyisakan sisa-sisa material pembangunan yang belum dibersihkan seutuhnya, tapi tak mengapa. Kami melewati deretan becak dan andhong yang diparkir di sampingnya, menembus parkir motor yang tampak begitu kusut; sesuatu yang tak mengherankan karena kebanyakan orang Jogja ya sepertiku siang itu; bergairah ingin merasakan sensasi belanja atau setidaknya jalan-jalan di dalam mall.
Begitu masuk, ribuan orang menyemut, suasananya sama dengan kalau kita jalan-jalan di Jalan Solo ataupun Malioboro tapi bedanya gelontoran AC membuat adem ruangan dan membekap bau apek matahari dan keringat dari ketiak-ketiak kami.
Kami langsung menuju ke Matahari di lantai 2. Sesampainya di bibir Matahari, tiba-tiba aku berubah pikiran,
“Eh, sebentar.. sebentar jangan masuk dulu!”
Aku menghampiri pagar kaca dan menyandarkan tubuh ke pagar lantai gedung yang berkonsep atrium, meletakkan tangan di atasnya memandang ke atas ke bawah dan ah… “Akhirnya aku jadi orang Jakarta!” seruku pada kawanku yang memandangku dengan tatapan aneh.
Di Matahari, karena aku tahu apa yang kucari, tak butuh waktu lama aku langsung mendapatkan sebuah kemeja berwarna khaki dengan motif abstrak bernuansa cokelat; sesuatu yang sedang sangat ‘in’ semacam yang dipakai para personal Java Jive ataupun Kahitna di video klip mereka!
Keluar dari Matahari, waktu menunjukkan pukul 13:45, aha.. masih ada sekitar 1 jam untuk berlenggang sebelum nanti harus agak sedikit berlari ke arah agen travel.
Turun dari lantai dua, dengan terus berjuang menembus kerumunan orang, tujuan keduaku adalah McDonald!?Ini bakal menjadi pengalaman keduaku makan di gerai fastfood Amerika itu setelah yang pertama adalah dua tahun lalu ?ketika sedang berlibur ke Jakarta aku diajak ke gerai mereka di Sarinah oleh keluarga Om Agus dan alm. Mbak In.
Deretan orang mengantri menuju ke kasir untuk memesan, namun aku tak kehilangan semangat.?Lalu ketika ada di depan, aku langsung bilang dengan suara keras-keras supaya orang lain dengar bahwa aku sudah tak asing lagi dengan menu McDonalds, tak seperti mereka yang bahkan dari jauh sudah belajar mengeja nama makanan untuk disebutkan ke kasirnya.
“Mbak, saya pesan satu coca cola ukuran sedang, kentang juga ukuran sedang.. lalu hmmmm..” Aku menunggu Mbak Kasir memencet-mencet tombol untuk menghitung dan mencatat pesananku.
“Ya, mas, ada lagi?”
“Hmm.. saya mau BIG MATCH!”
Ya, aku menyebut Big Mac yang seharusnya dieja sebagai big mek menjadi dengan big mac , seperti ‘c’ pada kata MATCH.
Aku tak tahu apakah ada bibir-bibir yang tersenyum mengulum geli melihat gayaku yang sudah banyak lagak tapi salah, aku terlalu menikmati menjadi ‘orang Jakarta’, siang menjelang sore itu…
* * *
Istriku telah memilih dua sepatu untuk anak-anakku.
“Gimana menurutmu?” tanyanya.
Aku bergegas bangun dari lamunanku, menatap pilihan istriku.
“Hmmmm…” Aku tak langsung menjawab, ia menangkap raut tak terlalu suka di wajahku.
“Kamu nggak suka ya? Kenapa?”
“Hmmm…..”
“Karena sepatunya jelek atau karena kita nggak jadi ke mall jadi menurutmu barang yang dijual diluar mall itu pasti jelek semua?”
Touche! Kena, Don.. Kena!
Aku tersenyum agak kecut.
Baru beberapa menit sebelumnya aku kagum, iba sekaligus bahagia karena bisa masuk ke Vinolia sebagai representasi dari ke-vintage-an Jogja tapi kini ketika aku dituntut untuk menilai baik-buruknya barang yang dijual dan hendak kubeli, mendadak caraku menimbang loncat ke masa kini bahwa barang yang tak dibeli mall pasti jelek!
Ada sesuatu yang timpang dan agak ‘tidak pada tempatnya’ pada alurku berlogika.
Tiba-tiba ibaku terasa begitu telah jauh pergi tergantikan dengan rasa malu yang luar biasa. Malu karena ibarat seorang yang protas-protes kenapa Jogja macet tak seperti dulu lagi, tapi ketika diminta untuk naik sepeda atau angkot di sana dengan sejuta cara menolak dan memilih untuk tetap berada di dalam kabin mobil ber-AC yang juga adalah penyebab kemacetan itu sendiri.
Ibarat orang yang keberatan dengan cara penyiar radio jogja ber-loe-gue tapi ia sendiri dengan lancarnya mengumpat “Kampret loe!” atau “Babi loe!” ke arah tukang becak yang sedang sekuat tenaga mengayuh becaknya supaya tak menutupi jalan yang hendak dilalui mobil mewahmu…
Jogja berhenti nyaman… demikian juga dengan orang-orangnya. Kadang.
Kadang.
Pertama, mau komentar soal bus jalur 10. Itu dulu bus favorit kami anak-anak asrama. Biasanya muncul mendekati pukul 7. Lalu kami cepat-cepat naik, supaya tidak terlambat masuk kuliah jam pertama.
Kedua, soal duit 75 ribu. Yaoloh… kui akiiiih bianget kanggoku jaman semono, Don! Uang sakuku dulu sebulan tahun 96-an, sekitar 60 rebu. Tapi itu memang untuk seneng-seneng sih. Buat beli jajan sama teman-teman saja.
Ketiga, U2 ki ngendi yo? Aku lali hahahaha.
Keempat, McD jaman segitu rasanya sudah keren banget. Bisa makan di sana saja rasanya sudah wah. Dulu aku paling suka es krimnya. Tapi sekarang aku masih suka es krim Tip Top, Don.
Ah, ya. Zaman sudah berubah. Tapi Don, kalau di Jogja aku sebetulnya masih mau kok naik kendaraan umum. Masalahnya, dari rumahku ke luar, sama sekali nggak ada kendaraan umum. Dulu ada angkot kecil, sekarang nggak ada. Dan beberapa waktu lalu, aku sempat menitipkan motorku di Panti Rapih, lalu lanjut naik bus jalur 4 untuk ke Malioboro. Pernah juga dari Stasiun Tugu aku naik jalur 2 untuk sampai Bunderan UGM. Aku lebih suka naik kendaraan umum sebetulnya. Lebih tidak nyaman barangkali ya? Tapi naik kendaraan umum itu ada enaknya lo. Bisa tidur kalau capek. Lagian aku naik motor sih ya kalau di Jogja. Jadi kalau naik kendaraan umum berasa banget nggak kepanasan.
Pertama, Ketuhanan.. eh :) Bus jalur 10 ki memang favorit kami juga tapi sayangnya jarang, jadi sekalinya datang selalu penuh.. penuh penumpang dan COPET :)
Kedua, uang hidupku waktu itu diluar ongkos asrama adalah 110 ribu, Nik :) Aku ingat banget 75 ribu itu habis tunai siang itu untuk beli kemeja seharga 45rebu dan sisanya beli di McD :)
Ketiga, U2 ki asline jenenge U+2, di sebelah Ginza dulu, sempat pindah ke sebelah BCA tapi sekarang kayaknya tutup tersapu oleh toko-toko bahan kain dan gorden :)
Keempat, es krim Tip Top ki legend jhe.
Kelima? Kelimanya mana? :)
emang ga salah ilmu padi, semakin berisi harus semakin menunduk :D
weh.. :) ini padi varietas baru nih ;)
Progo…sampai sekarang masih menjadi idola keluargaku. Libur natal kemarin aku ke situ membelikan wadah plastik tempat makanan untuk ibuku. Keluar dari progo bisa lanjut ke Beringharjo, pasar favorit orang tuaku :D
Aku mulai naik motor sendiri sejak akhir kelas 2 SMA. SD kalau pas tidak diantar jemput, pilihannya becak atau bis. Waktu itu tarif bis Rp. 150 :D. Kemudian SMP dapat lungsuran sepeda dan pilihan menjadi bis atau sepeda.
Naik bis yang paling berkesan itu ya pas jaman SMA. Pulang sekolah naik jalur 3 dari depan SMA ketika lewat jalan Gayam mesti bebarengan mbak-mbak sekolah berseragam rok kotak-kotak. Hmmm….bau kringetnya itu lho…, ono sing isih wangi ono sing ora wangi tapi kok enak :))) Apalagi kalo kondisi bis penuh sesak…. Haduhhhh…. Surga dunia tenan…. Hahahaha……
“….Malu karena ibarat seorang yang protas-protes kenapa Jogja macet tak seperti dulu lagi, tapi ketika diminta untuk naik sepeda atau angkot di sana dengan sejuta cara menolak dan memilih untuk tetap berada di dalam kabin mobil ber-AC yang juga adalah penyebab kemacetan itu sendiri.” Alinea ini menarik :) Sama seperti di jakarta banyak yang protas-protes tapi yahhhh…gitu deh :D
Iya…jogja memang berubah tapi tidak lantas semata kesalahan Jogja. Segenap elemen Jogja, mulai dari pemerintahannya hingga warganya, sadar atau tidak juga membawa perubahan bagi Jogja.
Progo tetap menarik sampai sekarang soalnya di sebelahnya ada yang jual nasi goreng babi terenak seantero dunia akherat! :)
Wah biyen nang malioboro mol trus tuku es krim e mcD wes top bianget :)))
tapi ternyata tempat belanja favorit dr SMP sampe skrg adl mirota kampus! setelah dewasa tambah sama progo :)) di bandung dan jakarta pun masih mbanding-mbandingin sama progo hahaha
Duh aku kok malah lali soal Mirota Kampus pas nulis artikel ini.
Iya, aku juga seneng belanja di Mirota Kampus, banyak mbak-mbak mahasiswi yang sudah agak sedikit lebih rileks ketimbang kalau ditemui di kampus… beberapa ada yang dasteran hahaha :)
Memang manusia penuh kontradiksi ya?
Aku lebih suka naik kendaraan umum di sini, daripada harus menyetir sendiri.
Memang nyaman kalau menyetir sendiri, TAPI seperti yang ditulis Kris, aku SUKA sekali tidur di dalam kereta. Goyangannya (di sini keretanya sih ngga goyang spt di Indonesia, tapi tetap ada goyangan kan) mantap dan membuaiku. Tidur terenak itu buatku di dalam kereta dan mobil hehehe
Aku tak bisa tidur nyenyak kalau tak di kamar sendiri kecuali dalam keadaan terpaksa. Insting detektifku kadang lebih kuat ketimbang rasa kantukku jadi kalau tertidur di tempat yang bukan tempat biasa kutertidur akan sering terbangun hahahaha…