Tyas (4)

17 Mar 2016 | Tyas

Serial ?Tyas? kutulis dalam rangka mengenang kepergian Mamaku, Veronika Dyah Rahayu Wiryaningtyas, 7 Maret 2016, seperti halnya aku mengenang papaku lewat ?Diek? dahulu.

Meski telah berencana untuk pulang pada akhir tahun bersama keluarga, awal Januari 2016 silam aku sempat mengajukan rencana kepada istriku untukku pulang sendiri akhir Februari untuk merayakan ulang tahun Mama yang ke-60.

?Kenapa??
?Nggak tahu, aku merasa harus pulang. Mama ulang tahun??

Tidak ada penolakan dari Joyce dan aku sangat mensyukuri hal itu.

Aku lantas mengabarkan hal itu kepada Chitra, adikku, dan kami malah berencana untuk sekalian memanfaatkan liburku itu pergi bersama-sama ke Blitar mengunjungi Eyang Slamet (Ibu dari alm. Papa) yang kabarnya sudah semakin menua dan menurun.

Aku merasa perlu pulang karena aku melewatkan kesempatan hari ulang tahun Mama yang ke-59 tahun lalu.

Aku juga mencoba realistis.
Meski keadaan Mama membaik hari-demi-hari, aku selalu berpikir tak ada salahnya untuk datang ke hari ulang tahunnya tahun ini karena siapa tahu itu akan jadi kesempatan terakhirnya berulang tahun?

Apalagi pengalaman banyak mendengar dari orang-orang yang kerabatnya menderita kanker, penurunan kesehatan bisa terjadi seperti orang membalikkan telapak tangan pada kalangan tersebut.

Tapi rupanya aku tetap tak bisa pulang.
Kondisi keuangan yang cukup ketat membuatku berpikir untuk meringkus balik rencana yang ada untuk digunakan saat akhir tahun ini saat aku dan keluargaku mengunjungi Mama.

Menyesal?
Hmmm, sedikit? tidak terlalu, lebih tepatnya. Semenjak tahun lalu saat aku akhirnya bisa bertemu Mama, aku selalu berpikir realistis dan tak berpengharapan yang terlalu bombastis tentang apapun, tentang siapapun.

Aku segera bangkit dan justru berbalik ingin memberikan pengalaman yang unik kepada Mamaku yang akan berulang tahun ke-60 meski aku tak datang di sisinya.

Lalu munculah ide spontan itu.
Seperti kutulis di tulisan ini, aku meminta tolong kawan-kawan se-angkatan di SMA Kolese De Britto Yogyakarta untuk merealisasikan mimpiku, mengirimkan kue ulang tahun kepada Mama lalu mengajaknya berdoa untuk bersyukur atas tambahan usia yang diberikan.

Adalah Made Arya atau yang biasa dulu kupanggil ?Mamad?, kawan tak sekelas, tapi cukup akrab. Ia mengajukan tangan untuk membantu merealisasikan mimpiku.

?Bojoku iso nggawe tart. Rego mengko diskon! (Istriku bisa bikin tart. Harga nanti kudiskon -jawa)? Tuturnya, Ia orang Bali tapi sudah sangat lama tinggal di Jogja jadi fasih berbahasa Jawa.

Aku bersemangat.
?Tapi iso ngeterke tekan Klaten, Mad? (Tapi bisa diantar ke Klaten, Mad -jawa)? Jawabku.

?Beres! Beritahu saja alamatnya!?
Tapi tak seberapa lama kemudian, teman akrabku, AA Kunto A yang biasa dipanggil ?coach writer? karena memang ia adalah seorang pelatih penulisan profesional menghubungiku,

?Kalau belum ada yang mau ngantar, aku bersedia ngantar ke rumahmu, Don! Sekalian sowan Mama!?

Syukurku bukan kepalang!
Tak berhenti di sini, kawanku lainnya yang sekarang jadi partner bisnisku di DOKUDOKU.ID, Teddy Wintoko bergerak menyambar tawaran, ?Aku melu! (Aku ikut! -jawa)?

Teddy (kiri) dan Kunto, on the way ke Klaten....

Teddy (kiri) dan Kunto, on the way ke Klaten….

 

Di depan rumah

Di depan rumah

 

Benar-benar di depan rumah, tepatnya depan pintu rumah...

Benar-benar di depan rumah, tepatnya depan pintu rumah…

 

Ngobrol... Kunto, Teddy, Mama dan Eyang

Ngobrol… Kunto, Teddy, Mama dan Eyang

 

Ngobrol. Teddy - Mama - Eyang

Ngobrol. Teddy – Mama – Eyang

 

Selamat ulang tahun, Ma. Sing kuat, sing sabar, tapi sing paling penting... berbahagialah!

Selamat ulang tahun, Ma. Sing kuat, sing sabar, tapi sing paling penting… berbahagialah!

Jadilah Kunto dan Teddy, pada 25 Februari 2016 pagi menjemput kue tart di rumah Mamad lalu mengantarkannya ke Klaten.

Mereka berdua berbincang tak hanya dengan Mama tapi juga bersama Eyang. Ngobrol banyak hal tentu tentang diriku, anaknya, cucunya, dan kawan baik mereka berdua, sahabat-sahabatku.

Konon kata Kunto dan Teddy, banyak hal yang mereka tak tahu tentangku yang akhirnya diceritakan oleh Mamaku yang saat itu tampak segar dan bersemangat bercerita tentangku, anak lelakinya.

Teddy juga sempat memberikan kartu nama DOKUDOKU.ID, sebuah usaha baru yang akan kurilis 1 April 2016 nanti kepada Mama.

?Bu, usaha ini nanti yang semoga bisa membantu Donny untuk sering pulang ke Tanah Air!? Tukas Teddy sambil mengalungkan kartu nama itu ke Mama.

Di akhir perbincangan, sesuai yang kutitipkan pesan, Kunto memimpin doa.

Kue yang dibawa Kuntho dan Teddy dipotong saat Chitra pulang dari kantor sore harinya. Chitra bercerita, Mama maunya potong kue setelah aku pulang kantor.

Kue yang dibawa Kuntho dan Teddy dipotong saat Chitra pulang dari kantor sore harinya. Chitra bercerita, Mama maunya potong kue setelah aku pulang kantor.

Malam harinya aku menelpon Mama bersama anak-anak yang siap untuk tidur dan Joyce, istriku.

?Selamat ulang tahun, Ma! Panjang umur dan yang penting bersyukur dan sehat!? Ujarku dengan latar belakang Odi serta Elo berteriak-teriak, ?Happy birthday, Uti Tyas!? Tak keruan.

?Nuwun, Le? Nuwun? Sampaikan terimakasihku ke Joyce, ke Mamamu (mama mertua) dan anak-anak? nuwun??

Kami hanya mengobrol sekitar sepuluh menit saja karena Odilia dan Elodia sudah sangat mengantuk. Segera kusudahi percakapan itu.

?Ma, anak-anak wes ngantuk. Aku ngeloni mereka sik yo. Sesuk kutelpon meneh!?

?Iyo Le, ora popo. Pokokmen nuwun? nuwun banget untuk semuanya. Sampaikan terimakasihku ke Joyce, Mama dan anak-anak.. Nuwun??

Aku segera menutup telepon malam itu. Tak ada yang aneh selain begitu banyak kata ?nuwun? yang ia sampaikan kepadaku dan dimintanya untuk disampaikan ke istri, mama mertua dan anak-anakku.

Lama aku merenungkan hal ini hingga akhirnya 7 Maret 2016 silam, aku sadar ucapan terimakasih yang dibombardirkan Mama kepadaku waktu itu adalah ucapan pamit dan terimakasihnya kepadaku dan anak-anak, istri serta Mama mertuaku.

25 Februari 2016 adalah hari ulang tahun Mamaku yang ke-60 sekaligus hari terakhirku mendengarkan suaranya dan berbincang dengannya.

Pada hari Minggu, 6 Maret 2016, aku sempat berusaha menelponnya tapi oleh Chitra, adikku, aku tidak diperkenankan berbicara karena kondisi nafas Mama yang tersengal-sengal.

Hingga kini, sekitar dua minggu setelah Mama pergi, Odilia serta Elodia masih sering memintaku untuk menelpon Mama. ?Telpon Uti Tyas, Papa!?

Aku tersenyum dan berujar pada mereka, ?No, we don?t need to call her anymore. She is in heaven now and I dont think God allow her to have an iPhone up there! But we can pray, we can talk to her at anytime, from anywhere?.?

? bersambung

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Hufhhhhhhh.. Sedih nya mulai terasa..

    Balas
  2. OOT, saya baca Kunto memperoleh cara pandang lain dalam menulis.

    Balas
  3. Bersyukur. Allah sungguh baik. Skenario-Nya apik. Ringan sekali langkahku untuk mengantarkan taart itu kagem Bu Tyas. “Kancaku kangen simboke. Apa susahe aku ngenteng-ngentengke?” Matur nuwun, Gusti, boleh hadir dalam cuilan kecil kehidupan sedulurku Donny.

    Mulya langgeng ing swarga Bu Tyas… Manunggil kaliyan Pak Diek, leluhur, lan para suci… amin.

    Balas
    • Asem… aku mbrebes maca komenmu. Kowe sedulurku, Kun!

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.