Aku ingat betul, beberapa saat sebelum kutinggalkan, Tunggonono, penjaga malam kantor dulu, pada suatu malam berujar begini “Wah, enak ya Bos mau pindah ke Australia! Yang pasti banyak ketemu londho, orangnya kaya-kaya dan… ngga ada gempa lagi!”
Aku yang terkadang harus berhati-hati menghadapi pertanyaan maupun pernyataan Tunggonono yang terkadang terkesan tulus tapi tiba-tiba bisa menjadi ranjau berduri itu hanya tersenyum. Kurasai saat itu pernyataannya benar-benar tulus tidak menyisakan ruang sedikitpun untuk jebak-menjebak.
Melalui posting ini, aku tidak hanya ingin menjawab pernyataan Tunggonono saja namun juga banyak pertanyaan senada dari teman-teman tentang bagaimana enaknya Australia yang terkadang mau tak mau menyertakan pernyataan “betapa tidak enaknya Indonesia dibandingkannya!”
Waktu awal-awal datang dua bulan lalu, bayangan bahwa Australia adalah surga sesungguhnya itu begitu kasat di benak dan kesannya membuat neraca perbandingan antara Indonesia dengan Australia menjadi berat sebelah.
Tapi semakin ke sini semakin pula kurasai bahwa pendapat awalku dan pendapat banyak teman termasuk Tunggonono itu tak sepenuhnya benar. Australia adalah tetap Australia yang tak bisa melepaskan diri dari takdirnya sebagai tempat tinggal makhluk hidup; tempat dimana hitam tak bisa dilepaskan dari putih dan buruk akan selalu menyertai sela-sela kebaikan yang ada.
Pendek kata, ada banyak hal yang tak terlalu menyenangkan terdapat di sini bahkan dalam beberapa sisi mungkin, sekali lagi mungkin, lebih buruk ketimbang Indonesia.
Yang pertama soal cuaca.
Betul kalau cuaca di sini tidak terlalu lembab dan aku sangat benci kelembaban karena membuat wajah menjadi berminyak, badan gampang berkeringat dan koleksi gitar akustikku jadi cenderung mudah rusak kayunya.
Tapi siapa yang sanggup berkompromi dengan cuaca Australia akhir-akhir ini yang gampang berubah seperti mood para politisi di tanah air yang sebentar membela A lalu besoknya memberati B itu?
Pernah dan terlampau sering di sini mengalami perubahan cuaca yang ekstrim.
Dua jam pertama sesudah jam 6 pagi langit begitu cerah lalu tiba-tiba suara kilat terdengar dan langit menggelap begitu cepat disertai angin yang kuencengnya ampun-ampunan.
Air hujan pun berderai-derai jatuh dari langit untuk beberapa saat. Menjelang tengah hari pukul 12 siang, eh tiba-tiba gumpalan awan menyingkir digantikan langit yang kembali membiru disertai suhu udara yang merayap hingga di angka 40 derajat celcius.
Menjelang sore masih di tengah suhu yang panas tiba-tiba angin selatan yang kata teman saya adalah angin dari Antartika, Kutub Selatan itu membelai permukaan dengan tiupan yang sangat dingin!
Apa mau kalian bilang?
Global warming?
Gundulmu peang!
Sejak sebelum para pandai itu latah mengatai gejala alam ini dan itu sebagai global warming, keadaan seperti ini konon sudah lazim terjadi di sini!
Yang kedua, lalu lintas.
Tepat sekali, dari sisi kemacetan, Jakarta adalah tempat “terkumuh” yang pernah kutemui :)
Kalau ingat bagaimana selama satu bulan (Oktober 2008) aku tinggal di Jakarta lengkap dengan macetnya lalu lintas serta tabiat orang dalam berkendara yang ngawurnya sudah sampai tingkat akut, rasanya aku tak kan sanggup untuk tinggal di ibukota jaya itu lebih lama lagi!
Tapi kalau mau dilihat secara jujur, lalu lintas di sini pun tak sepenuhnya cerminan surga :)
Aku merasainya betul-betul! Mungkin karena semua orang di sini sudah sangat tergantung dengan yang namanya aturan yang ketat dengan denda yang tinggi jika melanggar maka ketika satu kesalahan terjadi semua bisa jadi runyam serunyam-runyamnya. Sering kutemui di highway-highway, kecelakaan kronis terjadi karena tabrakan beruntun.
Penyebabnya?
Ketika kita saling beradu kecepatan di jalurnya masing-masing lalu tiba-tiba ada orang gila melanggar jalur sedikit saja yang harusnya ia ikuti dan “Blarrr!” mobil-mobil di belakangnya yang tak siap dan tak biasa main “cerdik” seperti kita yang di Jakarta pun terkaget-kaget, tak sempat menginjak rem dan tabrakan tak terelakkan!
Apalagi di city, yang namanya orang menyeberang itu tak jarang ya menyeberang begitu saja!
Tanpa melihat traffic light, tanpa melihat dia meletakkan kakinya di atas zebra cross atau tidak pokoknya “Werrrr”..
Beberapa waktu yang lalu ketika aku sedang nyetir kebat-kebatnya dan tiba-tiba ada orang nyebrang ngawur gitu ya aku cuman bisa misuh “Asu! Munyuk!”
Ya habisnya, mau dipigimanakan lagi tho ?
Yang ketiga adalah soal tabiat orang secara umum.
Entah ini karena terlalu terbukanya Australia terhadap segala suku bangsa maka persoalan yang kerap terjadi adalah adanya gegar budaya antara satu golongan dengan golongan yang lain. Aku belum pernah melihat sesuatu perkara yang besar terjadi di sini, tapi yang jelas sebagai orang Indonesia aku pernah merasai gegar itu terhadap bangsa lain.
Pernah suatu waktu di Parramatta aku tersenggol dengan cukup keras oleh anak-anak ABG. Karena hal itu aku hampir saja terjatuh ke belakang. Kalau mau menuruti emosi, barangkali anak-anak ABG itu sudah saya lawan dengan kekerasan, akan tetapi karena takut bonyok karena jumlah mereka banyak, dan lebih lagi karena aku tahu di sini sangat susah menghadapi tuntutan pengadilan kalau kita main pukul, maka aku hanya bisa diam sambil memasang tampang seburuk mungkin ke arah mereka.
Namun dasar wong edan, mereka malah meledek ke arahku dengan mengata-ngatai segala macam. Ah untung aku belum terlalu canggih dalam berbahasa Inggris sehingga tak terlalu tahu mereka itu ngomong apa dan memang tak berharap untuk tahu.
Pernah pula, masih menyoal tabiat umum, di dalam kereta dari Parramatta ke kota, aku duduk di kursi yang kebetulan masih terpasang berhadap-hadapan. Ketika kunaik, kursi di depanku masihlah kosong hingga di Granville sepasang bapak-ibu bersuku bangsa X duduk di hadapanku. Lima menit kereta pun berjalan dan tiba-tiba teleponnya berdering.
Sejatinya orang yang tau unggah-ungguh, kalau menerima telepon di tempat umum seharusnyalah tidak berbicara dengan volume yang keras tapi … astaga si Bapak yang berkumis lebat itu mulai berbicara dalam bahasanya dengan volume yang dahsyat, mencengangkan. Tak hanya aku, dari sudut mata kulihat beberapa orang yang duduk di bangku sebelah mulai melihat dengan sorot mata tak senang terhadap si bapak itu.
Tak kurang dari lima menit hingga si Bapak menutup telepon sementara kereta masih merayap menjelang Stratfield. Tiba-tiba istrinya mengeluarkan sebuah bungkusan makanan dari dalam tasnya, well mereka mulai makan.
Ngiler kepengen makan? Oh tidak dalam seribu satu cara sekalipun!
Aku justru mulai semakin tak nyaman dan waspada terhadap serbuan remah-remah makanan yang mungkin mereka seberangkan ke tubuhku dari mulutnya.
Masa mungkin?
Siapa bilang tidak kalau melihat cara makan mereka yang serampangan dengan sedikit-sedikit tetap berbicara sementara mulutnya masih penuh muatan itu. Aku hanya mampu berdoa supaya kereta ini bisa terbang hingga tiba-tiba sampai di Town Hall, tempat aku akan mengakhiri perjalanan kereta kali itu.
Dan Tuhan rupanya cukup mendengar doaku. Bukan kereta yang terbang tapi mereka yang sepertinya sepakat untuk berhenti makan. Bungkusan pun dimasukkan ke dalam tas, aku sedikit melega.
Tapi, baru sehirupan nafas kulakukan pertanda lega, tiba-tiba tabiat buruk khas ndeso mereka lakukan.
Dengan menggunakan tangan dan kuku mereka mulai mengorek-korek gigi untuk mencungkil ataupun mengambil sisa makanan yang tertinggal. Tak puas dengan itu, ketika merasa ujung kuku mereka telah menyentuh sisa makanan yang dicari, segera ia keluarkan jari itu dan dipandangi dengan penuh ketakjuban lalu “sreeetttt” dilapnya makanan itu di permukaan baju mereka.
Aku mendadak limbung, pusing karena jijik dan hanya bisa bergumam pelan dalam bahasa yang aku yakin mereka tak tahu “MunyukkkKKKK!”
Itulah. Itu baru tiga belum yang lain yang tak layak dituliskan di sini.
Tulisan ini tidak kumaksudkan untuk menjelek-jelekkan apa yang ada di sekitarku karena bagaimanapun semua ada untuk aku syukuri :) Tapi lebih sebagai imbangan, sebagai upaya untuk membuat imbang neraca antara apa yang kutulis-tuliskan sebelumnya tentang Australia dan Indonesia. Aku percaya bahwa baik buruk, unggul-jatuhnya satu jenjang kehidupan itu bukan ditentukan sepenuhnya oleh negara dan bangsa tapi oleh pribadi kita masing-masing.
Kalau sudah begini, mendadak aku jadi ingat ungkapan lama Jawa yang kedengarannya sederhana tapi bermakna dahsyat “Wang sinawang.”
Ya, ketika perkara kehidupan ini diperbandingkan, bukanlah perkara mutlak yang kita temui di sana, karena tak ada sesuatu yang absolut dan mutlak di muka bumi. Hidup harus dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kelebihan dan kekurangannya dimanapun dan sampai kapanpun.
Eits, ini bukan pemandangan di KRL Jakarta atau di suatu tempat di Indonesia sana.
Ini adalah foto pemandangan kereta di sini, di Australia. Grafitti buruk nan menjengkelkan semacam inipun dikenal di sini.
Ini juga bukan pemandangan lift di Pasarbaru atau dimanapun di Indonesia.
Ini adalah pemandangan sebuah lift di Paddys Market di sini.
wuahhh dingin banget yach?????
masa liftnya jorok gitu om? lagi dibersihin?
Mas DV kalau boleh minta. Sepengetahuan saya, Australia itu pertama dimanfaat Inggris untuk membuang para kriminal. Ada 70 ratus angkatan pertama, dan rbuan berikutnya. Itu kolonis pertama.
Nah, dari asal sedemikian, kayaknya Australia mampu membangun diri. Gimana tu analisisnya. Soal kemudian datang imigran lebih berstatus, ya iyalah.
Kalau ada waktu tolong dibahas ya Mas. Makasih.
Cross cultural, selalu membutuhkan yang namanya wang sinawang. Mau apa lagi?
DV
Walaupun aku belum pernah tinggal di sana…
*sumpah deh DV..walaupun semua orang bilang tampang aku kayak Halle berry..sumprit itu fitnah !! dan aku emang belum pernah ke ostrali!!*
*PLAK!!!*
( gak ada hubungannya Yess!!!)
Tulisan mu memberikan gambaran …
Bahwa selalu akan ada rasa rindu pada kampung halaman..
Dan kita tetap bisa menggambil setiap sisi baik..atau buruk..di manapun..dan kapanpun..:)
*tsaaahhh..lagak gueeee*
Don, menantuku yang kuliah sambil kerja di Amrik juga menceritakan hal yang sama, apalagi dia tinggal di Miami, kota pariwisata dan banyak imigrannya. Ya, memang betul tuh, sawang sinawang….selalu ada enak dan nggak enaknya.
Hmm…, manusia tetaplah manusia…
Selalu ada sisi baik, selalu ada sisi buruk dalam setiap hal, begitu ya?
(Btw, “wang sinawang” itu bahasa Inggrisnya opo yo Don?)
Lha mbok kowe mbangun istana ning negeri kangguru, sing jenenge ndeso kuwi ana ning ndi-ndi, Dab.
wah, ternyata negeri kanguru yang dikenal teratur dan disiplin ada yang semrawut juga, ya, mas dony. agaknya tak ada sebuah negeri yang bener2 jadi “syurga”.
wang-sinawang, sebuah idiom yang tepat utk menggambarkan situasi semacam itu, mas.
saya mengira negri autralia adalah negri yang disiplin dan tertib juga prefect dan sempurna lah
jadi ternyata juga nggak jauh beda ya kang
kalo wang sinawang memang menurut saya cocok ungkapanya
saya kadang melihat si A si B kok enak yah sebaliknya mereka memandang saya
lha pokok e yo mang enake nyawang hahaha sampean penak yo mas manten anyar hahahah
salam seko konco konco ing jogja mas
tambah sukses lan krasan
perlahan tapi pasti aku
datang keblog :)
semata mata hanya berbagi cerita bagi kaum dunia maya
untung aku masih di Indonesia, mas. :D
banyak yang mengatakan bahwa negeri sendiri akan terasa jauh lebih “enak” daripada negeri lain, apapun perbandingannya.
semoga ini benar adanya.
hidup Indonesia!!
Hihihi…
Ku juga jadi ingin sharing ik…
ku tinggalkan jejak pada tulisan lama ini ah…. #nekad
Cos ku juga sempet punya pengalaman dnegan (tamu) orang Ausy juga…
Ku tolong, ku anterin ke Rumah sakit krn lagi sakit, ku temuin dokternya dan dia dirawat ku tungguin…
Ku gak berharap apapun meski itu ada diluar jam kerja bahkan aku cukup tahu diri ketika mereka mau kasih uang tip juga ku gak sampai hati nerimanya, naluriku berkata “tak pantas” menerima pemberian orang lagi kesusahan…
Ehh, giliran dah pulang dari RS, kok istrinya malah nyolot n ngomel-ngomel…
Hemm…
Yaaaa, gambaran manusia sih ya Masss…
Bukan karena dia orang Australi semata, bukan karena dia beda keyaqinan denganku juga #loh..! :)
Mutak itu bukan milik kita “jalma manungsa iki”