Apa yang bisa kita pelajari dari Santo Andreas yang minggu lalu kita peringati pesta namanya?
Andreas adalah murid pertama Yesus. Awalnya ia adalah murid Yohanes Pembaptis. Namun ketika Yohanes melihat Yesus dan berkata, ?Lihatlah Anak Domba Allah? (lih. Yohanes 1:29), Andreas lalu penasaran dan mengikuti Yesus dari belakang untuk tahu dimana rumahNya. (lih. Yohanes 1:40). Beberapa hari bersama dengan Yesus, Andreas akhirnya tersadar bahwa Ia adalah Mesias yang dinantikan.
Meski menjadi murid yang pertama, Andreas berbesar hati menerima kenyataan bahwa yang jadi murid utama justru saudaranya sendiri, Simon Petrus. Dari sinilah kita belajar kedewasaan sikap Andreas, ia jadi yang pertama namun tak pernah keberatan untuk tidak menjadi yang utama.
Dalam hidup sehari-hari, kita sering terikat pada stereotipikal bahwa yang pertama harus jadi yang utama.
Misalnya di tempat kerja, ketika ada manajer baru yang usianya jauh lebih muda ada sekelompok orang berpikir menyepelekan seolah yang tua pasti lebih hebat dan lebih baik dari yang muda. Sejujurnya aku juga pernah dan kadang masih berpikir hal yang sama.
Sebagai orang yang lahir pada akhir dekade 70-an, bekerja di bidang industri teknologi digital, aku sudah termasuk orang yang senior baik dari sisi umur maupun pengalaman. Ketika ada orang yang lebih muda tiba-tiba datang menjadi manager di bagian tempatku bekerja, kadang tergelitik perasaan untuk sekadar ?mencobai? si manajer baru.
Usianya masih muda. Ia sedang belajar membaca dan menulis ketika aku sudah mulai bikin website untuk kampus di taon 1998 dulu, gumamku.
Hal ini tentu tak baik terutama bagi hubungan kita dengan sesama. Persaingan/kompetisi tak sehat bisa jadi tak terhindari kalau kita menggunakan pola pikir bahwa yang tua pasti yang lebih baik. Dan tak hanya itu, berpikir sesempit itu juga sebenarnya tak baik bagi diri kita sendiri.
Implikasi dari ?semangat berkompetisi yang tak sehat? membuat kita berpikir untuk menghalalkan segala macam cara supaya kita tak tersaingi. Padahal, mari berpikir logika dan jujur pada diri sendiri, semakin tua, meski pengalaman kita semakin banyak tapi kemampuan fisik termasuk daya pikir kita akan semakin menurun. Berpikir untuk jadi yang terbaik itu boleh tapi harus diletakkan dalam kerangka berpikir yang tepat dan tidak sembarangan.
Adalah percuma kalau kita mengejar untuk jadi yang utama hanya gara-gara kita lebih tua atau bahkan yang pertama.
Menjadi lebih baik itu harus diletakkan dalam kerangka hubungan kita dengan Tuhan karena kita percaya ketika kita sudah melakukan yang terbaik bagiNya, hal itu melampaui apapun termasuk jika harus tak jadi yang terutama di mata dunia.
?Tapi bukankah berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik dan terutama di pekerjaan itu juga adalah melakukan yang terbaik bagi Tuhan, Don??
Bisa iya, bisa tidak!
Kalau kamu berlomba jadi yang terbaik di pekerjaan dengan motivasi untuk memuliakan Tuhan ya iya. Tapi kalau kamu bertujuan untuk memenangkan ?kompetisi? dari sesamamu termasuk yang lebih muda hanya supaya kamu menang dan jadi bangga atas kemenangan itu, tentu tidak karena yang dimuliakan di situ adalah kamu dan bukan Tuhan kecuali kamu adalah Tuhan?
Sydney, 5 Desember 2018
Jangan lupa isi Survey Kabar Baik 2018. Hasil isian kalian dalam survey tersebut sangat mempengaruhi bagaimana pola tulisan dan distribusi renungan Kabar Baik ini akan berkelanjutan. Klik di sini untuk informasi selengkapnya!
0 Komentar