Tulisan ini adalah rangkaian dari serial tulisan 'Vakansi ke Canberra'. Untuk menyimak selengkapnya, klik di sini.
Waktu masuk ke Parliament House hari Sabtu (11 Juni 2011) silam, sembari menatap langit-langit “The Great Hall”, aku berharap semoga ide untuk membangun gedung DPR – RI yang konon katanya membutuhkan anggaran dana yang bombastis itu bukan datang setelah tahu berapa anggaran yang dikeluarkan pemerintah Australia untuk membangun Parliament House. Bayangkan saja, gedung yang didesain oleh Mitchell/Giurgola Architects dan dibuka pada 1988 ini pernah jadi gedung termahal di belahan selatan khatulistiwa karena memakan biaya lebih dari 1.1 milyar AUD.
Parliament house, bentuknya seperti bilah boomerang (Credit photo: Wikipedia)
Setelah santap siang di Pork Barrel seperti yang kuceritakan di tulisan sebelumnya, kami lantas pergi ke Parliament House pada sabtu lepas tengah hari. Letak Parliement House dari Pork Barrel tidaklah jauh karena keduanya masih berada di satu kompleks.
Beberapa teman yang kuceritakan bahwa aku mengunjungi Parliament House banyak berkomentar sinis dan menganggap aku sudah kekurangan referensi tempat wisata yang lebih asik. Satu dari sekian temanku malah dengan lugas berkata “Salah satu tempat paling membosankan di muka bumi”! Tapi kan beda orang beda persepsi terhadap apapun! Bagiku Parliament House bukanlah sesuatu yang membosankan, meski barangkali karena kali itu adalah kali pertama aku ke sana.
“Ini gedung rakyat. Jadi kenapa rakyat tak boleh masuk ke gedung (rumah) nya sendiri?”
Setelah mencari parkir di basement, kami naik ke atas menggunakan lift. Sesampainya di pintu, kami melewati screening gate seperti layaknya di bandara-bandara. Petugas men-check semua tas dan peralatan yang terdeteksi mengandung logam. Setelah semuanya lolos kamipun dipersilakan masuk secara cuma-cuma.
Secara struktur bangunan, selain karena penasaran dengan bentuk flagpole (ujung atap berbentuk piramid di diatasnya ditancapi bendera Australia), Parliament House sebenarnya cenderung biasa saja. Hanya sebuah gedung yang sangat luas dan tak seberapa tinggi dengan ribuan ruangan (konon kabarnya ada lebih dari 4000 ruang di gedung itu) dan foto-foto tokoh yang pernah dan sedang berperan membangun Australia.

Perkenalkan, calon prime minister :))) (Credit photo: Wijaya Trio)
Namun lebih daripada itu, yang menurutku paling mengesankan adalah konsep Parliament House sebagai gedung terbuka bagi siapa saja yang datang. Tentu ini bukan harga mati jadi meski tak kuharapkan terjadi, bisa saja dengan pertimbangan keamanan lalu Parliament House diubah konsep menjadi gedung tertutup… Ya, siapa tahu.
Saking terbukanya, bahkan pada hari-hari kerja, kita boleh masuk mengikuti sidang-sidang parlemen secara langsung dengan satu syarat, tidak boleh membawa barang bawaan apapun termasuk mobile phone dan alat perekam serta, kita dilarang bersuara. Sayang, aku datang hari Sabtu, hari libur nasional dan tentu saja para anggota dewan sedang ikut libur juga.
Aku sempat bertanya pada seorang petugas kenapa Parliament House dibuat sedemikian terbukanya terhadap pengunjung, “Ini gedung rakyat. Jadi kenapa rakyat tak boleh masuk ke gedung (rumah) nya sendiri?” demikian jawabnya seraya mengangkat bahu; bahasa tubuh yang berbicara ‘hal seperti itu seharusnya tak perlu ditanyakan lagi!’
* * *

The Great Hall (Credit photo: Wijaya Trio)
Ruang pertama yang kami masuki adalah The Great Hall, sebuah hall lapang berlantai kayu dan beratap tinggi. Aku tak tahu berapa ukuran pastinya tapi kalau boleh kukira-kira, besarnya bisa memuat sekitar tiga hingga empat lapangan bola basket. Ruang ini, kata temanku, kerap dipakai untuk menerima tamu-tamu dari luar negeri secara resmi.
Dari situ kami lantas naik ke lantai satu dan untuk beberapa lamanya berleha-leha di The Queen’s Terrace Caf? sebuah kafe penyedia makanan dan minuman layaknya food court di kantor-kantor Indonesia. Kafe ini adalah satu-satunya kafe yang ada di kompleks Parliement House dan kerap pula dikunjungi oleh para anggota dewan serta para menteri yang duduk di kabinet pemerintah yang berkuasa.
Sembari memberi makan siang pada Odilia, aku jadi berpikir betapa dekat dan ‘mudah diakses’ nya para petinggi di negara ini oleh rakyatnya ya?
Beranjak dari situ, aku lantas berkeliling gedung dan tenggelam menikmati lukisan-lukisan yang menggambarkan para tokoh pemerintahan dan parlemen Australia sejak dulu yang terdokumentasi dengan baik. Setiap tokoh dibuatkan lukisan berukuran sekitar 1 x 1.5 meter sementara di sisi bawahnya termaktub keterangan kecil menyangkut kiprah tokoh ketika berkuasa.
Yang menarik lagi, porsi untuk menampilkan profil pemerintahan yang tengah berkuasa saat ini justru sangat kecil. Pada sebuah sudut ruangan yang aku lupa namanya, foto Julia Gillard dan anggota kabinetnya tertera dalam ukuran kecil sementara tak jauh dari mereka, dipasang pula foto Tony Abbot, pemimpin tokoh oposisi yang di televisi dan surat kabar, suaranya sangat frontal terhadap Julia.
Sisi yang tak kalah menariknya adalah pada Magna Carta Place.
Kalian yang suka sejarah pasti tahu apa itu Magna Carta; sebuah dokumen penting yang dikeluarkan King John of England pada 1215 tentang persetujuan pembatasan kekuasaan raja Inggris yang lantas menjadi dasar bagi pola hidup berdemokrasi di seluruh dunia tanpa terkecuali. Nah, satu dari empat kopi asli yang berhasil diselamatkan, saat ini berada di Magna Carta Place di Parliament House.
Penempatan Magna Carta di Parliament House ini tentu menjadi menarik karena secara cerdas, pihak pengelola Parliament House membubuhkan keterangan di bawah naskah asli yang dilindungi kaca bersensor keamanan itu. Di situ dituliskan bahwa bagaimanapun, Magna Carta adalah peletak dasar hidup berdemokrasi sekaligus konsep parlemen, jadi keberadaannya, selain untuk melestarikan dokumen penting peradaban dunia sekaligus mengukuhkan betapa apa yang dilakukan saat ini oleh siapapun yang berkuasa di situ, harus memiliki semangat yang sama dengan apa yang tertoreh di Magna Carta.
Setelah terkagum-kagum dengan dokumen Magna Carta beberapa waktu lamanya (dan ini membuat salah satu temanku terkagum padaku kenapa aku bisa sekian lama terkagum-kagum pada Magna Carta!?!) aku lalu mengunjungi The House of Representatives, sebuah gedung yang selalu digunakan pemerintah dan anggota dewan untuk berunding, berdebat sekaligus memutuskan keputusan-keputusan penting pemerintahan yang kerap ditayangkan di televisi Australia. Di sini aku kembali terkagum-kagum bukan oleh karena bentuk ruangnya yang menurutku biasa, tapi pada keterbukaan pihak pengelola gedung untuk mengijinkan masuk para wisatawan hingga ke ruang ini.

DV di The House of Representative (Credit photo: Wijaya Trio)
Hari telah beranjak hampir ke ujungnya dan kami menuntasi kunjungan ke Parliament House itu dengan naik ke atapnya. Adapun atap Parliament House cukup unik karena di sana selain ada Flagpole yang terkenal itu, juga dibangun pula taman rumput yang memungkinkan untuk dijadikan tempat berfoto bagi wisatawan.
Pemandangan kota Canberra bisa dilihat sepenuhnya dari taman di atap Parliament House termasuk Lake Burley Griffin (danau buatan) yang akan kuceritakan di tulisan selanjutnya dan the Australian War Memorial yang terpampang di depan Parliament House.
Ketika matahari redup di peraduan sementara waktu masih menunjuk pukul 05.00 pm, kamipun beranjak pergi dari kompleks Parliament House. Dari brosur yang kubaca ketika masuk ke mobil, aku mendapatkan informasi bahwa bentuk bangunan Parliament House secara utuh sebenarnya terinspirasi oleh bentuk boomerang, senjata khas suku Aborigin, suku asli Australia.
Setengah tak percaya, ketika sudah agak jauh dari Parliament House, aku minta istriku menghentikan mobil. Aku lantas keluar dari mobil sejenak untuk melihat gedung parliament house keseluruhan dan ternyata benar, secara utuh, Parliement House tampak seperti boomerang yang diletakkan di sebuah tanah lapang.
Boomerang adalah senjata suku Aborigin, suku asli benua Australia. Senjata ini memiliki karkater unik, ia dilempar untuk memukul lawan dan sesudahnya ia akan kembali ke pemiliknya dengan syarat dilempar menggunakan teknik yang benar.
Barangkali hakikat mandat dan pemerintahan suatu negara yang menganut sistem demokrasi harusnya memang seperti bilah boomerang itu. Anggaplah boomerang sebagai mandat. Ia milik rakyat yang lantas dipercayakan kepada pemerintah terpilih untuk menggunakannya semaksimal mungkin guna memberantas segala persoalan dan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.
Lalu ketika tugas telah selesai, boomerang harus kembali ke tangan pemiliknya yaitu rakyat, bukannya terus menerus dikuasai pemerintah lalu hilang entah kemana…
Bersambung ?
Menikmati tulisanmu Don..
Dan setuju seharusnya mandat yang idberikan oleh rakyat, kembali untuk dan kepada rakyat.
Jadi…gedung itu tak ada kolam renangnya, untuk para wakil rakyat?
gedung wakil rakyat?? karena milik wakil seharusnya rakyat sebagai yg di wakili yang menentukan. Sama halnya wakil presiden harus manut kepada presiden.
Kerenan Gedung DPR MPR kita lah, tapi ga perlu disebutkan alasannya kan kan kan? :)
Suka mengetahui jawaban petugas itu soal gedung rakyat. Memang idealnya begitu ya. Kamu aja yang cara berpikirnya Indonesia banget bahwa gedung DPR cuma buat orang-orang gede di Senayan itu. Hehe.
“Sayang, aku datang hari Sabtu, hari libur nasional dan tentu saja para anggota dewan sedang ikut libur juga.” Ya kalo nggak hari Sabtu kamu pun nggak bisa pergi ke Canberra untuk berlibur atuh, Don…
Parliament housenya kerennnn…. The Great Hallnya luas bgt.. pencahayaanya kuning, klo aku kesana bisa kliatan lebih kuning dong :D nuggu lanjutannya mas don..
Vakansi? Oh, tamasya. :D
Magna Carta itu… nama game untuk konsol PS 2. :D
Seperti bumerang, ya seperti itu seharusnya. Digunakan dan dikembalikan lagi, bukan milik pribadi.
Btw, enak ya Mas, jalan2 terus :D
waduh ta’ kira grup band lokal sini lagi manggung di sana, ternyata nama sebuah gedung parlemen… jadi penasaran cerita berikutnya, euy.. :roll:
Keren banget gedungnya Don.
Tidak hanya sekedar memikirkan fungsionalitas atau kenyamanan wakil rakyat di dalamnya saja, tapi dengan memilih bentuk boomerang, gedung itu pun jadi berciri.
Mungkin begitu pula dgn gedung2 di Jakarta ini. Cirinya adalah Gedong, gede dongok…. LOL. EH, dikau tau kan maksudnya dongok… :D
Hebat ya kalau rakyat benar-benar diijinkan masuk ke ruangan2 penting seperti itu di Indonesia. Saya tidak tahu sih bagaimana di Indonesia karena belum pernah mencoba.
Dan satu lagi yang menarik adalah tentang apa makna boomerang :-)