Ketika orang Jogja sendiri banyak memelesetkan slogan kota “Yogyakarta berhati nyaman” menjadi “Yogyakarta berhenti nyaman”, aku berpikir bahwa itulah akhir dari Jogja.
Ternyata tak perlu gempa sebesar atau lebih dari apa yang pernah terjadi Mei 2006 silam dan tak juga butuh jilatan asap wedhus gembel Merapi menyentuh kota, cukup dengan koor ‘berhenti nyaman’ memenuhi timeline social media, habislah Jogja.
Tapi untunglah itu semua hanya ilusi. Jogja terlalu kuat untuk dilumat oleh gempita social media… atau kalau mau berpikir dari sisi sebaliknya, mereka, suara-suara itu tadi terlalu lemah untuk bertindak sama frontalnya dengan cara mereka bicara seperti mencari tempat tinggal yang lebih nyaman selain Jogja, misalnya .
* * *
Sesaat setelah keluar dari bandara pada hari pertama liburanku di Jogja akhir tahun silam, di dalam mobil, Pak Karjo, sopir kesayanganku mengungkapkan keluhannya tentang Jogja, kota yang ditinggalinya sejak lahir hingga lebih dari 50 tahun usianya kini.
“Lha coba lihat ini, Mas?! Macetnya kayak gini, tebak-tebakan sajalah sampai hotel mau berapa lama?” logat Jogjanya begitu kental membuatku awalnya tak terlalu memperhatikan apa yang ia omongkan melainkan menikmati ‘langgam’ bicaranya yang bagiku adalah hal langka yang tak bisa kutemui di Sydney.
“Ini nanti sampai hotel ya kayak gini ini, Mas! Repot kan, Mbak?” Merasa tak mendapatkan jawab rupanya Pak Karjo mengajak istriku yang duduk di sebelahku masuk ke dalam topik bicaranya.
“Wah, payah! Enakan (jaman) dulu ya, Pak?” timpalku.
“Wah.. ya jelas tho Mas! Jauh, Mas… Adoohhhh (jauh – jw)”
Aku manggut-manggut, mataku tertuju pada pinggiran trotoar yang ternyata sama ‘macetnya’ dengan jalanan Jogja, penuh dengan berbagai macam papan reklame mulai dari tempat makan, pusat keriaan, tawaran diskon dari hotel-hotel hingga wajah-wajah para caleg yang cantik dan tampan siap bertarung di pemilu mendatang.
“Sekarang semua kebutuhan juga mahal, Mas…tapi gaji ya nggak naik-naik!”
“Hmmm…”
“Padahal saya pikir itu Jogja yang makin maju ya harusnya bikin rakyatnya tambah makmur. Eeee lha kok malah sebaliknya! Cotho tenan, Mas!”
“Loh, kok bisa dibilang maju itu gimana tho Pak?” tanyaku padanya.
“Loh… apa Mas Donny nggak bisa liat tho? Lha itu hotel banyak magrong-magrong dimana-mana! Ruko di tiap lima meter ada belum lagi mall yang sekarang pating tlecek gitu lho Mas!”
Aku tersenyum mendengar keluhnya terlebih ketika parameter kemajuan yang secara ‘lugu’ dipaparkan pada simbol-simbol hotel, ruko dan mall yang memang mbrontok di seantero Jogja. Bukan satu kesalahan sebenarnya tapi mungkin setelah lima tahun tinggal di negara maju seperti Australia membuat pola pikirku yang semula sama dengan Pak Karjo mulai berubah bahwa kemajuan itu seharusnya diawali dari peningkatan kesejahteraan warganya secara menyeluruh terlebih dahulu bukan pada peningkatan pendapatan dan kesempatan yang secara tak adil selalu diberikan pada para pemilik modal besar seperti yang empunya hotel, ruko maupun mall-mall itu tadi.
“Belum lagi banjirnya, Mas!”
“Oh ya? Jogja ikutan banjir, Pak?” istriku tiba-tiba menimpali. Mungkin baginya ini sebuah kejutan abad ini bahwa Jogja akhirnya bisa banjir juga seperti Jakarta.
“Iya, Mbak!”
“Banjirnya dimana saja, Pak?”
“Karang malang!?” tebakku pasti karena seingatku daerah sana memang langganan banjir bahkan sejak Jogja masih belum ‘maju’.
“Wah ya kalau Karang malang itu pasti, Mas… tapi kalau ngarep kampus njenengan itu banjir! Opo tumon, Mas?!”
“Hah? Depan Duta Wacana itu?”
“Iya! Heran tho njenengan?”
Kali ini aku benar-benar terperanjat! Seingatku di sepanjang jalan depan kampus terdapat dua selokan di sisi kiri dan kanan jalan yang tak bisa dibilang kecil dan dangkal.
Tentu ini karena penetrasi pembangunan yang sporadis dan tidak mempertimbangkan struktur tanah dan air tanah Jogja! Batinku menyelidik.
“Wah, jagate owah nggih Pak?”
“Lha enggih, Mas. Owah! Jelas! Jelas owah!” tukas Pak Karjo mantap.
“Jadi sudah nggak nyaman, Pak?”
“Babar blas, Mas!”
“Kalau kamu ditawari pindah dari Jogja mau, Pak?”
Entah angin dari mana tiba-tiba aku punya ide untuk memancingnya, bukan sesuatu lelucon tapi lebih ke apa benar Pak Karjo yang sangat njawani itu benar-benar sudah tak ingin tinggal di Jogja. Pak Karjo diam. Kupikir ia sedang berkonsentrasi pada kondisi jalan di depannya.
“Kalau kamu ikut aku ke Australia mau, Pak?”
Ia masih diam, tapi dari kaca spion kudapati matanya sedang mencoba menelaah tawaranku tadi pelan-pelan.
“Hidup di Australia itu enak, Pak! Kamu tinggal bawa badanlah pokoknya nanti semua kuurus!”
Ia masih diam. “Pak?”
Aku lantas mencoba memberikan gambaran tentang kehidupan di Australia mulai dari benefit-benefit yang diberikan pemerintah, jalanan yang tidak terlalu macet, banjir yang meski terjadi tapi setidaknya hingga kini belum pernah sampai menggenang Sydney dan apa yang harus ia lakukan untuk menerima tawaranku.
“Pripun? Penak ta?” bujukku sekali lagi.
“Hmmm sebentar Mas, saya masih mikir ini!”
Keadaan hening beberapa saat hingga akhirnya ia membuka mulutnya, “Nggih pripun, Mas! Mau sih pindah tapi kok mikir berat juga ya? Hehehe…”
“Lho, kok berat gimana? Kan tadi bilang sudah nggak nyaman di Jogja?”
“Iya… tapi.. wah… ya gimana ya? Ah mbuh Mas saya jadi bingung!”
“Jadi menurut Pak Karjo ini gimana? Jogja berarti masih nyaman kalau sampai kamu bingung!?”?Mendadak ia tersenyum untuk sejenak kemudian muncullah tawanya.
“Lho, Pak Karjo kok malah ketawa tho? Saya ini serius jhe!”
“Wah, ngapunten Mas.. tapi enggak lah.. saya enggak mau pindah.”
“Jadi mau di Jogja saja?”
“Nggih!”
“Lho katanya tadi nggak nyaman? Macet? Banjir? Mahal?”
“Hehe.. lha pripun, Mas? Kula niku pun… pun manggon jhe teng mriki!”
Seketika setelah ia berkata demikian, kuresapi kata ‘manggon’ adalah kata sakti yang akhirnya meluluhkan kekesalan Pak Karjo tentang Jogja.
Manggon yang kalau diterjemahkan secara bebas bisa berarti ‘homey’, seolah berdiri di atas segala perasaan baik yang masih suka ataupun yang mulai membenci Jogja karena kenyamanannya yang konon terhenti itu.
Ada unsur yang sifatnya tetap dan statis ketika Pak Karjo mengatakan ‘manggon’ meski pada saat yang bersamaan pula aku tahu manggon punya arti yang begitu dalam yaitu kepasrahan. Pasrah terhadap pilihan Tuhan yang menetapkan kita berada di satu tempat dan bukan di tempat lain entah seperti apapun keadaan yang dihadapinya.
Mendung menggelanyut di langit utara kota Jogja, sebentar lagi tampaknya akan turun hujan. Tebakan Pak Karjo bahwa lalu lintas akan merayap hingga sampai ke bibir hotel menjadi nyata sementara mataku tertambat pada baliho caleg bermotto, “Migunani tumraping liyan” pada wajah calegnya yang meski kini tampak klimis, lengkap dengan atribut partai serta embel-embel gelar akademis di belakangnya, aku merasa tak asing lagi, ia adalah kawan sekelas di SMA yang … ah tak perlulah kuceritakan di sini karena hanya akan menambah panjang catatan ini.
Simplicius dari Sisilia pernah berkata “Panta Rhei” yang berarti semuanya mengalir dan mungkin yang dikatakannya memang benar, setidaknya jaman, aku, kamu, kalian dan kawanku yang caleg tadi.
Sayang, ia tak sempat bertemu Pak Karjo. Mungkin jika ia bertemu, tentu Simplicius akan memasukkan unsur kata ‘manggon’ dalam ajarannya tadi sebagai pengecualian… Mungkin.
Nek iso milih ndik yoja opo ostrali..tetep milih ndik yoja aku…alesane ning ostrali aku ra iso ritual : kungkum koyo ng sendang kasihan, sendang semanggi..nglarung sajen ng parangkusumo dll…ng ostrali demite ra doyan menyan..repot lah..hehe
tapi kadang urip ki yo kaya omonge Pak Karjo kuwi, dudu pilihan tapi kowe dipilihke dalan :)
Ho’oh mas bro..kondisi ne saiki aku lg dipilihke dalan..yo wis manut :)
“Jogja Berhenti Nyaman” hanya untuk kepentingan jualan atau orang yang menganggap bahwa kenyamanan adalah hal yang instan.
Buzzer maksudmu? :)
ya jenenge we wis manggon, sudah merasa mapan. piye maneh.. :D
Nah, bener! Aku lali istilah ‘mapan’ malah langsung cari padanannya dalam english sebagai ‘homey’ :)
Aku wes dadi warga bandung & tetap merasa jogja rumahku. Tapi tiap pulang merasa gelisah & getun sama perkembangan jogja. Sayang bgt kl jogja menyusul spt bandung yg tata kotanya jd amburadul ga nyaman. Padahal yujo ki dikaruniai banyak hal yg jauh lbh enak daripada bandung mis soal air. Kalo jogja jd bener2 berhenti nyaman waduh :cry:
Kegelisahan itu tanda hidup yang berdinamika. Berbahagialah :)
Gedung-gedung megah tampak bermekaran di berbagai tempat di Jogja, menurutku itu adalah konsekwensi dari perkembangan zaman. Ibarat tanaman, ia akan terus bertumbuh dan bertunas. Yang patut dipikirkan adalah bagaimana membuat “jiwa” yang dimiliki Jogja dapat tetap bertahan..
Tepat, Uda! ini semacam kesimpulan dari tulisan ini, terimakasih.
Jadi, akhirnya menetap di Jogja? *lari :)
“Fardinkum”(?) expressi orang neg.kangguru)
Wah,baca dialog dan cukilan kisah2 kecil,singkat dan padet..
sungguh sedaaap rasanya.Gayanya sangat relax dan nature.Tidak terlihat “dipaksakan……..
Ucapan Syukur mas Donny….
Makasih, Mas:) Salam kenal dan sering-sering mampir kemari ya :)
Meskipun kata bapakku “Home is where your heart is”, untuk membuat homey, perlu chemistry antara kita dan tempat itu. Ada beberapa tempat yang ingin aku tinggali, tapi ada beberapa tempat pula yang aku tahu, aku tak bakal kerasan di situ. Yogya itu bisa homey buatku, tapi lain halnya dengan Denpasar/Bali :D Dan tentu saja itu individual sekali ;)
Ya, chemistry berarti kata kuncinya ya :)
Kalok saya maunya di oz ajalah mas… di canberra aja… ndak mau balik ke indonesia.. mau jogja, sorong apalagi jakarta…..
Eaaaaaaaa.. :))