Kebumen, suatu hari di awal tahun 1990.
Kota yang biasanya sepi sepoi-sepoi, siang itu seperti tersengat dan mengerjap!
Kurang lebih seribu orang berkerumun di alun-alun kota mengantri masuk ke petak arena temporari yang terbuat dari terpal.
Puluhan penjual makanan dadakan tak ketinggalan ikut berhimpun mengais rejeki di sekitarnya.
Sate Ambal, golak, balok, kacang rebus hingga teh hangat adalah menu yang cukup menyumpal perut lapar penonton sebelum masuk ke arena pertunjukan.
Siang itu artisnya Mel Shandy, lady rocker yang ngetop lewat hits “Bianglala”!
Ia datang menghibur kota yang memang kurang begitu terhibur itu.
Kehadirannya seperti setetes air di musim kemarau yang kerontang, memancing penonton bermata jalang untuk merangsek hingga ke bibir panggung demi lebih dekat dan dekat lagi dengan sang idola.
Terkecuali tentu saja ibu-ibu, bapak-bapak, serta para remaja yang kalem yang tak selalu mengartikan kegilaan pada musik adalah kegilaan terhadap artisnya. Mereka dan kami tetap berdiam di belakang, menjaga jarak yang tak terlalu dekat dengan para penonton yang gila itu.
Kusebut mereka dan kami karena satu diantaranya adalah aku, bocah 13 tahun bercelana pendek yang menonton bersama saudara sepupunya yang berusia lima tahun di atasnya. Ia menetak-netakkan kakinya menikmati irama musik, mulutnya komat-kamit menirukan lirik yang tak sepenuhnya ia hapal. Matanya tajam dan telinganya tak tumpul untuk mendengarkan dari awal hingga akhir panggung.
* * *
Entah kenapa, ketika semalam aku pulang dari menonton konser Coldplay, pikiran yang mendadak muncul justru pentas Mel Shandy yang kuceritakan di atas.
Peristiwa 19 tahun yang lalu itu adalah pentas “bukan lokal” pertama yang kulihat.
Dan konser bertajuk Viva La Vida Tour yang digelar empat sekawan asal Inggris semalam adalah konser pertama yang “bukan Indonesia” di negeri yang juga “bukan Indonesia” ini.
Yang pasti Chris Martin (pianist, vocalist), Jonny Buckland (gitarist), Guy Berryman (bassist) dan Will Champion (drummer, multi instruments) semalam benar-benar berhasil menggoyang Acer Arena, stadium yang pada tahun 1998 – 1999 dibangun pemerintah Australia untuk menyongsong perhelatan akbar setahun sesudahnya, Olimpiade Musim Panas 2000.
Kalau Mel Shandy ditonton kurang lebih 1000 orang di siang yang terik maka semalam ditengah autumn wind yang sepoi tapi menggigil itu barangkali tak kurang dari 10 ribu manusia memadati venue seluas 20 ribu meter persegi dan memiliki ketinggian atap mencapai 42 meter tersebut.
Ah, jangan pula dibandingkan harga tiketnya.
Aku benar-benar inget, untuk “menebus” Mel Shandy kala itu aku cukup membayar 2000 perak di radio kenamaan Kebumen itu dan sudah dapat gratis sebungkus rokok pula, sementara semalam aku harus menebus 120 dollar Australia untuk menonton grup band yang menurut banyak orang bakalan jadi penerus sang legenda, U2!
Ah, lha kok bicara sampe ke U2 lagi?
Yah, mau bagaimana lagi, ramai terdengar di luaran sana kalau Coldplay, terutama vokalisnya, Chris Martin, amat menggemari U2 (bahkan dalam beberapa kesempatan, saking ngefansnya Chris Martin pada Bono, ia sering disebut sebagai Chrono!)
“Andai Chris Martin dan kawan-kawan bisa bertahan lebih lama, setidaknya sama dengan apa yang U2 lakukan sekarang ini -malang melintang 30 tahun- di pentas musik dunia, barangkali mereka akan menjadi legenda pula!”
demikian ujar kawanku yang sama-sama denganku, U2 Mania!
Tak hanya itu! Pengaruh U2 semalam tetap terasa bahkan sejak awal, sejak Magnificent, track kedua dari album ter-gres U2 No Line on the Horizon tiba-tiba diperdengarkan sebagai opening song konser semalam.
Apa ndak gila tuh?
Setelah itu barulah Coldplay masuk ke panggung dengan masing-masing personelnya, seorang demi seorang membawa kembang api diiringi Life in Technicolor, lagu instrumentalia apik nan energik yang ditempatkan pada track pertama album terbaru mereka, Viva la Vida or Death and All His Friends.
Lalu setelahnya mengalirlah lagu-lagu seperti Cemeteries of London, Speed of Sound dan Hardest Part.
Fase pembukaan konser itu diakhiri dengan apik lewat In My Place, lagu dari album A Rush of Blood to the Head yang membubungkan nama Coldplay pada awal dekade ini.
Kontan, nyaris seluruh isi Acer Arena menyanyikan hampir keseluruhan lagu itu.
Selanjutnya, Yellow disuguhkan dan ratusan balon besar-kecil kuning dijatuhkan dari atap.
“Malam ini, kita ingin memberi Yellow bagi kalian, orang-orang Sydney!” demikian tutur penyanyi yang juga adalah suami dari aktris Gwyneth Paltrow ini.
Suasana tampak begitu meriah kala itu ditambah lagi permainan laser dan tata lampu panggung yang menawan.
Terus terang, sebagai insan yang tidak selalu membutakan diri terhadap idola, aku harus mengakui bahwa satu keunggulan Coldplay dibanding U2 salah satunya adalah kemampuan Chris Martin dalam memainkan piano. Ia sangat piawai untuk menjadikan piano bukan sebagai additional instrument serta additional job baginya, tapi ia dan Coldplay bisa memasukkan unsur piano sebagai unsur penting juga.
Fix You, lagu yang paling kusuka dari Coldplay pun digelar!
Lewat opening act di balik piano tuanya yang dipunggungnya bertuliskan V-I-V-A, sorot laser warna biru yang mendominasi, lagu sendu yang menyayat itu dibawakan dengan sangat sangat sempurna!
Semua larut untuk berteriak :
Tears stream, down on your face
I promise you I will learn from my mistakes
Tears stream down your face and I…
dilanjutkan dengan sayatan gitar Johny yang walau sederhana namun bukankah sayatan pada dasarnya adalah berawal dari kesederhanaan yang terus-menerus menggerus?
Konser malam tadi juga semakin meriah lewat rupa-rupa kejutan panggung yang digelar seperti umpamanya ketika empat sekawan asal Inggris itu tiba-tiba muncul di atas panggung mini di antara penonton, atau ketika mereka mendekat ke bahu panggung yang menjorok ke depan dan memainkan beberapa lagu di sana. Ini bukan ide yang terlalu orisinal sebenarnya karena bahkan grup band kelas lokal Indonesia, GIGI, saja juga mampu menyuguhkan hal yang sama (simak liputanku di sini!), akan tetapi tetap saja menarik karena untuk menyuguhkan sesuatu yang segar toh tak perlu orisinalitas yang benar-benar baku sejatinya.
Belum lagi aksi panggung masing-masing personel yang menurutku lebih dari lumayan bagusnya.
Chris Martin sebagai vokalis memang tak bisa dibandingkan dengan Bono yang gemar gembar-gembor politik dan kemanusiaan di atas panggung. Tapi sebagai yunior yang masih lebih bugar, Chris Martin agaknya tahu betul bagaimana cara memanfaatkan luas panggung. Tak jarang ia berlari-larian, berputar-putar di sisi panggung sebelah kanan untuk kemudian tak sampai setengah menit sesudahnya dengan tetap berlari mengejar tuts piano yang ada di panggung untuk menyambut irama yang digulirkan kawan-kawannya.
Chris juga menurutku adalah seorang komunikator yang ulung! Lewat banyolan-banyolan dan bahasa tubuhnya yang memesona, penonton bisa dibuatnya tertawa bahkan ketika ia mendadak salah dalam bernyanyi, tak sungkan ia pun bilang “eh..sorry” dan kamipun tertawa semua dibuatnya!
Permainan gitar Johnny juga turut memberi warna musik grup band alternative brit rock ini.
Ia seperti meninggalkan guratan-guratan senada yang ditinggalkan Beatles, Oasis lalu Blur yang biasanya menjadi pedoman british band lainnya dan lebih condong ke arah permainan-permainan sederhana tapi khas milik The Edge (U2) ataupun Joe Satriani (Ah Johnny, ini bukan sindiran kasus grup bandmu versus Bapak Gitar Dunia itu atas kopi “fill in” di Viva La Vida-mu itu lho!)
Guy, Sang Bassist, aduh maaf dikata, aku kurang terimpresi baik dengan permainan maupun aksi panggungnya. Terlalu pendiam dan sepertinya kurang berani membuat ritem-ritem low frequency yang padahal sudah dibangun dengan begitu baik oleh rekannya Will Sang Drummer.
Satu catatan khusus tentang Will Champion, boleh dibilang drummer bertubuh tambun ini adalah nafas kedua Coldplay setelah Chris Martin pada konser semalam.
Aku harus angkat topi dengan permainannya yang bertenaga, konstan serta menjadi daya tarik tersendiri dengan backing vocalnya yang luar biasa!
Coldplay semalam tercatat menggeber lebih dari 20 lagu yang diambil dari album pertama hingga terakhirnya. Sebuah akhir yang indah kemudian dibuat dengan menyertakan lagu Lovers in Japan dan dipungkasi Life in Technicolor II, lagu berlirik dari instrumen Life in Technicolor yang hanya ada di edisi Prospekts March (EP) , yang dijadikan lagu pembuka konser tadi.
Menjelang tutup hari, 11.00 pm, para personel Coldplay undur diri.
Mereka yang terlalu banyak berjingkrakan itu memang sudah harus beristirahat karena malam berikutnya di tempat yang sama mereka harus melakukan aksi serupa untuk penonton-penonton lain yang juga pasti merindukannya.
Kalau harus memberi skor, aku berani lempar angka “9.0” untuk konser semalam, tak kurang serta barangkali belum bisa lebih.
Angka “100” hanyalah milik Tuhan, dan 0.01 persen di bawahnya sepertinya hanya bisa kutambatkan pada U2 yang mudah-mudahan tak lupa mendatangi Sydney pada 2nd or 3rd leg konser terbaru mereka U2360 yang akan mulai digelar di Eropa dan Amerika utara per Juni 2009 ini!
Sekian!
wew!!! lengkap amat mas laporannya..
hehehe..
serasa ikutan nongkrong di sono mas…
:-)
Gila emang lu don…Pengamat Musik TOBB!
Jadi ikutan terbawa suasana!
Makasih, Chan!
Gw masih dan akan selalu belajar :)
Membaca ini, serasa ikut menikmati konsernya.
DV…dikau memang jagoan dalam hal musik…
larang yo tikete… tp gak mengecewakan ya don
Mantap banget nih acaranya.
Yoa
Mas Donny benar2 sudah go-international kini.. pengamatan musiknya juga hebatt..
salam dari wong ndeso
Mas, saya bukannya go internasional, lokasi yang membuat saya ada di sisi ini.
Saya masih ndeso, mungkin lebih dari panjenengan.
Salam untuk mBantul
Jadi inget Mel Shandy
gayanya yang jejingkrakan dan kostum dan rambutnya yang aneh (menurutku) pada masa itu…
Mas DV penggemar Mel?
gimana khabarnya ya mas….
Akur! ulasannya serasa bernyawa.
yang begini nih yg bisa disebut dari hobi bisa jadi duit. Gimana nggak, dari hoby musik bisa jadi pengamat musik, bayarannya kan mahal tuh, padahal nggak ada rencana sebelumnya kan. (*eh apa udah direncana mau jadi pengamat musik)
Sate Ambal! Gila itu sate enak banget. Sekalinya makan waktu iseng lewat ambal sepulang dari klaten.
Sate Ambal emang enak tenan Mas terutama yang balungan, kremus-kremus, maknyusss!
mantab dah…wuenak tenan sepertinya nonton konser band luar negeri bertaraf internasional..
pertanyaan saya, apakah penonton disana juga ada membawa bendera yang diikatkan di bambu lalu dikibar-kibarkan!
hehehehe
Nggak ada, Mas karena konser yang saya lihat diadakan di indoor arena.
Tapi barangkali kalau diadakan di outdoor ya tetap ada meski tidak pake bamboo..
melll shandy? hmmmm … nama itu sempat meroket beberapa tahun yang silam, mas donny. saya suka banget dg cengkok suara sopraan-nya yang khas. rasanya akrab juga di telinga, hehehe …
Betul Pak!
Mel Shandy itu lady rocker angkatannya Nicky Astria, sebelumnya ada lady rocker angkatan Titiek Hamzah nya Dara Puspita dan sesudahnya ada Anggun C Sasmi, Nike Ardilla, Conny Dio serta Nafa Urbach.
Sayang sekarang di Indonesia kita tak memiliki lady rocker seperti itu.
Semua pada lari kalau nggak ke dangdut ya ke pop yang coraknya di-jazz-jazz-kan :)
*menghela nafas*
serasa ikut dalam euforia menikmati suasana di Acer Arena …
astaga…
kapan ya terakhir kali aku nonton konser grup musik yang menggugah emosi seperti ini?
haih… sudah lama sekaliiii??…
:) Masalahnya emosi itu sebenernya bisa digugah kapan saja..:)
Ngiler dot com
syukurin dot org :)
Pak Sawali suka Mel Shandy?!!
Wakakakakkk….
Mari berteriak khas Negeri Kelelawar.. HAKS :)
Mel Shandy? bukan Mel…da ya? hihihi
ya aku tahu lady rocker ini dan punya albumnya (bukan ngefans tapi utk diputar di program radioku)
Buatku sih Nicky Astria tetap yang terbaik. (aku dulu suka salah antara Nicky dan Atiek CB)
asyik ya kalau nonton konser live. Aku belum ada keberanian nonton konser rock. Cuman berani nonton konsernya Katon hehehhe.
wow wow wow!!
njenengan pernah ke kebumen, kota beriman itu? itu kan kotaku! :D
aku ga percaya, masa sih, setelah lihat konsernya coldplay masa yang terngiang malah pentas Mel Shandy-nya? hehehehe
begitu hebatkah ia?
Hehehe.. saya memang pernah tinggal di Kebumen sejak tahun 1984 – 1993 (keluarga sih pindah dari Kebumen tahun 98, tapi sejak tahun 93 saya hijrah sendirian ke Jogja untuk melanjutkan sekolah di SMA De Britto)…
Hebatnya Mel Shandy? Ya karena ia menjadi pengingat saja bahwa konsernyalah yang pertama kali kutonton :)
kapan Coldplay di Indonesia..??
Bikin suasana Concert yg mewah di Jakarta..!!
Iya nih, kapan ya!!?!
Mas Dony..
boleh saya tahu nama radio di kebumen yang terkenal dan jual tiket konser nicky astria di awal tahun 90-an? mudah2an tahu
Maaf agak sentimentil lah..
maklum soalnya waktu itu ketika saya menemani almarhumah ibu pulang kampung (pas waktu libur kuliah nyelesaikan skripsi) dari dapur rumah mbah, stasiun radio “X” dari kebumen sering putar lagu panggung sandiwara dari nicky astria. That was the memorable moment, krn itulah saya terakhir pulang kampung bareng sama Almarhumah Ibu.