Tyas (3)

16 Mar 2016 | Tyas

Serial ?Tyas? kutulis dalam rangka mengenang kepergian Mamaku, Veronika Dyah Rahayu Wiryaningtyas, 7 Maret 2016, seperti halnya aku mengenang papaku lewat ?Diek? dahulu.

Dulu aku suka minum alkohol dan yang paling tidak kusukai dari kebiasaan itu adalah rasa pening di kepala yang muncul keesokan harinya. Ngganjel/nggandhul istilah Jawanya, hangover, ?cara? Inggrisnya.

Aku kembali ke Sydney setelah seminggu berada di Klaten, dan kepulanganku itu menyisakan rasa ngganjel/nggandhul alias hangover.

Aku lega karena sudah bertemu Mama. Kelegaan yang mengalahkan kesedihan. Tapi sekaligus aku meninggalkan akhir cerita yang menggantung karena Mama sakit keras, dan aku menantikan dengan penuh cemas soal bagaimana kelanjutan sakitnya atau bagaimana ia akan menemui akhir hidupnya.

Di dalam pesawat aku berhitung.
Jika Mama meninggal dalam hitungan hari/minggu sejak kepulanganku, jelas aku tak bisa pulang.

Jika ia meninggal dalam hitungan bulan sejak saat itu, aku sudah bisa menabung meski sedikit. Tapi jika ia bisa bertahan bertahun-tahun sesudahnya, aku bisa menabung lebih banyak lagi untuk pulang berlibur bersama anak-anak dan istri menengoknya!

Tapi aku tak mau berharap terlalu banyak pada harapan dan mencoba menjalani hidup kembali seperti biasa.

Lalu, sekitar dua hari sesudah kembali ke Sydney, Ayok mengirim kabar, ?Mas, ada kabar baik! Mama udah nggak mau pakai oksigen lagi katanya sudah enakan badannya!?

Aku membalas datar, ?Puji Tuhan!?

Aku mencoba menyikapinya dengan biasa karena tak terlalu ingin bersandar pada harapan yang belum jelas juntrungannya.

Tapi hari demi hari, kondisi Mama memang benar-benar semakin membaik. Ia sudah bisa duduk, makannya banyak. Lain hari Chitra mengabarkan ia sudah bisa pakai kursi roda dan mulai bermain-main dengan keponakanku, Geo.

Kekhawatirannya tentang dana pensiunan Papa pun menemui solusinya.?Tuhan mengirimkan salah satu kawan lamaku, Erika dengan cara yang sangat unik.

Pada salah satu hari kunjunganku, aku pergi ke Jogja untuk sekadar ngopi dan bertemu kawan-kawan lama. Jarak Jogja ke Klaten tidaklah terlalu lama untuk ditempuh, sekitar 30 – 45 menit jalur darat.

Tyas (3)

Aku secara tak sengaja ketemu Erika, kawan lama yang akhirnya jadi salah satu kunci mulusnya persoalan dana pensiunan Papa yang diresahkan Mama.

Tak kusangka saat sedang menunggu kawan datang, Erika muncul di pintu kedai kopi dan kamipun saling bertukar cerita.

Ternyata ia bekerja di Bank BNI, tempat Papa dulu bekerja dan saat itu juga aku langsung bertanya apakah ia bisa membantu mengurus uang pensiunan Papa?

Tentu masalahnya tak bisa langsung selesai di sana. Sepulangku ke Sydney, kami melanjutkan percakapan dan hanya beberapa hari berselang, urusan dana pensiun itupun tunai diselesaikan. Selain Erika, aku juga melibatkan kawan baikku waktu masih duduk di bangku SMP dulu, Ida yang sekarang bekerja di Bank BNI Kebumen, tempat Papa bekerja dulu. Juga Pak Riyadi, mantan anak buah Papa.

Aku dan Chitra senang. Mama apalagi, bahagianya tiada kepalang!?Dari nada bicaranya setelah kukabarkan hal itu, aku bisa merasai bahwa memang hal itulah yang selama ini ia nanti-nantikan; menikmati uang pensiun peninggalan almarhum suaminya meski tak seberapa besarnya.

Kehidupan seperti menemui hal-hal terbaik lainnya.?Rumah Tegal Blateran telah selesai direnovasi dan Mama serta Chitra sekeluarga kembali ke sana.

Tyas (3)

Rumah Tegal Blateran yang waktu aku datang Maret 2015 sedang dalam renovasi

Jadwal menelpon dan video conference dengan Mama juga kuperbanyak.

Odi dan Elo kujadwalkan setidaknya setiap minggu malam menelpon dan bercengkrama dengan Mama. Setiap aku mulai mengurus anak-anak untuk kupersiapkan waktu tidur, Elodia biasa memberi kode, ?Call Uti Tyas please!?

Mama sangat menikmati masa-masa itu meski melalui media karena setidaknya medium itu seolah menghilangkan batas jarak yang lebih dari 5000km jauhnya.

Meski beberapa kali aku sering mendapatkan feeling ?nggak enak? tentang Mama, tapi setiap kali itu pula, aku langsung menghubungi Chitra menanyakan apakah semuanya baik-baik saja.

?Mama ok-ok saja. Dia lagi enjoy rumah baru, nonton tv, main-main dengan Geo malah sekarang baru mau kuberi handphone lagi!?

?Oh ya??
?Yup! Malah Mama sekarang kalau ke kamar mandi sudah nggak mau diantar Mbak Tini (perawatnya). Maunya jalan meski rambatan (pegangan tembok)?

Semuanya memang baik-baik saja. Seolah Tuhan memberikan keluangan waktu untukku dan keluargaku, Chitra dan keluarganya serta Eyangku untuk menemani Mama.

Lalu pada suatu malam, aku mengajak rundingan istriku.??Apakah memungkinkan kalau akhir tahun ini kita pulang ke Indonesia? Aku ingin kamu dan anak-anak bertemu Mama, mumpung ia masih sehat?

Joyce meng-iya-kan meski untuk itu kami harus menabung sejak sekarang.

Aku lega. Harapanku untuk mempertemukan Mama dengan menantu dan cucu-cucunya akan kesampaian. Di titik itu, aku sekarang tahu aku terlalu bersandar pada harapan?karena sejatinya hal itu tidak pernah datang dan kesampaian…

…bersambung

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.