Tyas (5)

18 Mar 2016 | Tyas

Serial ?Tyas? kutulis dalam rangka mengenang kepergian Mamaku, Veronika Dyah Rahayu Wiryaningtyas, 7 Maret 2016, seperti halnya aku mengenang papaku lewat ?Diek? dahulu.

Salah satu keuntungan menjadi penduduk di negara bagian New South Wales, Australia adalah, setiap akhir pekan, kami hanya perlu membayar $2.5 sekali saja untuk bisa mengakses semua moda transportasi publik yang disediakan pemerintah.

Jadi misalnya kita nggak ada kerjaan dan ingin menghabiskan waktu sehari-harian di jalan entah itu di atas kereta, bis maupun ferry, kita hanya perlu bayar $2.5 saja!

Meski jarang, tapi pagi itu, Minggu, 6 Maret 2016, aku, Joyce dan anak-anak memutuskan untuk jalan-jalan ke kota menggunakan publik transport, kereta.

Joyce ingin mengajakku makan ke sebuah restaurant masakan Indonesia yang konon katanya rasanya seperti warteg-warteg di Jakarta sekalian juga karena anak-anak sangat senang naik kereta mungkin karena mereka bosan duduk di dalam mobil setiap harinya.

Usai makan, kami berpikir untuk pergi ke gereja yang letaknya juga tak jauh dari restaurant.

Kami ikut perayaan ekaristi jam 3 sore dengan harapan satu jam kemudian sudah selesai, kami buru-buru bisa langsung pulang untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siang anak-anak keesokan harinya lalu mengajak mereka beristirahat malam cepat-cepat karena hari itu hari minggu dan mereka pasti ingin menelpon Mama, Uti Tyas.

Ketika sedang berjalan menuju ke pemberhentian light rail train di dekat Paddy?s Market, gawaiku bergetar dan ketika kuangkat, aku mendapatkan pesan dari Ayok seperti ku-captured di bawah ini:

Tyas (5)

Isi pesan Ayok

?Mama nge-drop!? Ujarku pada Joyce.

?Oh??
?Dahaknya berdarah, batuknya lebih sering dari biasanya?.?

Aku menerawang.
Sudah cukup lama tak menerima kabar seburuk itu, sudah mulai terlatih untuk berharap pada harapan, dan sore itu aku harus menerima kenyataan; seperti memeluk dan bersandar pada sebatang nyiur tapi kemudian ia rubuh dan aku terjerembab jatuh!

Semenjak memutuskan untuk tidak merawat mama menggunakan cara medis formal/ ?western?, aku dan Chitra memilih untuk membebaskan Mama memilih caranya sendiri untuk merawat sakitnya.

?Mama wes mantep karo Koh **** (maaf aku tak bisa sebut namanya), Le!? Demikian ujarnya suatu waktu saat kutanya kepada siapa ia ingin berobat. Nama yang disebut adalah seorang ahli obat China yang tinggal di Klaten sana dan Mama sudah sering berobat kepadanya bahkan semenjak almarhum Papa masih ada.

Suatu waktu tak jauh dari sekarang, ahli obat itu memberi Mama bubuk kunir yang harus diminum dengan takaran yang sudah ditentukan. Katanya supaya dahak Mama bisa dikeluarkan dan ia bernafas dengan lega.

Tapi alih-alih membaik, Mama justru mendapatkan dampak buruk dari bubuk kunir itu, batuk kian menjadi dan seperti yang kutulis di atas, dahaknya berdarah.

?Sejak Jumat Mama batuknya memang sudah parah!? Papar Chitra ketika kuhubungi Minggu sore?itu.

?Mungkin karena capek batuk, nafasnya sekarang jadi pendek-pendek dan ada darah di dahaknya.?

Dari jauh kudengar lewat sambungan telepon sore itu, suara mama yang terbatuk-batuk.??Aku bisa bicara dengan Mama?? Tanyaku.

?Jangan, dia masih belum terlalu stabil nafasnya takutnya malah bikin dia tambah capek. Coba nanti malam, ini dia mau tidur dulu!?

Perasaanku galau.
Meski Chitra meyakinkan kalau kondisi Mama pasti membaik, tapi karena aku tak pernah percaya lagi pada orang yang mencoba bicara masa depan apapun, aku hanya bisa meng-amin-i saja kata-katanya.

?Kamu mau pulang??
Tanya Joyce memecah lamunanku saat itu kereta sudah mendekat ke arah stasiun dekat rumah. Ia membaca pikiranku, kebimbanganku.

?Uhmmmm, mungkin belum..? Jawabku singkat.

Tiba-tiba aku berpikir untuk mengundang pastor ke rumah memberikan sakramen minyak suci bagi Mama.

Dalam Tradisi Katolik, Sakramen Minyak Suci diperlukan untuk orang-orang yang sakit. Bukan sakramen yang dimaksudkan sebagai tanda bahwa seseorang sudah akan meninggal, tapi lebih pada tanda yang diperlukan untuk membebaskan seseorang dari dosa dan memberikan penguatan sehingga apapun yang terjadi, si sakit telah kuat dan bebas dari dosa.

Tapi siapa yang akan kuundang?
Hari itu hari Minggu. Para pastor pasti sibuk dengan perayaan-perayaan di gereja masing-masing. Meminta tolong Chitra tentu juga tidak tepat karena ia sibuk dengan anak dan mengawasi Mama juga.

Aku langsung ingat kawan yang sebenarnya baru kukenal sejak setahun lalu. Dia seorang pengurus alumni Maria Assumpta Klaten. Bersamanya aku bekerja untuk membangun situs web yang kurilis beberapa bulan silam. Mas Ari Markus namanya.

Ia berdomisili di Semarang tapi setiap akhir pekan pulang ke Klaten karena keluarganya ada di sana. Jarak rumahnya juga tak terlalu jauh dari rumahku.

Segera kukirim pesan kepadanya meminta bantuan untuk memanggilkan pastor atau prodiakon untuk mendoakan Mama dan kalau bisa memberikan Sakramen Minyak Suci.

Ia menanggapi permintaanku dan menjanjikan, ?Secepatnya!?

Aku segera menghubungi Chitra.??Enaknya kapan sakramen diadakan, Mas?? Tanya Chitra kepadaku.

?Secepetnya!? Aku mengulang pesan yang juga kusampaikan ke Mas Ari Markus.

Akhirnya penerimaan sakramen Minyak Suci pun berhasil dilakukan terhadap Mama malam itu. Mas Markus beserta adiknya datang pula dengan orang-orang di sekitar rumahku. Pastor paroki Maria Assumpta lah yang memberikan sakramen itu.

Tyas (5)

Suasana penerimaan Sakramen Minyak Suci. Mama terbaring. Foto oleh Mas Ari Markus

Malam setelah penerimaan sakramen itu, aku menelpon Chitra.

?Gimana tadi??
?Baik, Mas! Tapi aku serem sendiri..?

?Kenapa??
?Waktu kita sedang berdoa, aku merasa ada bayangan putih terang sekali masuk ke kamar trus masuk ke kasurnya Mama?Semoga tidak terjadi apa-apa ya…?

Aku diam.
Aku bukan orang yang tak bisa tak percaya terhadap hal-hal seperti itu. Mendengar cerita Chitra, aku hanya bisa pasrah, karena selain itu apalagi yang bisa kulakukan?

?Tapi Mama sudah tenang sekarang? nafasnya sudah membaik..? (Di saat yang hampir bersamaan, Mas Markus juga menyampaikan hal yang sama.)

?Aku boleh bicara dengannya?? Tanyaku pada Chitra.??Hmmm mendingan jangan dulu. Takutnya kalau ngomong sama kamu malah nafasnya tersengal-sengal lagi??

Aku menurut meski untuk menuruti hal itu, aku telah kehilangan satu kesempatan terakhir sepanjang hidupku untuk berbicara dengan Mama.

Ya sudah. Aku melanjutkan ?tugas?, menyiapkan Odilia dan Elodia tidur seperti biasa meski ada yang tak biasa karena aku kehabisan kata-kata ketika mereka minta untuk menelpon Uti Tyas, Mamaku, Eyang Putri mereka.??Uti Tyas udah bobo.. Besok pagi ya…Yuk kita doa saja buat Uti Tyas??

Malam itu kulalui dengan penuh rasa was-was. Setiap saat aku tatap gawai menanti kabar yang sesungguhnya tak kunantikan. Sementara waktu bergulir terasa lama sekali, lambat benar.

…bersambung

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.