Undangan Pernikahan, Undangan Untuk Menyumbang?

18 Jun 2008 | Cetusan

Wedding
Pada sebuah sore yang tak begitu ramai, ketika sedang asyik kongkow di sebuah coffeeshop tak jauh dari kantor, iseng aku bertanya pada teman dekat yang menemaniku.
“Eh, kalau kamu dapat beberapa undangan nikahan teman kamu yang kebetulan nikahnya bersamaan pada satu waktu, gimana reaksimu?”

“Mumet! Mumet ndasku!”

“Lha kok gitu? Bukannya kamu harusnya bahagia karena pernikahan mereka, teman-teman kamu itu.”

“Yupe! Aku mumet bukan karena mereka bahagia atau tidak, bukan pula karena aku belum laku-laku dan semakin sedikit teman sebayaku yang belum menikah sama dengan aku..”

“Lalu?”

“Mumet sumbangannya, Su! Sumbangan itu kan uang! Mana jaman sedang nggak enak kayak gini!”

“Lah! Lha kamu itu mana yang lebih kamu pentingkan? Sumbangan uang atau kedatanganmu di dalam pestanya?”

“Pengenku jelas aku mementingkan kedatanganku di pestanya.. tapi, bukankah kita sudah terbiasa dan terkondisikan untuk menyumbang uang dalam setiap pesta.
Mau tak mau itupun juga harus dipentingkan!”

Lalu tiba-tiba aku jadi teringat pada nenekku di rumah.
Aku ingat betul ketika dulu ia masih aktif bersosialisasi, betapa ia pernah “terjerat” pada apa yang kunamakan sebagai rantai undang-mengundang acara pernikahan.
Kusebut rantai karena itu adalah hal yang tak pernah putus.Apanya yang tak pernah putus, ya itu tadi acara saling undang-mengundang dalam pesta pernikahan.

Di kalangan “band of sister” nya Nenekku itu, ketika salah satu anggota geng mengadakan pesta pernikahan, maka lumrahnya anggota lain terundang juga.
Seusai pesta, si pemilik hajatan akan mencatat masing-masing tamu berikut jumlah sumbangannya.
Catatan itu kemudian digilir tentu tanpa jumlah sumbangan per orangnya untuk kemudian dijadikan referensi tentang siapa saja yang seharusnya dan layaknya diundang dalam pesta pernikahan
anak serta kerabat anggota lainnya.
Dari sisi nilai sumbangannya, jumlah yang diberikan misalnya dari nenekku ke orang A, serta merta akan jadi pedoman untuk si A menyumbang ketika nenekku mengadakan
hajatan seperti pernikahan misalnya. Demikian terus-menerus tiada pernah berhenti.

Dari dua kejadian di atas aku jadi berpikir, apakah hakikat undangan pernikahan sudah sedemikian bergesernya?
Dari yang semula adalah ajakan untuk berbahagia hadir dalam pesta menjadi ajakan untuk menyumbang “halus tapi maksa” sang mempelai atau setidaknya orang tua mempelai yang telah membanting
tulang dan jual sawah demi sebuah pesta yang wah!
Para tamu berikut sumbangannya seperti telah dipaksakan turut membantu membayar gaun dan jas pengantin, kue tart, sewa gedung, katering hingga entertainer dan photographer serta videoshooter.
Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah semua itu seharusnya diperuntukkan kepada tamu tanpa embel dan tedeng aling-aling sumbangan sedikitpun ?

Kalau memang betul telah demikian adanya, kita pun seharusnya memiliki mindset yang berbeda juga.
Kita perlu menganggap bahwa undangan pernikahan itu tak beda dengan tagihan telepon bulanan atau surat panggilan dari kantor pajak yang selalu datang menghampiri pada awal
setiap tahun yang kita lalui. Tentu kalian tahu bagaimana maksudku dengan pernyataan di atas itu?

Bahkan mungkin harus dibenarkan pula tindakan beberapa teman yang sering kutemui dalam hajatan terlihat begitu lahap makan hampir semua hidangan yang disajikan
semata-mata karena ia merasa “telah membayar” sebesar sumbangan yang menurut dia akan impas kalau ia makan sepuasnya dalam acara tersebut.
Akan tetapi kalau sudah begini, apa bedanya hajatan itu dengan restaurant buffet all you can eat, dimana kita membayar di kasir pintu depan lalu memangsa semua makanan dengan beringasnya ?

Akan tetapi kalau tidak bergeser dan undangan tetap memiliki fungsi yang sama sebagai ajakan berbahagia,
tentu bukan hanya tugas kita yang merasa terbebani ini untuk meluruskan kembali hakikat kartu undangan pernikahan itu tadi.
Si pemilik acara mungkin sudah selayaknya memberikan satu pandangan yang benar bahwa “kami mengundang Anda untuk pesta, bukan untuk menyumbang penyelenggaraan pesta kami!”
Tapi bagaimana caranya?

Entahlah, saya sendiri juga tak tahu karena saya tahu ini perkara susah.
Persepsi yang meresap ke masyarakat itu tidak lagi ngambang di permukaan. Keberadaannya sudah benar-benar meresap sampai ke dalam hati.
Barangkali, kalau tidak mau dibilang berlebihan, tingkat kesulitannya sudah menyamai mengubah persepsi orang bahwa gunung itu tinggi dan pohon kencur itu pendek.
Tapi sesulit-sulitnya tentu ada jalan, bukan?

Kenapa tidak mulai dengan mengadakan pesta yang tak terlalu mewah.
Mewah tidaknya sebenarnya memang itu totally urusan Anda, akan tetapi tahukah bahwa kami para tamu yang diundang ini juga memiliki sensitivitas dalam memberikan berapa banyak sumbangan
yang harus kita berikan, dan salah satu barometer tervalidnya adalah mewah tidaknya pesta Anda. Semakin mewah kami akan semakin sungkan jika hanya menyumbangkan jumlah yang sedikit
tentu saja karena kami membayangkan berapa ratus juta telah dihabiskan demi sebuah kemewahan semalam itu.

Tapi kalaupun Anda masih mau ngotot menggelar yang mewah-mewah seperti itu lha mbok sertakan juga dalam undangan tulisan “Anda diundang untuk
berpesta. Kami tidak terima sumbangan kado, bunga maupun uang. Yang terpenting adalah doa Anda karena ini pesta anak saya.”
Fair enough, huh ?

Dari hal-hal di atas pada akhirnya saya pun kembali pada percakapan antara saya dengan teman saya tadi.

“Lha, jadi gimana? Dari lima undangan itu tadi, mana yang akan kamu sumbangi banyak-sedikitnya?”

“Hah, mbuh! Aku sendiri juga ndak ngerti… tapi yang jelas aku malah males datang semuanya!”

“Lha, nanti kamu nggak dicari?”

“Ya luweh! Cuek! Mereka nyari aku? Nggak! Kayaknya mereka nyari uangku!”

Aku pun tertawa nggeleges mendengar itu semua.
Jauh di dalam pelupuk mataku, terbayang tumpukan undangan pernikahan di atas meja kerjaku yang jumlahnya lebih dari empat biji untuk bulan ini.
Kali ini aku memilih tidak sependapat dengan temanku tadi dan secara tidak sadar aku telah masuk ke mata rantai yang dulu pernah dibangun nenekku.
Mata rantai yang butuh ongkos sosial yang tidak sedikit memang.
Tapi demi teman.. demi teman!

Sebarluaskan!

18 Komentar

  1. setuju, kita terjebak dengan ongkos sosial pergaulan.
    Do we have a choice ?

    Balas
  2. @IB:
    No Sir! Unfotunatelly, we do not have any choice.

    Balas
  3. Lahan kita untuk berbagi … membahagiakan teman … dalam esensi silaturahmi. Membahagiakan orang itu kan pahala (kali aja he he).

    Balas
  4. stlh mbaca blog ini, nyang jibak sptnya gebini ya..
    – kalau dpt undangan, datanglah dan sumbang sebanyak2nya.
    – kalau mengundang, tulis diundangan spt di artikel ini: “kami mengundang Anda untuk pesta, bukan untuk menyumbang penyelenggaraan pesta kami!”
    intinya: kalau pelit, medit atau malah gak punya duit; kalo berteori hasilnya ya jadi teori yg ruwet2.

    Balas
  5. Lho lha itu namanya berhabitat itu ya begitu, Mas…
    Masa mau jadi autis sendirian sibuk sama urusan pribadi.
    Njenengan lhak seneng tho kalo resepsinya didatengi banyak kawan yang turut mendoakan kebahagiaan… Yo po ra?

    Balas
  6. LOH? tenan Dab, aku malah baru tau kalo yang namanya amplop sumbangan itu bisa ditandain (jadi ketahuan jumlah sumbangannya..) gimana yah nandainnya?? kan langsung mak cemplung masuk box?
    believe it or not, di jaman ini, di kota yg gak terlalu kecil, saya masih nemu pesta yang tamunya cuman bawa pisang sesisir buat nyumbang empunya pesta..

    Balas
  7. I know what you mean!
    Bahkan tidak jarang ada undangan yang menuliskan: Tanpa mengurangi rasa hormat, mohon hadiah yang diberikan tidak dalam bentuk kado atau karangan bunga..

    Balas
  8. @Ersis: Wah kalau demikian adanya sejak awal hingga akhirnya, alangkah bahagianya hidup ini, Pak. Tapi ya itu tadi.. kalau.. kalau..
    @DM: Habitat? Sodaraan sama Epitaph? Hehehe..
    Gini Mas DM, saya ndak bilang berhabitat atau ndaknya kok tapi saya bicara soal ongkos.. ongkos
    @tamu undangan: saya kok nggak mudheng logika Anda yah… tapi selamat kenal anyway…
    @doc_wong: ya gitu dehhh

    Balas
    • Saya juga sempat bingung mbak, tapi saya coba bikin cara sendiri di blog saya. Mungkin cara saya tersebut tidak lazim, tapi at least it works for me.
      Salam kenal.
      aji

      Balas
  9. @DV & DM : itulah don kenapa gw ga mau terima angpau lu waktu nikahan gw… krn kedatangan dan doa lu berdua aja lebih dari cukup soalnya lu dtg ke bdg terus ke jakarta juga udh ngabisin uang jajan lu buat sebulan kan hihihihi

    Balas
  10. @Angga: Bisa Pakdhe.. jadi kemarin waktu aku njagong itu, pas mau masukin amplop ke box, diterima sama penerima tamunya trus diklip dengan kartu nama yang biasanya diselipkan di undangan yang kita terima dan bertuliskan PENGGANTI KARTU NAMA.

    Balas
  11. Kalau ternyata si tamu undangan itu malah memasukkan amplop kosong, piye? Yang salah itu tamunya karena mau makan gratis tapi tidak mau terkesan kere dengan tetap memasukkan amplop (walaupun kosong) atau si empunya hajat yang berharap tamunya datang dengan amplop? hehehe.. Bingung kan? :)

    Balas
  12. @Hanny:
    Ndak sepenuhnya salah tamunya, Mbak.
    Yang patut dipersalahkan juga itu pemikiran yang sudah terlanjur beredar bahwa kondangan itu nyumbang!
    Mau ndak mau dengan segala macam cara orang pun harus nyumbang… atau pura-pura nyumbang.
    Memang membingungkan, tapi kita harus bersikap!

    Balas
  13. abis gemana yah…he..he…

    Balas
    • Iya ya… gemana ya…

      Balas
  14. harus dimulai dari kita sendiri untuk MEMOTONG mata rantai itu. sebentar lagi kami akan menikah, dan di bawah undangan kami tulis:
    Tanpa mengurangi rasa hormat, mohon untuk TIDAK memberikan sumbangan dalam bentuk apapun termasuk uang. Terima kasih.
    Dengan ini kami berharap mudah-mudahan mata rantai bayar membayar itu terputus. Apakah karena kami sudah kaya? Tentu tidak, pesta kami sederhana, tapi kami berprinsip, pesta pernikahan adalah untuk mengundang orang lain untuk berbahagia dg kita, bukan sebaliknya membebani mereka dg keharusan meng-amplop.

    Balas
  15. Menurut aku, there IS a choice, yaitu untuk tidak ikut serta dalam tradisi yang membuat repot orang lain. Itu merupakan pedoman untuk diri aku pribadi sewaktu mengadakan acara pernikahan. A) Acaranya kecil mungil di mesjid jadi tidak mengeluarkan biaya banyak dan oleh karena itu tidak memerlukan sokongan finansial dari sumbangan, B) Karena acaranya kecil jadi tidak perlu pake undangan, dan karena tidak ada undangan maka tidak ada embel2 “tanpa mengurangi rasa hormat” blablabla, dan C) Tidak disediakan kotak sumbangan atau permintaan (atau pembujukan) pemberian hadiah dalam bentuk apapun. Kalau ada yg menanyakan hadiah harus dialamatkan kemana, jawabannya adalah “disumbangkan saja ke yang lebih membutuhkan”.

    Balas
  16. Super sekali …..
    Andilau >>> Antara dilema dan galau
    namun Saya sependapat dengan memutus rantai ini harus dimulai dari TIDAK menerima sumbangan dan TIDAK memberikan sumbangan
    Resikonya ialah jadi bahan omongan

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.