Yang Terbaik

7 Mei 2015 | Agama, Cetusan

Peserta dan panitia serta pembicara Seminar Called To Love berfoto bersama di hari kedua

Peserta dan panitia serta pembicara Seminar Called To Love berfoto bersama di hari kedua

Memberikan yang terbaik bagiku adalah perkara totalitas.?Tak hanya waktu, tapi juga bicara tentang hasil yang inovatif; sesuatu yang barangkali belum pernah kita lakukan sebelumnya.

Awal Oktober 2004, lebih dari sepuluh tahun silam, aku mendapatkan mandat dadakan; menjadi ?ketua bayangan? dalam acara bertajuk sangar, Konvensi Nasional Muda-Mudi Karismatik Katolik II Indonesia dan sesuai jadwal akan diadakan pada Januari 2005.

Dalam struktur, aku ditempatkan sebagai wakil ketua, membantu ketua dan anggota tim panitia lainnya yang mangkrak, tak bekerja secara optimal berbulan-bulan sebelumnya.

Tentang tak bekerjanya tim pendahulu secara optimal, hal ini bukanlah salah mereka. Kesalahan justru ada pada yang memilih karena kebanyakan dari panitia terdahulu adalah mahasiswa yang tentu sudah sangat sibuk dalam kesehariannya walau waktu itu aku jauh lebih sibuk dari mereka juga sih hehehe…

Dua bulan waktu persiapan sejak aku ditunjuk tentu bukan waktu yang panjang. Sementara dukungan dari ?atas? baik dari tim keuskupan maupun nasional juga setengah hati dan sebatas doa; maksudku mereka mendukung tapi hanya dalam kata-kata dan doa semacam, ?Ayo Donny, kamu maju nanti Om bantu!? atau ?Jangan takut bekerja untuk Tuhan, Donny!? Oh ya satu lagi, mereka memang menawarkan bantuan keuangan, sepuluh juta rupiah banyaknya tapi itupun dengan catatan, ?Kalau acara sudah selesai tolong dikembalikan!?

blog_ygterbaik_01

Logo acara waktu itu, sepuluh tahun lalu

Lalu apa yang kulakukan?
Hanya dua, bermimpi dan mencari orang yang bisa diajak bekerja sama membuat mimpi itu jadi nyata!

Mimpiku untuk acara itu simple; aku ingin acara konvensi diadakan di hotel, bukan di tempat retret kumuh nan lusuh seperti biasanya sehingga peserta nyaman mengikuti jalannya acara dan berkesan. Aku juga ingin acara konvensi ini menghasilkan uang dan uangnya bisa diserahkan ke keuskupan dan nasional sebagai bentuk bantuan sekaligus ?sindiran? karena untuk acara sebesar itupun hibah uang hanya berupa pinjaman.

Mimpi itu lantas kusosialisaskan dan seperti yang kuduga sebelumnya, timbullah kegemparan!

Ada dua gugus besar komentar yang kuterima terkait mimpiku itu. Pertama, yang bernada mencibir karena dianggap tak mungkin mengingat waktu pelaksanaan yang tak lama lagi. Kedua, tudingan sinis yang menganggap aku antek kapitalis yang demen foya-foya karena gagasan untuk mengadakan konvensi di hotel berbintang!

Tanggapanku atas kegemparan itu? Berbahagia dan bersyukur, karena hal itu semua tak kuanggap sebagai tai kucing, melainkan sebagai pemberi semangat dalam aku menyiapkan semuanya.

Selanjutnya, sambil membiarkan mereka mencibir dan menuding, aku mencari rekan kerja.

Mengingat waktu yang sangat mepet, aku harus memastikan mendapatkan tim kerja yang luar biasa bagusnya dengan jumlah yang tak terlalu banyak. Untuk yang terakhir ini, pertimbanganku mudah, kalau Bung Karno saja hanya perlu sepuluh pemuda untuk mengguncangkan dunia, tentu untuk acara seperti konvensi meski tingkatnya nasional, tak perlu sampai dua digit jumlahnya yang penting kerja, kerja dan kerja!

Untuk itu aku menghubungi Nov dan Joy, sebutlah demikian namanya. Keduanya wanita dan keduanya kuanggap bisa jadi rekan kerja yang tak akan mengecewakan.

Pada suatu malam, aku datangi rumah mereka berdua dan memohon dengan sangat kesediaannya membantu sebagai dua orang anggota tim yang paling utama; yang kepadanya akan kupercayakan dan tenaga-tenaganya akan kuperdayakan!

Keduanya tak menolak. si Nov lantas kujadikan bendahara dan Joy kulantik menjadi sekretaris.

Nov kuminta untuk mengelola uang pinjaman sepuluh juta itu sebaik-baiknya dan ia juga kuberi tugas mencari beberapa kawan lain yang bisa ia percaya untuk membantunya mencari dana lewat program sponsorship.

Joy, si pengantin baru, setiap pagi setelah menyiapkan sarapan untuk suaminya yang juga adalah kawan baikku kuminta untuk pergi ke wartel dan menelpon masing-masing sekretaris keuskupan se Indonesia untuk mengadakan pendekatan supaya mereka mengirimkan kontingen ke acara konvensi.

Kepadanya juga kuminta mencari beberapa orang kawan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan administratif.

Sedangkan aku, selain menjaga hubungan dengan tim keuskupan dan nasional, aku juga mendekati beberapa calon pembicara yang akan bicara dalam konvensi itu. Dalam tataran teknis pelaksanaan, aku juga mendekati seorang pengusaha yang punya relasi dekat dengan manajer sebuah hotel berbintang untuk mendapatkan harga sewa kamar special.

Sebulan berlalu setelah persiapan, ketika aku presentasikan mimpiku yang separuhnya sudah mulai nyata ini, suara sumbang masih tetap ada. Cibiran memang sudah hilang, tapi tudingan kapitalis tak mereda.

?Kalau sudah ada duit segitu besar dari sponsor, kenapa tak diadakan di tempat retret biasa saja?? tanya seorang sambil menudingku.

Seminggu sebelum pelaksanaan, jumlah peserta telah terkumpul 200 orang dan uang sponsor terkumpul sesuai yang kami harapkan. Kerja panitia kuhentikan saat itu karena semua persiapan kelar digelar dan menggantinya dengan doa bersama setiap petang di sebuah selasar kampus besar di Jogja.

Selain memanjatkan doa kepada Tuhan, aku menggunakan acara doa bersama itu untuk mengikat tali persahabatan makin erat diantara tim kerja.

Di malam akhir sebelum acara, sebuah kejutan manis yang telah lama kupersiapkan; di hadapan seluruh anggota tim panitia, aku mengumumkan bahwa mereka tak perlu membayar untuk ikut acara ini dan tetap nginep di hotel!

Mereka bahagia! Akupun bahagia karena kebahagiaan mereka adalah jaminan yang membuat kerja mereka pada hari pelaksanaan makin luar biasa!

Acara berlangsung meriah dan menghasilkan beberapa keputusan-keputusan besar seperti release website kepemudaan dan membentuk tim baru untuk kepemudaan nasional (dimana aku berada di dalamnya) dan tentu saja feedback baik dari para peserta.

Di akhir acara, pada sesi penutupan di hadapan peserta, aku menyerahkan sebuah papan kardus besar berhias dan bertuliskan jumlah sisa uang yang masih kami simpan besar-besar kepada tim keuskupan dan nasional sebagai tanda bahwa selain mengembalikan uang modal 10 juta, aku dan tim juga menyerahkan sisa keuntungan acara dan sponsor!

Sejak saat itu, sejauh yang kudengar hingga kini, setiap acara konvensi nasional selalu diadakan di hotel. Entah aku tak tahu kemana lagi suara-suara yang sebelumnya mengataiku ?Kapitalis?… Mungkin mereka sudah asyik masyuk menikmati kamar-kamar hotel setiap acara konvensi diadakan.

***

Seminar Called To Love

Seminar Called To Love

Sepuluh tahun sesudahnya, seperti yang kalian tahu dan amati baik di blog ini maupun di Facebook-ku tiga bulan belakangan, aku ditunjuk menjadi ketua panitia Seminar bertajuk ?Called to Love?.

Uniknya, pembicara seminar ini salah satunya adalah Riko Ariefano, seorang peserta konvensi nasional di Jogja, sepuluh tahun sebelumnya yang kuceritakan di atas dan pernah sama-sama duduk di tim kepemudaan nasional hasil bentukan konvensi meski tak lama.

Tingkat acara ini hanya lokal Sydney saja, tak bisa dibandingkan dengan skala konvensi yang nasional. Tapi meski demikian, mimpi yang kusematkan pada acara itu tak kalah besarnya dengan yang pernah kusematkan di Jogja sepuluh tahun silam.

?Saya ingin acara kita ini meninggalkan kesan yang luar biasa bagi peserta dan? jadi tonggak pemersatu keluarga katholik Indonesia di Sydney!? tuturku di hadapan tim panitia pada audiensi yang pertama, 30 Januari 2015 yang lalu.

Tak semua mimpi itu terlaksana.
Memersatukan keluarga Katholik Indonesia di Sydney ternyata adalah mimpi yang masih terlalu muluk; para petinggi komunitas-komunitas itu terlalu tinggi dagunya untuk sekadar kusapa dan kuajak turun tangan membantu dan bekerja sama di acara ini.

Tapi selainnya itu, Puji Tuhan terlaksana dengan amat baik.

Karena aku ingin menekankan ?kesan yang luar biasa bagi peserta? maka aku sadar itu berarti mengimbuhkan fasilitas yang didapat dan mengurangi beban biaya di sisi peserta sebisa-bisanya. Istilah pasarnya, dengan pengeluaran sedikit mendapatkan sebanyak-banyaknya benefit.

Untuk itu, faktor dana adalah penting sementara mengharapkan dana dari komunitas untuk merealisasikan mimpi yang belum tentu sama di setiap kepala adalah sebuah ketidakadilan.

Aku lantas membuat tim fund raising yang kebetulan diketuai oleh istriku sendiri, Joyce.

Ia dan beberapa kawannya dalam satu tim merancang beberapa kali fund raising dan hingga waktu pelaksanaan, kami telah mengadakan empat kali kegiatan.

Keempat-empatnya adalah kegiatan menjual makanan Indonesia, tapi satu dari antaranya sangatlah mengesankan. Waktu itu, akhir Maret, kami mengadakan acara ngamen dan bakar sate di ruang bawah gereja St Joseph Newtown, NSW.

Tak sampai setengah jam, sate telah habis terjual dan uang terkumpul lebih dari lumayan. Kegiatan ini menyita perhatian umat katolik Indonesia di Sydney sekaligus menjadi ajang promosi acara seminar itu sendiri!

Suntikan dana yang cukup besar dari fund raising memberanikan kami untuk terjun lebih total dalam persiapan. Kami membuat video teaser yang kami sebarkan secara viral di social media, merancang desain yang menarik dan konsisten pada setiap channel mulai dari flyer dan poster (cetak), hingga di website dimana kami membuka pendaftaran peserta secara online.

Kami juga menyadari kerepotan para peserta jika harus mengikuti dua hari acara karena di sini, akhir pekan selain identik sebagai waktu luang untuk keluarga, juga adalah waktu luang untuk mengikuti kegiatan anak.

Menanggapi hal itu, kami lantas membeli sebuah audio recorder yang lantas kami gunakan untuk merekam materi seminar dan akan bisa didownload melalui situs kami, PDKKEPIPHANY.ORG yang saat tulisan ini kupublikasikan sedang dalam tahap pembangunan.

Kerepotan membawa anak kecil bagi sebagian peserta yang memiliki anak-anak juga kami dengar dan tanggapi dengan mengadakan layanan Children Ministry dimana anak-anak kami buatkan acara sendiri didampingi para pendamping yang berpengalaman secara cuma-cuma.

Segala persiapan telah kami lakukan, namun hingga pertengahan April kami belum memutuskan bagaimana membuat peserta terkesan, apa yang perlu ditambahkan sebagai ?bonus? dalam acara ini?

Setelah berhitung, aku lantas memutuskan untuk membeli lebih dari seratus buku dari sebuah penerbit di Indonesia yang akan kubagikan pada para peserta. Buku tersebut, ?Shake your Body and Find God? adalah buah karya pembicara seminar itu sendiri, Riko dan Lia.

Booklet acara yang berisi informasi komunitas PDKK Epiphany, profil pembicara, sponsor dan notes juga kami bagikan demikian juga dengan pena ber-signature acara.

Jadi kalau mau dijabar dan kalkukasikan, bagi seorang peserta yang membayar $25 (beberapa yang mendaftar pada masa early bird (sebelum 5 Maret) malah cukup membayar $17.5 saja), mereka mendapatkan buku ($8.8), booklet ($4), pena ($1.45), makan siang dua kali ($12), tempat (setelah dihitung, per peserta harus menanggung $2.5), teh dan snack, pengawasan terhadap anak-anak mereka selama acara dan acara seminar itu sendiri!

Itulah yang kami baca sebagai sebuah experience baru bagi peserta.

Oh ya sebuah catatan manis juga kami terakan dalam acara ini. Meski diragukan banyak orang, program sponsorship kami tak gagal total. Ada seorang pengusaha Indonesia yang memiliki bisnis di Australia yang sudi menjadi sponsorship partner.

Orang itu adalah Andrew Wanandi, pemilik Life Protector, yang uniknya adalah kawan dekat masa kecil Riko Ariefano, Si Pembicara.

Demikian catatan kecil ini kubuat dan kuakhiri.?Semoga bukan dibaca sebagai sebuah catatan kesombongan karena semuanya kukerjakan untuk Tuhan.

Semoga justru catatan ini bisa dijadikan sebagai pijakan yang paling buruk untuk acara-acara dan pelayanan-pelayanan kalian yang lebih mencengangkan!

Ad Maiorem Dei Gloriam? Demi kemuliaan Allah yang lebih besar!

blog_ygterbaik_04

Booklet yang kami bagikan….

blog_ygterbaik_05

Buku yang kami bagikan secara cuma-cuma…

blog_ygterbaik_06

Ballpoint ber-signature “Called to Love”

Ok, orangnya sama, tapi yang bawa gitar tampak jauh lebih tampan meski diambil sepuluh tahun sesudahnya. Atau mungkin sama-sama tampannya hanya beda kamera megapixelnya saja? Waktu itu, 2005, yang kiri, kamera bermegapixel besar belum ditemukan hahaha!

Ok, orangnya sama, tapi yang bawa gitar tampak jauh lebih tampan meski diambil sepuluh tahun sesudahnya.
Atau mungkin sama-sama tampannya hanya beda kamera megapixelnya saja?
Waktu itu, 2005, yang kiri, kamera bermegapixel besar belum ditemukan hahaha!

010

Aku menyerahkan plakat ke Noviandri, peserta dari Banjarmasin, Jumat 23 Januari 2005

036

Suasana misa penutup, 25 Januari 2005

45

Suasana misa penutup, 25 Januari 2005

 

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Jempol untuk Donny. Salut.
    Tidak ada yang tidak mungkin buat kebaikan, apalagi buat Tuhan.

    Balas
  2. Melihat foto masDon 10 thn yg lalu, seperti dejavu

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.