Aku sering ditanya kawan-kawan yang penasaran ingin tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan dulu untuk akhirnya aku bisa tak terlalu kangen Jogja ketika pertama kali pindah ke Australia.
“Tiga!”
“Hah? Tiga hari? Boong!” mata kawanku tadi membelalak tak percaya.?Aku mengangguk tapi lantas menggeleng untuk tuduhan bohongnya.
“Kamu kan cinta mati pada Jogja, kok bisa cuma tiga hari lalu kamu nggak kangen lagi?”
…tiga hari untuk kangen berat terhadap kota yang kuhabiskan lima belas tahun di dalamnya dan begitu menikmatinya, adalah lebih dari cukup.
Eits! Ini namanya pemelintiran opini.
Aku nggak bilang kalau aku nggak kangen Jogja lagi setelah tiga hari itu, kalau kata almarhum Asmuni, itu adalah hil yang mustahal! Lebih tepatnya adalah aku mulai bisa bangkit untuk menyadari bahwa tiga hari untuk kangen berat terhadap kota yang kuhabiskan lima belas tahun di dalamnya dan begitu menikmatinya, adalah lebih dari cukup. Selebihnya aku berusaha menghadapi kenyataan berbekal pepatah lama, Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, suka tak suka karena keputusan untuk pindah dari Jogja adalah pilihan yang kuambil dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan.
“Gitu aja? Cukup dengan semangat dan motivasi yang begitu saja?”?Tentu tidak! Dukungan dari keluarga kecilku adalah yang terutama, ‘rumah adalah tempat dimana keluarga berada’, kan?
Lalu kemajuan teknologi dan kemudahan kita untuk menggunakan dan memanfaatkannya adalah dukungan yang lain lagi.?Social media akhirnya seolah menghilangkan sekat ruang dan waktu di antara kita tak peduli siapapun kamu dan dimanapun. Melalui Facebook dan Twitter aku bisa menyimak dan bertukar kabar dengan kawan-kawan lama di Jogja (serta tak sedikit kawan baru yang kukenal justru setelah aku pindah!).
Awalnya mungkin canggung karena sebelumnya aku bisa menatap mereka langsung, bisa membaui aroma mulut kering mereka ketika bercakap jarak dekat tapi kini harus melalui media teks atau paling banter juga suara dan video dan jarak yang terbentang di antara kami itu 5000 kilometer jauhnya. Tapi lama-kelamaan kita jadi terbiasa bahkan saking terbiasanya, ketika pada akhirnya bertemu di Jogja saat liburan tiba, istilah pelampiasan kangen itu hanyalah basa-basi saja karena kadang kami sudah kehabisan bahan pembicaraan karena memang semua telah terlontarkan melalui social media.
Masih dari hal teknologi tapi dari sisi yang lainnya, klangenan mendengarkan radio Jogja yang dulu selalu kulakukan hampir di setiap waktu senggang baik di kamar kost, rumah/kamar kost teman maupun kantor, kini juga bisa kunikmati melalui radio streaming yang salah satunya biasa kuakses melalui situs web Jogjastreamers.
Menikmati alunan musik pilihan para penyiar, memperhatikan apa yang diucapkan membuat aku merasa seperti masih berada di Jogja. Misalnya waktu mereka berkata, “Bagi kanca muda yang sedang berkendara di Jakal (Jalan Kaliurang) hati-hati ada galian di sekitar perempatan ring road!”?Aku otomatis membayangkan berada di atas sepeda motor, mengenakan helm tertutup dan mengenakan jaket di tengah cuaca panas, lembab dan berdebu di Jalan Kaliurang sana.
Ada lagi?
Ada! Ada beberapa Jogjanis yang tinggal di Sydney yang tak pernah keberatan untuk ditemui karena kami sama-sama kangen setidaknya untuk bicara dalam bahasa Jawa logat Jogja.
Kurang apa lagi?
* * *
Yogyakarta, 1 Januari 2014
Aku meninggalkan Jogja ketika pagi pertama di tahun 2014 masih berusia sepuluh jam saja.
Sisa keriaan pesta masih belum luntur dan pergi meski hujan turun mengganjar Jogja pagi tadi; tercecer di mana-mana, di lantai dansa, meja rumah makan, gedung pertokoan, tembok hotel, baleho tawaran perayaan malam pergantian tahun yang sejak pagi itu telah menjadi kadaluwarsa dan di setiap benak warga Jogja baik yang masih terlelap maupun yang sudah berkeringat beraktivitas sepagi itu, sepertiku.
Sesaat setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal di kamar, pada saat anak dan istriku hendak menuju lobby untuk check out, aku menyempatkan waktu sekian ratus detik melihat ke luar jendela luar yang dalam beberapa hari belakangan kunikmati lengkap dengan Merapinya di sisi utara.
Tapi pagi itu Merapi menghilang.
Awan pekat menutupi sekujur tubuhnya menyisakan bentangan karton putih seluas angkasa.
Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya
Aku tenggelam dalam permenungan.
Yohanes, sang murid kinasih, pernah suatu waktu menulis kesaksian tentang apa yang diucapkan Gurunya ketika kawan sepemuridannya, Thomas, meragukan soal kematian dan kebangkitan Guru itu. Begini tulisnya, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya.”
Aku membayangkan jika saat itu aku mendatangkan seseorang yang belum pernah datang atau bahkan tidak mengenal Jogja dan Merapi sama sekali, ketika kuberi tahu bahwa di sisi utara, di balik awan pekat yang menggumpal itu ada gunung yang konon teraktif di dunia, Merapi namanya, mungkin mereka tak percaya, simply karena mereka tak melihatnya. Baru nanti ketika awan tersingkap dan Merapi menyembul dibaliknya ia akan berujar, “Oh iya, itu Merapi ya?!”
Aku lantas merasa begitu berbahagia bahwa bahkan ketika aku berada di Sydney, setiap kucari langit arah barat laut kota aku tahu nun jauh di sana Merapi bertengger dengan gagahnya meski aku tak melihatnya secara langsung.
Penelaahan apa yang dicatat Yohanes tentang ucapan gurunya lantas kumaknai dalam kaitannya dengan Merapi adalah demikian, berbahagialah aku yang pernah melihat Merapi secara langsung dan ketika aku tak mampu melihatnya, aku mengenangnya berbekal pengalaman ketika tinggal di Jogja dan kalau tetap tak mampu menahan rindu, tinggal buka postingan ini dan melihat foto Merapinya. Maka dari itu aku percaya!
Aku bergegas turun ke lobby. Istri dan anakku telah selesai memroses checkout, saatnya berkemas ke bandara.
Sepanjang perjalanan, Pak Karjo tak lagi grememeng tentang ketidaknyamanan Jogja. Ia sepertinya cukup ‘tertampar’ dengan tawaranku pindah ke Australia yang dimentahkannya begitu saja.
“Kapan tindak mriki lagi, Mas Donny, Mbak Joyce?”
“Ya doakan saja secepatnya, Pak. Nanti kalau ke sini pasti saya kabari!”
Sesampainya di bandara, setelah kami turun dan barang-barang diturunkan oleh Pak Karjo, aku menyalaminya dengan kedua tanganku, berpamitan.
“Kula nyuwun pangestune, Pak Kar!” aku membungkukkan tubuh mohon restu dari sopir kesayanganku itu tadi dan ah, selalu ada cekat yang menguasai kerongkongan yang berkoordinasi sempurna dengan kelenjar air mata ketika tiba masa-masa seperti ini.
Masuk ke area check in, masih dalam situasi hati yang mendadak ‘gamang’, sambil menunggu datangnya pesawat yang hendak membawa kembali ke Jakarta, kami mencari lounge. Setelah mengambil snack untuk pengganjal perut aku segera mencari tempat duduk yang nyaman, menggamit majalah untuk dibaca lalu menghempaskan tubuh ke sana.
Tanpa kusadari sebelumnya, lamat-lamat kudengar suara sengau penyanyi yang dayunya kemelayu-melayuan menyuarakan tembang Yogyakarta dari balik speaker lounge.
“O-MY-GOD! Ini kan….!?!!”
Aku menarik nafas dalam-dalam, menggaruk-garukkan kepala dan tiba-tiba aku ingat Deli, sepupuku.. kalau ia ada di sini barangkali ia akan bergembira ria karena semakin hari, mencari dengar lagu Yogyakarta dari penyanyi aslinya adalah hal yang tak biasa lagi…
hahahaha.. akhirnya sempet dengar juga lagu Yogyakarta yang versi “itu” ya? :D
Iya.. versi mendayu dan kemayu :)
Saya juga termasuk yang percaya bahwa Merapi ada di balik awan itu, Kang.
Sip!
Ayo gae kampung jogja nang sydney Mas Dab…
Ayo! Lokasi neng endi? :) Lidcombe?
Yaah.. gak mampir Bang? padahal udah aku siapin ubo-rampe nya loh.. komplit niih :D
Ngapunten, Mas Dab. Lain waktu kita pasti ketemu!
Barangkali, aku tak perlu menjawab apakah aku yakin di balik awan itu ada gunung merapi bukan? ;)
Semakin yakin berarti kamu semakin jadi warga Jogja, Uda :) Udah pindah Jogja nih resminya? :)
Berbahagialah aku yang pernah mengenalmu dan tahu kamu ada **loh**
Sama seperti bahagianya aku melihat bulan yang sama seperti yang bisa terlihat di Jakarta, seandainya tidak hujan atau tertutup kabut polusi.
TAPI bahagia itu bukan berarti tidak kangen kan? hehehe
duh mendadak kangen Jakarta nih… kamu siiiiih :(
(liat jadwal summer vacation)
Hahahahah enaknya yang tiap summer liburan ke Jakarta :) Mampir ke Aussie skalian Mel :)