Yogyakarta (1)

6 Jan 2014 | Cetusan

Sepupuku ini, Deli namanya.

Bulan Desember, delapan belas tahun silam, sang ibu yang berdomisili di Jakarta, pulang ke rumah orang tuanya di Klaten untuk melahirkan Deli, anak semata wayangnya. Aku sempat membantu menimang serta menggendong Deli sejak sekitar dua minggu usianya, masih merah, dibedong, mungil.

Tak kusangka, setelah begitu lama tak bertemu, pada acara peringatan 1000 hari meninggalnya Papa di Klaten, 28 Desember 2013 kemarin, aku berjumpa lagi dengannya. Ia kini telah menjadi seorang gadis yang matang, menyandang status sebagai mahasiswi Fakultas Geologi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

“Tingkat berapa, Dik?”
“Baru masuk September kemarin, Mas!”
“Oh masih awal-awal berarti. Ngekos?”
“Iya!”
“Di daerah mana?”
“Pogung!”

“Walah…! Pogung itu jaman Mas Donny masuk Jogja dulu masih banyak sawah dan rasanya kalau ke sana setelah surup nggak berani saking sepinya!”

Deli tersenyum. Aku tau senyumannya, menyiratkan arti bahwa Pogung sekarang, seperti halnya kawasan lain yang 20 tahun lalu masih sepi tapi kini telah berubah menjadi deretan rumah mewah dan ruko-ruko tempat usaha dengan beberapa rumah asli nyempil di antaranya menunggu hingga dijual pemiliknya.

* * *

Kebumen, akhir tahun 1992.
Semua berawal dari lagu milik KLa Project, Yogyakarta.
Waktu itu, aku masih duduk di bangku kelas III SMP dan sebelumnya hanya mengenal bahwa Jogja itu sebatas Malioboro, sebuah toko optik kecil di sudut Jalan Perwakilan tempat Papa selalu membelikanku kacamata baru tiap tahunnya, Keraton… lalu apalagi? Hmmm.. paling banter Jalan Solo dengan Gardena dan Ginza-nya!

Tapi lagu itu mengubah semuanya.
Suara derap kuda penarik andhong yang dijadikan ketuk irama dari perangkat drum Ari Burhani, string rhytm nan syahdu yang dibesut Adi Adrian, melodi gitar yang membius meski kesannya hanya ‘satu-dua-tiga’milik Lilo serta suara yang menurutku masih susah dicari tandingan tingkat kesenduan sekaligus ‘laki-laki’ milik Katon Bagaskara seolah menarikku untuk mengenal lebih dalam tentang Jogja.

Bagaimana kalau aku melanjutkan studi di Jogja? pikirku.
Ah, tapi tak mungkin. Belum lama ini aku telah berjanji dengan seseorang yang kubahasakan sebagai pacar di sudut tempat parkir sepeda di sekolah ketika keadaan sepi lengang, “Aku nggak akan pindah kemana-mana. Aku tetap di Kebumen saja! Janji!” matanya yang sembab memancar kembali, tanganku diraihnya ke pipinya lalu dicium begitu saja.

Tapi lagu Yogyakarta yang nyaris setiap hari diputar di radio yang kudengar dalam kamarku seolah membius mengajakku untuk tak terlalu mengindahkan janji itu.

Ah, di Jogja cari pacar yang cantiknya lebih sekian kali lipat dari dia pasti ada, Don!
Salah! Tepatnya, di Jogja banyak cewek yang mungkin puluhan kali lipat cantiknya dari dia, tapi yang mau denganku?!?

Semesta lantas menunjukkan betapa Tuhan telah menggalurkan jalan hidupku sedemikian uniknya.?Aku putus dengan pacarku hanya beberapa bulan sebelum lulus SMP. Kali itu gantian aku yang berkaca-kaca karena ia yang mematahkan janji, bersama keluarganya ia harus pindah ke kota lain selepas lulus nantinya.

Tapi uniknya, ketika kembali ke rumah, memutar radio dan menemukan lagu Yogyakarta disiarkan, duka itu hilang perlahan, tergantikan dengan sebuah gelembung yang makin lama makin membesar bertajuk Y-O-G-Y-A-K-A-R-T-A tapi aku memanggilnya sejak saat itu sebagai sebuah masa depan.

Pada suatu pagi ketika sedang menyantap sarapan di meja makan sebelum berangkat ke sekolah, tiba-tiba aku mendengar intro lagu itu. Aku melompat begitu saja ke kamar lalu kembali ke meja makan tempat Papa dan Mama serta Citra sarapan dengan membawa radio dan memutar volume keras-keras,

“Ini lho! Aku lagi seneng banget lagu ini!”
Lalu semua diam mendengarkan. (dari dulu keluarga kami memang sangat mengapresiasi ketika aku meminta mereka mendengarkan musik yang kusuka)

Papaku manggut-manggut, “Apik! Marai kelingan Jogja! (Bagus, jadi ingat Jogja -jw)”
Papa dan Mama memang memiliki sejarah yang ditoreh di kota Jogja. Mereka berkenalan lalu berpacaran di sana dan aku tahu bahwa ini adalah awal yang baik untuk menghadirkan gelembung harapanku itu tadi.

Hari-hari setelah pagi itu, kami sekeluarga keranjingan Yogyakarta.
Papa membeli kaset album ‘Kedua’ milik KLa Project, tempat lagu Yogyakarta bersarang tak lama sesudahnya dan kaset itu menjadi barang buruan bagi penghuni rumah. Pagi diputar Mama di kamarnya, siang sepulang sekolah kurebut untuk ku-stel di ruang keluarga lalu pagi berikutnya tiba-tiba sudah nangkring di pemutar kaset dalam mobil Papa.

Hingga datanglah suatu pagi yang lainnya.
Ketika kami sedang menikmati sarapan dan lagu Yogyakarta baru terlewat beberapa menit (sedang masuk intro lagu berikutnya, Lagu Baru), aku mengutarakan niatku untuk melanjutkan studi ke Jogja.

“Pa, aku arep matur. (Pa, aku mau bicarajw)” Remote tape kuraih, kukecilkan sedikit volumenya.
“Ya? Apa, Le? Matura…(Ya, apa Nak, bicaralah -jw)”
“Aku boleh melanjutkan SMA di Jogja, Pa?”

Aku menggunakan kata ‘boleh’ sebagai sumbu arti yang menyangkut sisi finansial bahwa ia akan sudi membiayaiku maupun kerelaan mereka untuk melepasku pergi karena kutahu bahwa sekali aku pergi dari rumah, sejak saat itu pula aku hanya akan menganggap rumah sebagai tempat hunian selama liburan untuk selamanya.

“Arep sekolah neng endi neng Jogja? (Mau sekolah dimana di Jogja? -jw)”
“Mbuh… pokokmen di Jogja! (Entahlah… pokoknya di Jogja! -jw)” jawabku.

“Boleh! Tapi kalau bisa cari yang negeri dan yang bagus karena selain murah juga peluang kamu masuk UGM bisa besar nantinya!”

Gelembung harapan itu kulihat semakin besar lalu meletus. Jogja saat itu kupandang bukan lagi sebagai harapan, tapi sesuatu yang sudah berada di depan yang akan kudatangi, raih dan jalani.

Aku tak terlalu menghiraukan pesan Papaku yang lainnya karena aku sudah terlena dengan ‘Boleh!’ -nya dan bagiku itu sudah cukup, lebih dari cukup malah!

Tanggal 16 Juli 1993, aku mulai menetap di Jogja. Bukan di SMA negeri seperti pesan Papa tapi di SMA yang pola pendidikan dan atmosfirnya lantas sangat mempengaruhi jalan hidupku. Dan soal UGM… Ah itu untuk nanti-nanti saja, pokoknya aku di Jogja! Itu dulu…

* * *

Yogyakarta, 16 Juli 2008
Hari itu aku menuliskan posting berjudul Yogyakarta, setelah lima belas tahun di blog ini dan aku menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa karena kalau semuanya sesuai rencana, aku akan pindah ke Sydney, Australia yang berarti hari itu adalah saat terakhirku merayakan ulang tahun domisiliku di Jogja.

Berlagak seperti seorang penulis tenar, aku merasa perlu mendengarkan lagu Yogyakarta ketika aku menuliskannya untuk mereguk ‘jiwa’ dari lagu yang telah kudengar selama enam belas tahun itu.

Tulisan selesai dan kupublikasikan, aku lantas menjalankan rencanaku selanjutnya; menghapus file lagu Yogyakarta dari komputer serta seluruh gadget pemutar lagu yang kupunyai.

Belajar dari pengalamanku enam belas tahun sebelumnya, aku telah memutuskan untuk tak mendengarkan lagu itu hingga aku pindah ke Sydney, bahkan kalau perlu hingga beberapa bulan setelah aku berada di sana pokoknya sampai rasa kangen terhadap Jogja menghablur ke udara.

Beberapa stasiun radio yang menurutku potensial untuk mengumandangkan lagu Yogyakarta juga kuhindari. Hal ini kulakukan dengan mudah, biasanya hanya radio-radio ‘berjiwa’ lawas yang masih mau memutarnya sebagai konsumsi harian ditengah gencarnya radio-radio Jogja yang berubah haluan (ataupun tiba-tiba datang) membawa nyawa baru dengan lagu-lagu yang baru yang menurutku tak masuk ke telingaku (atau mungkin telingaku yang menua?) yang lebih ke-ibukota-an, ke-jakarta-jakarta-an lengkap dengan ‘loe’ dan ‘gue’ nya.

Aku tahu benar diriku. Dengan tipikal romantis-melankolisku, gara-gara sepotong lagu, kebulatan tekad untuk keluar dari Jogja bisa-bisa lumer lagi.

Namun ‘malang’ tak dapat kutolak. Pada suatu malam yang basah, ketika sedang membeli bensin eceran untuk sepeda motor bututku pada sebuah warung pinggir jalan, tiba-tiba suara itu menembus telingaku dari radio pemilik warung,

“Terhanyut aku akan nostalgia, saat kita sering luangkan waktu nikmati bersama suasana Jogja!”

Asu! Batinku. Helm cepat-cepat kembali kupakai supaya telingaku teredam tak mendengarkan terlalu jelas suara itu. Segera setelah membayar aku tancap gas dan mengendarai motor kencang-kencang.

* * *

Setelah acara 1000 hari meninggalnya Papa selesai, sesaat sebelum kembali ke hotel bersama anak-istriku, aku meluangkan waktu meriung dengan keluarga besar di samping rumah. Ini kesempatan langka karena jarang-jarang keluarga besar yang tersebar ini seluruhnya bisa hadir tumplek blek di satu tempat di satu waktu.

Hampir semua kuakrabi satu per satu meski mataku sebenarnya tak pernah bisa lepas dari Deli. Kupelajari tingkah lakunya, kuresapi tiap kata-katanya yang ia pilih untuk bercanda, tapi ada sesuatu yang lantas membuatku memanggilnya.

“Del.. Deli! Kemari!”
“Ya, Mas!” Kami lalu berhadap-hadapan.

“Apa yang membuatku pengen pindah ke Jogja?”
“Hmmm… abisnya nggak ketrima di ITB, Mas… jadi ya udah ke UGM aja.”
“Jadi kalau diterima di ITB waktu itu, kamu gak ke Jogja?”
“Nggg.. enggak! Malah waktu itu Ibu maunya aku di Jakarta ajah”?Pada ‘ajah’ nya itu kutemui sesuatu yang masih terlalu ‘Jakarta’ untuk ia yang sudah enam bulan berada di Jogja.

“Kalau Mas Donny dulu ke Jogja karena mau ke De Britto (nama almamater SMA-ku) ya?”
“Uhmmm.. kalau sekarang mungkin jawabannya iya, tapi kalau dulu sebelum pindah, bukan!”
“Lalu?”
“Mas Donny pindah karena lagu Yogyakarta!”

“Lagu Yogyakarta? Yang… mann… naaa ya?” Deli memainkan mata ke atas seolah meminta benaknya mengingat-ingat sesuatu yang tak tersedia di baris atas ingatannya, jarinya diketuk-ketukkan di bibirnya.

Duh! Aku terkesiap bagaimana mungkin ia tak mengenal lagu keramat itu??”Iya… yang Pulang kekotamu… itu!”

Mulutnya mencoba melanjutkan lagu itu, ingatan itu mulai muncul ke benaknya.
“Ohhhhh… i see! Lagunya Ungu, kan!?”

Aku terdiam. Kali itu aku merasa sejuta topan badai seperti mengerjap-kerjap di langit tepat di atas kepalaku.

Ada kawan di luar Yogyakarta bertanya: Yogyakarta sejauh mana sudah berubah?
Saya jawab: Kalau dulu, Yogyakarta itu seperti mendengarkan lagu Yogyakarta yang dinyanyikan KLa Project. Kalau sekarang, seperti mendengarkan lagu Yogyakarta yang dinyanyikan Ungu.
(penggalan ini kukutip dari status Facebook milik?
Iwan Pribadi, kawanku, kangmasku!)

Sebarluaskan!

17 Komentar

  1. Jogja berhenti nyaman mas dab

    Balas
    • Nggak lah… tetep nyaman kok ;)

      Balas
  2. Bener kuwi, Jogja Berhenti Nyaman.

    Balas
    • Bener? Pantes kowe urip neng Jakarta :D

      Balas
  3. Semoga Jogja bisa kembali nyaman ya..

    Balas
    • Amin! :)

      Balas
  4. Jogja, mau sampai di mana ia melaju, ada sisi kenangan ku di sana…..!

    Balas
    • Kenangan apa iki? Ayo curhat! :)

      Balas
  5. apiiik tulisane mas. Dijadiin film pendek iso ki :D

    Setelah beberapa kali pulang dan mendapati jogja yg berhenti nyaman rasanya tinggal nostalgia yg membuatku terikat dengannya. Ada kekhawatiran jogja jadi makin mirip bandung & jakarta utk semrawut-komersil-dan macetnya :|

    sekarang punya impian masa tua pun tak lagi menetap di jogja tp kota yg lebih tentram spt wonosobo or magelang.

    Balas
    • Nuwun, Dik Meong :)
      Kok sama ya, aku juga pengen menetap di kota lain di sekitar Jogja pokoknya yang masih bisa melihat Merapi tiap hari mungkin Klaten atau mBoyolali kayaknya ok juga :)

      Balas
  6. belum pernah dengar Ungu (tepatnya TIDAK MAU mendengar)

    yahhh diingatkan lagi bahwa aku sudah semakin tua, dan meskipun terus berusaha mengikuti yang baru, tetap saja masih merasa bahwa yang “KUNO” itulah yang ASLI dan terbaik!

    Balas
    • Jadi rumus seberapa tua kita adalah seberapa kita tak suka dengan hal yang berbau modern ya :)

      Balas
  7. asem! mblusuk2 blog ini dan berhenti disini, tiba2 ipad muter Yogyanya KLA. Jogja itu sampe kapanpun bakal tetap istimewa ya mas.. *langsung mellooow

    Balas
    • Hehehe.. jogja istimewa.

      Balas
  8. Mas, saya hanya orang asing yang tiba-tiba nyasar ke sini dan kebetulan membaca ini. Saya sekarang sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta, STAN Yogyakarta (percayalah orang-orang, ada STAN di Yogyakarta) dan tahun ini akan diwisuda, lebih lagi akan pindah dari Yogyakarta (karena masalah kontrak penempatan, kecil kemungkinan akan tetap berada di Yogyakarta). Maaf berpanjang lebar, jujur saya cinta dengan Yogyakarta. Apalagi tanggal lahir kami berdua sama, 7 Oktober. Sampai-sampai, kelak kalau saya punya anak akan saya namai Mohammad Yogyakarta. Sepertinya itu saja. Senang bisa memiliki pengalaman yang sama dengan seseorang tentang Yogyakarta. Salam kenal, mas (yang sampai saat ini saya belum tahu namanya siapa, maaf). :D

    Balas
    • Wah keren, Mohammad Yogyakarta. Masalahnya sudah ada calon ibunya Mas Mohammad Yogyakarta, Mas ? :)
      Nama saya Donny Verdian hehehe

      Balas
  9. Wah, ini yang mas maksud “Adel” itu? Aku baru ingat ternyata itu teman SMP, sayangnya aku jarang bertatap muka dengannya, maklum dulu aku masih kuper sekali. :(

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.