Tulisan ini adalah rangkaian dari serial tulisan 'Vakansi ke Canberra'. Untuk menyimak selengkapnya, klik di sini.
Ketika kami keluar dari Questacon, matahari telah menjingga di sisi barat sementara waktu telah menunjuk pukul 05:00 pm.
“Waktunya untuk pulang!” gumamku seraya mengenakan coat dan topi fedora sambil berjalan bersama-sama kawan menuju mobil. Tak tunggu lama lagi, setelah masuk ke mobil, melajulah kami ke jalanan arah Sydney setelah sebelumnya mampir dulu ke pom bensin untuk mengisi bahan bakar. Perlahan aku melewati Parliament House, jalan-jalan yang selama dua hari kemarin sering kulewati, apartemen yang kemarin kusewa… hmmm… liburan harus berakhir demi jalannya hidup yang harus mengalur di jalur yang tepat.
“…perjalanan pulang dari liburan sungguh tak pernah semenyenangkan perjalanan keberangkatannya, kan?”
Dan, demi apapun itu, perjalanan pulang dari liburan sungguh tak pernah semenyenangkan perjalanan keberangkatannya, kan?
Oleh karenanya, kami berempat, Aku, istriku, Wijaya dan Irna lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Hanya, Odilia, anakku yang berusia setahun lebih itu yang banyak meningkahi keadaan dengan ‘berbicara’ dan bertingkah dari atas kursi, dan ini kadang menimbulkan gelak tawa.
Aku lalu larut dalam lamunan. Betapa pengalaman liburan ke Canberra dua hari terakhir ini sangat berarti tak hanya relaksasi dari rutinitas harian, namun juga adanya wacana baru yang tercipta di benak tentang seperti apakah seharusnya ibu kota negara itu dikonsep dan diimplementasikan. Canberra seperti yang sudah kutulis dalam rangkaian tulisan ini adalah sebuah kota ‘buatan’ nan kecil jika dibandingkan kebesaran nama Australia sendiri. Ia tak memuat konsep kota industri, tak pula hadir dalam wajah gemerlap hedonis yang memuliakan dunia serta jauh dari konsep kota wisata (meski aku dan kawan-kawan memaksakan diri berpendapat bahwa “Ya, kami tengah berwisata ke Canberra!”). Canberra memposisikan diri sebagai kota pusat pemerintahan, maka seluruh penduduk yang tinggal di situ sebagian besar bekerja untuk mendukung pemerintahan dan sarana-sarana penyokongnya.
Canberra… Ia tak memuat konsep kota industri, tak pula hadir dalam wajah gemerlap hedonis yang memuliakan dunia serta jauh dari konsep kota wisata.
Ada pengaturan area-area tempat tinggal dan orang berlomba-lomba untuk tak melanggarnya. Ada tata lalu lintas yang teratur, bukan karena hebat dan kuasa pemerintah atau garangnya polisi saja, namun justru karena adanya swadaya masyarakat dalam berpartisipasi membangun lalu lintas yang ‘indah’ dan jauh dari sengkarut marut nan merugikan. Tak hanya itu, bahkan ketika Canberra butuh sesuatu nan hijau dan ‘telaga’ yang indah, dibangunkan telaga buatan serta taman-taman hijau nan asri yang melegakan.
Langit telah semakin gelap sementara waktu terus bergerak meninggalkan pukul 6 sore ketika kami menyudahi jalur Federal Highway dan bergabung dengan jalur Hume Highway 31 yang termasuk dalam Austlink National Network yang menghubungkan banyak kota di sisi barat Australia.
Tiba-tiba teleponku berdering kencang!
Awalnya agak kesusahan untuk mengambil mobile karena terlipat saku di celana jeans tebalku. Setelah kugenggam, kulihat layarnya dan tertera nomer Indonesia tanpa nama. “Ah, siapa ini?” gumamku.
“Hallo!”
“Hallo, Don!” suara di seberang terdengar tak tenang, masih susah kukenal.
“Ya, maaf ini siapa?” aku jadi ikutan tak tenang dibuatnya.
“Aku! Dudi, Don!”
“Dudi… Dudi…. Oh, kamu! Kenapa Dud?! Ada apa?” Dudi adalah kawan se-SMA ku dulu. Kudengar kabar terakhir darinya dua tahun silam melalui jejaring sosial di internet, ia menjabat sebagai salah satu petinggi di perusahaan multinasional berpusat di Jakarta.
“Ja…Jjja… Jakarta! Jakarta.. Don! Jakarta gempa besar sekali!” teriaknya.
WHATTTTT!!!!!! Dunia serasa runtuh bagiku mendengar kabar itu. Mobil segera kupelankan, melipir ke bahu jalan dan berhenti beberapa meter di depan, aku butuh konsentrasi untuk mendengarkan berita yang mengagetkan ini.
“Trus.. trus gimana Dud? Hancur semua!?”
“I… iya… tak berbekas, Don!”
“Bangunan-bangunan pencakar langit itu?”
“Lenyap!”
“Dufan?”
“Ambruk, Don!”
“Kawasan Mangga Besar?”
“Semua, Don… tak berbekas!!”
“Waduh! Lah, kamu? Kamu bukan hantu kan, Dud? Kamu selamat?”
“Itulah uniknya, Don!”
“Hmmm.. maksudmu?”
“Tak ada satupun dari warga Jakarta yang jadi korban?”
“Loh..? Lalu yang gempa itu Jakarta yang mana?”
“Duh, kamu! Jakarta ya Jakarta!” seru Dudi.
“Jadi begini… Semalam sebelum gempa tiba-tiba seperti ada perasaan yang begitu kuat yang menyuruh kami meninggalkan Jakarta. Maka malam itu macetlah seluruh pintu keluar Jakarta, kami beramai-ramai pulang kampung…kembali ke tempat kami masing-masing, Don!”
“Ke Jawa?”
“Ya tergantung, ke daerah asal masing-masing pokoknya! Aku ke Jogja, ke tanah air kita!”
“Hmmm… Lalu bagaimana yang asli Betawi?”
“Kabarnya mereka juga pergi ke Depok dan sekitarnya…”
“Trus?”
“Ya begitulah, jadi praktis sejak kemarin siang, kira-kira tiga jam sebelum gempa dahsyat itu, Jakarta telah kosong melompong ditinggalkan warganya!”
“Oh…Tak satupun?”
“Tak satupun!”
“Oh, Puji Tuhan! Lalu?”
“Barusan Presiden muncul di televisi yang disiarkan darurat dari Bandung, katanya ini justru saat yang bagus untuk seluruh anak negeri membangun kembali Jakarta dari awal sebagai pusat pemerintahan!”
“Oh..kok bisa?!”
“Iya! Dia bilang bahwa kehancuran Jakarta adalah babak baru untuk membenahi ibukota itu dari awal secara ideal!”
“Oh…!”
“Dan yang paling bagus, Don… Dia bilang bahwa pabrik-pabrik dan perkantoran swasta akan dilarang berdiri di Jakarta kecuali yang mensupport jalannya pemerintahan pusat!”
“Oh.. tumben bijak ya Pak Presiden?”
“Iya, aku juga heran… Tumben… dan hebatnya nggak pake kata-kata PRIHATIN! Dia justru berpidato berapi-api!”
“Oh hebat! Jadi… jadi kapan kamu akan kembali ke Jakarta?”
“Aku tidak kembali, Don… aku mau tinggal di Jogja saja.. mbangun deso! Ogah ke Jakarta!”
Lalu kubayangkan Jakarta menjadi kota yang begitu lengang, pusat pemerintahan yang semoga para pejabatnya dapat lebih berkonsentrasi membangun bangsa dan negara, mengabdi masyarakat tanpa harus ter-distraksi kepentingan duniawi yang mengganggu.
“Don… Don!” ujar Dudi di ujung telepon.
“Ya, Dud… lalu gimana?”
“Don, ntar kusambung lagi pulsaku hampir habis!”
Tut… tut… tut… Sambungan telepon terputus.
Tiba-tiba Joyce menggoncang-goncangkan bahuku, “Hon… bangun!.. Hon, sudah sampe M5, sepuluh menit lagi udah Sydney. Kita mau dinner di mana?”
“Hah! Jakarta, Hon… Jakarta… Kamu udah telepon Mama dan Papamu?” tanyaku padanya.
“Kenapa Jakarta?” Joyce memandangku keheranan.
Aku bengong, rupanya aku bermimpi.
“Kamu mimpi ya?” tanya Joyce.
“Hmmm iya…”
“Mimpi apa, Don? Sore-sore kok mimpi!” tanya Wijaya dari kursi belakang.
“Mimpi Jakarta, Jay… Mimpi Jakarta jadi serapi dan seindah Canberra, tanpa gedung-gedung milik swasta dan tanpa pabrik-pabrik yang kerap bikin langit berjelaga”
“Oh, hebat! Tapi koruptor-koruptornya masih ada?”
“Nah itu dia, aku lupa tanya ke temanku… boleh kulanjutkan mimpiku lagi barang sekejap untuk memastikan hal itu?”
Lalu beramai-ramai Wijaya, Irna dan Joyce pun beradu suara “Huuuuuuu!!!” kepadaku, sementara langit malam nan hitam telah tersilap oleh gemerlap lampu merkuri kota Sydney yang berdiri mematung laksana Tuhan.
TAMAT
hahahaha.. mimpi memang lebih indah dari kenyataan *kadang2*
*dateng dari G+*
mimpi… eh, khayalan saya tuk membenahi Jakarta justru sebaliknya. Pertama2 harus dimulai dari memindahkan pusat pemerintahan negara ke daerah lain diluar pulau Jawa. Jakarta difokuskan jadi pusat bisnis dan hiburan saja. Bekas2 tempat pemerintahan diganti casino dan strip club buat narik pajak. Jumlah polisi dilipatgandakan 3 kali, lalu semua ormas meresahkan dibubarkan. Selebihnya tinggal ngatasi banjir dan kemacetan. :))
Hahahaha, berarti pas gempa, posisiku nang Klaten. :lol:
He..he..siapa itu yang nyuruh orang2 ngungsi sebelum kejadian.
he…he…he …jakarta menjadi teratur, rapi dan bebas polusi teryata baru wacana dalam mimpi ( karna mungkin tidak mungkin untuk direalisasikan), pertumbuhan industri sulit dibendung , jogja pun semakin menggila sepertinya mas… jauh berbeda dari ( bahkan ) 5 tahun yang lalu …
Hahaaa…
I like this scene, suer. Kayak nonton film Knowing itu, terbawa emosi aku jadinya seakan ini beneran.
Mimpimu bagus deh, Don. Bisa gak ya aku pilih mimpi yg bagus jg. Tapi aku rasa, kamu mimpi Jakarta karena rind dgn Indonesiamu ini… :)
Namanya juga mimpi..mana ada gempa bisa diramalkan….
Tapi siapa tahu mimpimu, Jakarta hanya kota pemerintahan bisa terjadi…tapi sebaliknya..Jakarta jadi kota niaga…kota pemerintahannya yang pindah. Enaknya kemana? Di luar Jawa saja…di Kalimantan….
Nyinyirmu itu Don :))
btw aku seneng sama kata2 ini=> Aku ke Jogja, ke tanah air kita!
Iya Jogja itu tanah airku jugaaaaaaaaaaa
Ngimpi Mas DV,…. Jakarta ngga akan seindah yang kita bayangkan. Kecuali…… impiannya beneran :P
Mimpi selalu indah daripada kenyataan… tapi dari mimpi sebuah cita2 akan tercipta.. berawal dari mimpi lama2 an jadi kenyataan….semua teknologi di ciptakan berawal dari mimpi dan angan2 seorang dan merealisasi jadi kenyataan.. salam kenal
Kok aku jadi terpikir yah.. terpikir para koruptor yang kabur ke Singapore pada hijrah ke Canberra ..malah terpiikir “sari roti” buka cabang disana… semua gara gara ada tulisan “Koruptor” :))
Lha Jakarta memang gempa kok, Mbah, gemar pamer.. :p
hahaha…
wah coba mimpi sampeyan dilanjutkan barang sekejap,
saya bener-bener penasaran, koruptornya gimana?
ealah, alur ceritanya dari awal bagus mas. Tapi bagian akhir bikin geleng-geleng kepala. Mimpi…?
Xixixi… mungkin Canberranya diaplikasikan ke calon ibukota yang baru aja kali ya Mas :)