work smart vs work hard

17 Sep 2015 | Cetusan

Sekitar lima tahun silam aku pernah mencibir seseorang yang berkata, ?We don’t have to work hard, we need to work smart!?

Bagiku, kalimat itu tak lebih hanya sekadar gimmick dan gimmick adalah istilah yang jauh lebih halus ketimbang harus menyebut sebagai tahi kerbau!

Gimmick supaya bawahan percaya bahwa ia tak menghendaki kerja rodi; karena kalaupun harus bekerja keras, ia masih bisa menyalahkan, ?Told ya! Kamu jangan kerja keras, tapi kerja smart…as i said!?

 

blog_smart_02

 

Tapi minggu lalu aku mendapatkan pemandangan yang lain tentang work hard dan work smart dari salah satu anak buahku, pria Inggris, seorang senior designer.

Usianya kutaksir sekitar lima tahun di atasku dan kami sama-sama punya anak dua meski miliknya sudah menginjak remaja.

?Kamu tahu tugas utama kita sebagai family man, Donny?? tanyanya.

?Apa?? Untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang sebaiknya aku menjawab demikian supaya diskusi tetap berkelanjutan.

?Tugas utama seorang ayah adalah bekerja keras? work hard!?

?Off course, Mate? Makanya kita di sini, di kantor ini kerja keras..!?

Ia tersenyum dan menggeleng kepala. ?No?. No..?

?So??
?Kerja keras kita adalah di rumah!?

?Maksudnya??
?Ini masalah energi. Sumber energi terbatas dan kita harus menumpahkannya secara total di rumah karena bukankah rumah dan keluarga itu alasan nomer satu kita masih hidup sampai sekarang??

?Yup!?
?Nah, kalau kamu kerja keras di sini, bagaimana mungkin kamu bisa memberikan energimu untuk memperhatikan keluarga padahal sumber energimu hanya satu??

?Lho, tapi kan kita kerja keras untuk mencukupi keluarga juga??

?No! Kita tidak perlu kerja keras untuk itu… yang kita perlukan adalah kerja smart. Sebisa mungkin mengeluarkan usaha sekecil-kecilnya…?

 

blog_smart_01

 

?…untuk mendapat penghasilan sebanyak-banyaknya?? imbuhku.

?That?s smart!? senyumnya lagi, kali ini sambil mengetuk-ketukkan ujung telunjuknya ke kepala.

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Oh, kalo begitu banyak orang menghasbiskan energi di tempat kerja sehingga kurang energi untuk keluarga. Jadi renungan.

    Balas
  2. Aku catat. Semoga ke depannya aku bisa memiliki lebih banyak “quality time” bersama keluarga, walaupun aku harus kerja keras demi membahagiakan mereka.

    Untuk semuanya: Kalian pasti bisa, kok :)

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.