Validasi konten di internet. Bisa?

14 Jul 2014 | Cetusan, Digital

Kuawali tulisan ini dengan menayangkan klip potongan acara Indonesia Lawyer?s Club (ILC) yang ditayangkan pada 14 Agustus 2012.

Topik acara saat itu terkait isu SARA terkait orang tua Jokowi yang kabarnya adalah pemeluk kristen. Ketika itu, presiden ketujuh Indonesia versi quick count itu tengah berjuang mengikuti Pilgub DKI Jakarta berhadapan dengan incumbent, Fauzi Bowo.

Salah satu nara sumber acara yang dipimpin Karni Ilyas itu adalah pesohor Rhoma Irama.

Berikut transkrip yang kuingin kalian perhatikan:

6:50,
Rhoma Irama: Yang saya katakan adalah Jokowi itu orang tuanya kristen, nah ini pun saya dapat dari internet… jadi bukan semata-mata dari pengetahuan saya tapi internet yang beredar seperti itu.

7:07,
Karni Ilyas: Ada keliru sedikit tuh, lihat internet tidak diklarifikasi dulu sudah diomongin di publik

7:15,
Rhoma Irama: Ini berita yang sangat meluas yang umum, di internet ini kan valid boleh dibilang?

Jadi, menurut Rhoma Irama, seorang yang pernah digadang-gadang menjadi calon presiden RI, internet adalah sesuatu yang valid?

Menarik, kan?
Kita mungkin memiliki tingkat pemahaman yang berbeda dengan Rhoma Irama, tapi di level mereka yang baru ?bermain internet? atau bahkan yang tak mengenal internet sama sekali, anggapan bahwa internet itu valid adalah sesuatu yang jamak.

Masa kampanye kemarin adalah bukti nyatanya.
Prosentase kemungkinan perolehan suara capres-cawapres salah satunya sangat dipengaruhi oleh beredarnya informasi-informasi yang mendukung maupun menjatuhkan sosok-sosok tersebut yang diunggah mulai dari mainstream media hingga blog, dari situs ?berbau? partai hingga yang non government organization.

 

User generated content

Orang yang berani bilang bahwa internet itu valid seharusnya tahu bagaimana konten di internet bisa tercipta.

Konten internet kini bukan lagi milik kalangan tertentu saja. Beda dengan jaman dulu (era 95-2000) ketika konten adalah milik lembaga/perusahaan, merebaknya blog dan social media, membuat semua orang dengan syarat punya alamat email bisa membuat akun blog/social media, mengunggah konten lalu tersirkulasi secara cepat dan meluas ke seluruh penjuru internet.

 

Validasi?

Sayangnya tak ada satupun piranti (semoga belum ada) yang mampu menyaring benar-salahnya informasi yang beredar di internet.

Kalaupun ada, ia hanya menyaring berdasarkan hukum yang terkait hubungan antar manusia saja. Hukum hanya bergerak ketika sebuah konten terbukti menyinggung perasaan seseorang, tapi itu tetap bukan berarti bahwa konten itu lantas terbukti tak benar.

Masalah Prita adalah salah satu contohnya.?Prita dinyatakan bersalah karena konten yang ia tulis dianggap melanggar undang-undang pencemaran nama baik, bukan karena isinya salah atau benar.

Secara normatif, alat validasi adalah nurani.
Absurd? Tak konkrit lebih tepatnya.

Oleh karenanya pada tataran implementasi, aku memilih menganggap bahwa alat validasi terbaik adalah justru dengan tidak mengakses konten yang perlu divalidasi selama kita anggap memang tak perlu-perlu amat untuk mendapatkannya.

 

Menjadi yang terpercaya

Alat validasi terbaik kedua yang sifatnya optional, menurutku, adalah dengan meng-counter konten-konten yang tak kita anggap valid dengan menerbitkan konten milik kita, meski itupun juga belum tentu dianggap valid oleh mereka yang berada di kubu lain tapi itu sama sekali tak menjadi soal.

Apa nggak bikin tambah runyam dan tambah kubu?
Tidak selama kita punya kaidah yang tepat dalam proses menerbitkan konten ke internet kita sejatinya justru sedang menjadi penyaring bagi banyak konten yang lainnya.

Kaidah yang paling simple adalah, jujur sejak dalam berpikir untuk menulis dan berpikir benar sebelum menulis.

Proses penalaran sebuah ide menjadi tulisan adalah proses yang tak mudah dan harusnya memang melalui beberapa tahap yang akan semakin memperuncing konten kita.

Ini semua sebenarnya hanya bicara tentang bagaimana membuat orang lain setidaknya tahu pendapat kita, dan syukur-syukur percaya pada apa yang kita punya.

Dalam praktiknya, berdasarkan pengalaman, aku memilih menulis dengan format feature/opini. Alasanku, simply karena ketika menulis dengan model ini, aku seperti tak sedang membawa pergunjingan yang sifatnya benar atau salah karena ini murni soal pemikiranku sendiri yang tidak memaksa orang untuk percaya.

Jadi mari melawan konten-konten yang menurut kita tak valid dengan membalasnya menggunakan konten yang kita yakini benar.

Berkontribusilah.
Selama kita tahu bahwa kita melakukannya dengan benar, setidaknya kita telah mewarnai perjuangan ini dengan perlawanan meski itu hanya lewat kata-kata, gambar, gambar gerak dan suara…

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. Sedangkan wikipedia berbahasa Indonesia tidak bisa dijadikan acuan yang valid! Kalau kamu bisa bandingkan penjelasan wikipedia bahasa Jepang, Inggris dan Indonesia, kamu akan tahu betapa orang kita itu sulit sekali mencantumkan sumber. Hampir semua pakai “perasaan” atau “katanya” hehehe.
    Bagusnya di Jepang, penjelasan tidak hanya di wikipedia, banyak situs lain yang menjelaskan sesuatu hal. Jadi bisa dicari keterangan yang benar. (hampir selama aku pakai wikipedia, keterangannya benar semua hohoho)

    Kedua menurutku, jangan terlalu percaya blog, krn ya itu blog itu kan opini. Pasti ada hal-hal yang tidak dia tulis. Dan tidak semua blogger itu jujur seperti aku dan kamu….tsah! :D

    Balas
  2. Dulu pertama kali internet mulai menjadi milik semua orang , sebelum iklan menjadi emblem atau menjadi piring untuk mendulang cent demi cent , blog ditulis seperti makalah singkat yang dibubuhi sumber dari buku tapi kini tak lagi.
    Murid saya bilang dia lebih percaya dengan buku , untuk urusan berita entah miring atau tegak yang berbau konspirasi dia lebih rela membuang uang ke toko buku dari pada membaca lewat internet karena penulis buku tidak sesembarang penulis media maya.

    Balas
    • Tak semua blog diembelembeli iklan dan ditulis demi rupiah, blog ini adalah salah satunya.
      Banyak penulis media maya menjadi penulis buku juga, saya sudah tidak percaya dengan toko buku kecuali buku-buku itu sendiri…

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.