Zakharia: Ikut Tuhan itu gak segampang nyangkem?

20 Jun 2019 | Tokoh Alumni De Britto

Zakharia Primaditya adalah tokoh kesembilan belas dari tujuh puluh Tokoh Alumni SMA Kolese De Britto yang kurencanakan. Zakharia kukenal secara tak sengaja dari seorang kawan alumni lainnya, Wempi. Wempi menganjurkanku untuk mewawancarai Zakharia yang ikut Tuhan ?hidup, bertumbuh dan belajar? di Tanah Papua. Tapi waktu itu tanggapannya ku-iya-in aja karena toh aku tak tahu bagaimana menghubungi Zakharia.

Tiba-tiba, tak berselang lama, ada sebuah nomer handphone menghubungiku via WhatsApp. Ia memintaku untuk menambahkannya ke dalam Grup WhatsApp ?Kabar Baik?, grup yang kudirikan untuk diskusi tentang renungan Injil harian. Mudah ditebak berikutnya, orang itu ternyata Zakharia!

Dari situ aku tak langsung menjadikannya sebagai tokoh alumni. Aku mengamatinya terlebih dulu untuk beberapa lama hingga akhirnya ternyata benar, dia memang brilian dan baik untuk diangkat menjadi tokoh alumni.

Bukan karena kesuksesannya dalam hal-hal yang mainstream tapi justru pilihan hidup dan keputusan-keputusan yang dilahirkannya yang semuanya diarahkan untuk kemuliaan Tuhan.

Zakharia dan istri, ikut Tuhan
Zakharia dan istri, ikut Tuhan

Bagiku, Zakharia adalah sudut pandang kecil tentang bagaimana menghidupi semangat Ad Maiorem Dei Gloriam secara nyata.

Simak obrolanku dengan pria lulusan SMA Kolese De Britto tahun 2003 yang kubuat awal tahun ini sebelum ia pamit untuk undur diri ke pedalaman Kosarek, Yahukimo, Papua, ?Di sana nggak ada sinyal, Mas!? begitu katanya.

[DV] Dalam penjelasan singkat, apa yang kamu dan istrimu lakukan di Papua?

[ZP] Hidup, bertumbuh dan belajar di tempat di mana Tuhan memanggil kami dengan talenta yang Tuhan beri. Tempat yang Tuhan tunjukkan adalah Kosarek, Papua.  Dan telenta adalah anak-anak. Jadi kami berproses dan saling belajar dengan anak-anak di sana.

Pada prakteknya, dalam keseharian, apa saja yang kalian lakukan?

Kami berproses  tidak di dalam kelas tapi melalui pendekatan alami. Nongkrong bersama mereka. Memperlihatkan video-video permainan, belajar musik dari yang mereka mau, berkebun dan memasak.

Fokus awal dan yang mau kami jadikan etos adalah sebanyak mungkin semua harus berasal dari kemauan mereka sendiri dulu. Dari situ kami pelan-pelan mengikuti cara berpikir mereka dan bisa melakukan pendampingan dalam bertumbuh.

Orang seusiamu, (34 tahun -red) biasanya sedang menuju puncak karir di perusahaan atau memetik hasil dari usaha bentukan sendiri dan mulai merasakan hidup nyaman bersama keluarga. Kenapa kamu malah meninggalkan impian itu dan pergi ke Papua?

Itu hasil pupukan Bapak yang mewanti-wanti supaya aku jangan mau terikat pada materi dan memang kami sekeluarga tidak pernah hidup berkelebihan. Kemudian di De Britto aku dipupuk untuk berani hidup susah.  Jadi ya memang Tuhan menyiapkan semuanya tanpa kusadari untuk bisa hidup seperti sekarang ini. 

Setelah mengikuti panggilan Tuhan, walau hidup tidak di zona nyaman, tapi kami betul-betul merasa bahwa semakin berani ikuti jatuh bangun memikul salib, semakin Tuhan memberi berkat yang juga makin mencengangkan! 

Tidak berlebih, tidak yang kita mau tapi benar-benar yang kita butuhkan. Dan ketika melihat banyaknya anak-anak yang mau belajar bersama pada akhirnya memiliki karakter yang berkenan kepada Tuhan maka ketidaknyamanan itu menjadi semakin tidak berarti. Walau prosesnya memang nggak segampang nyangkem hahaha?

Sumber dana pelayananmu darimana?

Sebagian besar datang dari jaringan pertemanan, sebagian lagi dari jemaat beberapa Gereja serta tabungan kami pribadi yang memang untuk pelayanan ini. Itu modal dan pada prinsipnya ada yang mau nambahin atau tidak pokoknya tetap jalan. Iman adalah modal terbesar hahahaha!

Kamu melibatkan Tuhan dalam mengerjakan segala sesuatu. Bagaimana kamu memahami Tuhan?

Aku memahami Tuhan justru awalnya dengan mencoba lari dariNya.

Zakharia yang sarjana lulusan Universitas Parahyangan Bandung jurusan Hubungan Internasional, sejak kecil diperkenalkan oleh ayahnya untuk membaca buku dan bereksplorasi dengan lingkungan sekitar. Hal itu memicunya untuk mulai merasa gelisah pada social justice, ketimpangan ekonomi, moralitas dan lain-lain.?(DV)

Sebagai remaja, aku mengambil jalur sebaliknya. Menjauh dari Gereja dan mencari jalan lain yang tetap bisa menjawab keresahanku akan persoalan-persoalan kemanusiaan. 

Aku menjalani beberapa kegiatan kemanusiaan bersama beberapa NGO untuk membuktikan bahwa aku bisa hidup tanpa Tuhan. Tapi kemudian yang kurasakan, aku kalah dan Dia menang.

Kok bisa?

Aku merasa kosong dan perjuangan-perjuangan serta pembuktian itu seolah tidak pernah habis. 

Dimana hal itu terjadi?

Di Wamena (Papua), ketika melakukan sebuah aksi kemanusiaan bersama sebuah NGO. Aku frustrasi karena merasa gagal dalam aksi itu dan di situ aku sadar ternyata tujuan akhir dari semua ini adalah untuk diri sendiri dan itu salah!

Tapi Tuhan memanggilku melalui banyak cara. Pada saat mau pulang karena merasa gagal, di Bokondini (distrik di Kabupaten Tolikara, Papua) aku bertemu misionaris. Di situ lantas aku memutuskan bergabung dengan sekolah rintisan miliknya. Itu kujadikan pertaruhan terakhir sebelum benar-benar menyerah.

Tak disangka, di situ aku dibentuk untuk menyadari panggilan yang sebenarnya yang sudah ada dari dulu tapi aku berusaha lari terus dariNya.

Dekat dengan Tuhan pasti berkat doa. Menurutmu doa itu sepenting apa dan bagaimana cara berdoamu?

Dari pengalaman, aku semakin mengamini bahwa doa itu kekuatan ampuh.  Doa bagiku adalah curhat ke Tuhan, bukan doa dalam a legalistic way? close your eyes and hands and pray before sleep and eat. Doa itu kayak ngobrol dengan Tuhan. Kadang kalau sampai nangis-nangis dan teriak-teriak sedikit kepadaNya saat bingung dan sesat tak mengapa.

Ada pengalaman menarik terkait doamu?

Ada. 
Sekitar enam tahun di Bokondini, aku sudah merasa mulai nyaman dan anak-anak yang kudampingi semakin bertumbuh.  Tiba-tiba pada suatu malam aku sadar Tuhan meminta kami keluar dari situ. Ia memberi petunjuk untuk pergi ke daerah Yahukimo dan dari sana Ia akan memberi tanda.

Rasanya tentu berat apalagi untuk itu kami harus berjalan berhari-hari melewati medan hutan dan pegunungan. Tapi tetap kami jalani. Dalam perjalanan yang memakan waktu berhari-hari itu kami bahkan sampai tersesat di hutan. Kami berdoa, mencak-mencak ke Tuhan dan Dia menjawab di dalam doa, meminta supaya kami kembali ke titik awal.

Tapi bagaimana mau kembali ke titik awal kalau jembatan yang tadinya ada untuk menuju ke sana sudah hanyut terbawa banjir? Dua malam termasuk salah satu malamnya adalah Malam Tahun Baru, kami diam di tepi sungai yang ganas. Di situ kami mencak-mencak lagi kepada Tuhan dan akhirnya kami berjalan memutar untuk sampai ke titik awal.

Di sana kami diberi tahu oleh beberapa penginjil bahwa pada malam tahun baru, saat kami sedang tersesat, di daerah itu ada sedikit ?drama keributan? yang terjadi. Mereka pun bilang, ?Untung kalian tidak datang kemarin!?

Sesudahnya, sesampainya kami di Yahukimo, seorang pemimpin di sana merekomendasikan kami untuk pergi ke kampung di belakang gunung di arah seberang dari tujuan awal kami. Dan itulah Kampung Kosarek, tempat tinggal kami sekarang.

Itulah pengalamanku terkait dengan doa, Mas? Tuhan memberitahu, Tuhan menunjukkan, Tuhan pula yang menuntun.

Banyak orang jaman now yang semakin meninggalkan Tuhan dalam membuat keputusan-keputusan penting mereka.  Ada pendapat soal ini?

Apakah bedanya aku sama mereka sampai bisa menghakimi mereka ketika sekarang aku sudah “selamat?, Mas?

Toh kalau memang selamat, yang menyelamatkan dan mengubah hati panggilanku ya cuma Gusti Yesus. Untuk mereka, aku cuma bisa mendoakan saja?

Tapi barangkali mungkin hal itu terjadi karena memang tawaran dunia sekarang adalah having.. what i want.. what I like.. what I love.. I want to own..  Padahal semakin mendapatkan, semakin kosong karena rasa puas itu nggak ada batas pencapaiannya?

Zakharia ikut Tuhan bersama anak-anak di Papua
Zakharia ikut Tuhan bersama anak-anak di Papua

Ada pula banyak yang memilih untuk tak beragama meski tetap ber-Tuhan … Ada juga yang semakin terkikis nilai-nilai ketuhanannya, bersikap atheis meski tetap baik pada sesama. Bagaimana menurutmu?

Soal keterkikisan nilai-nilai ketuhanan, yang terpenting adalah pemuridan. Itu pula yang jadi alasan keterpanggilan kami mengenai aksi pemuridan yang makin luntur. 

Tapi kami mah level kroco, Mas.  Jadi mainnya hanya di kampung yang terisolasi seperti Kosarek ini yang cenderung lebih mudah karena kurang banyak distraksi dan godaan dunia hahaha.. 

Kalau soal atheis yang berhati baik itu adalah hal yang paling sulit untuk kujawab. Banyak kawanku yang sedang ada dalam tahap ini dan aku masih bergumul dengan Tuhan tentang bagaimana cara terbaik untuk menghidupi iman bersama mereka. Jadi aku gak bisa jawab, Mas! Takut jawabanku agak kurang berhikmat.

Kamu lulusan De Britto, adakah nilai-nilai khas dari sana yang kamu pakai dan ingat sampai sekarang?

Man for others dan man with others itu salah satu pupuk intensif di De Britto yang ditanam di ?tanah? Ad Maiorem Dei Gloriam (AMDG – Demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar -DV).

Makin lama aku makin sadar AMDG itu benar-benar prinsip yang kalau dijalani beneran akan memberkati banyak orang dan diri sendiri. Pekerjaan apapun kalau tujuannya untuk memuliakan Tuhan (AMDG) akan josss! 

AMDG juga yang benar-benar membuatku merasa lebih kuat dan berani dalam mengambil keputusan untuk mendengarkan panggilanNya.

Pernah membayangkan hidupmu tanpa Tuhan?

Pernah! Barangkali aku akan keliling dunia sesuai ambisi. Sukses memuaskan nafsu liar adrenalin ke tempat yang paling tidak diinginkan orang dengan topeng menjadi pekerja kemanusiaan berhati emas  hahaha? Tidak menikah dan kalau tidak mati muda karena savior sydnrome berarti sudah jadi an old man di mountain cabin dengan old landrover and adopted few children as single parent? Hahaha?

Sebarluaskan!

7 Komentar

  1. Halo mas Don, beberapa waktu lalu jg saya mau nanya kok udah lama nggak update lagi soal 100 tokoh di JB. Mau tanya kelupaan terus gara2 liat mas Don ngosak asik Group WA paguyuban Alumni… Eh ternyata lanjut lagi. Asoy…

    Mas Zakharia keren tenan, mantep.

    Balas
    • Nganu… butuh permenungan dalam untuk mengunggah tulisan Zakaria :)

      Balas
  2. Maturnuwun sudah berbagi cerita seperti ini, Mas. Aku juga sedang jauh dari Tuhan, setelah membaca ini tiba-tiba ada sedikit kerinduan yang aku rasakan.

    Balas
    • Alhamdulilah, Mas…

      Balas
  3. Semoga ini bisa jadi jembatan untuk Tuhan menjadi inspirasi.. bukan saya (Zakharia)nya.. saya adalah pion yang bersyukur sudah dimainkan oleh sang Gusti..
    Terimakasih mas DV bisa mengekstrasi tulisan WA panjang2 yang ga keruan (Pak Kartono karo Pak Prih ga bangga sama struktur tulisku cen.. ha ha) jadi sebuah tulisan yang krenyes dibacanya..

    AMDG

    Balas
  4. Tks sudah diingatkan melalui kisah hidup Zakharia , mendorong sy untuk belajar memrsembahkan setiap keletihan dan perjuangan sy kepada

    Balas
  5. [DV] Dalam penjelasan singkat, apa yang kamu dan istrimu lakukan di Papua?

    [ZP] Hidup, …

    Jawaban luar biasa Mas Zakharia.
    Ayem bacanya, matur nuwun Mas DV.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.