Tyas (2)

15 Mar 2016 | Tyas

Serial ?Tyas? kutulis dalam rangka mengenang kepergian Mamaku, Veronika Dyah Rahayu Wiryaningtyas, 7 Maret 2016, seperti halnya aku mengenang papaku lewat ?Diek? dahulu.

Kepulanganku ke Klaten, 15 Maret 2015 membawa misi yang tak ringan. Aku akan bertemu Mama dan mungkin pertemuan itu akan menjadi yang terakhir kali.

Adapun konsep ?akhir? menurutku adalah konsep yang sangat menyesakkan.?Sesuatu hal ketika sedang mengalami ?awal? pun sejatinya telah memiliki pasangan ?akhir? yang tertulis dalam suratan takdir.

Hal itu membawaku ke dalam permenungan-permenungan terhadap segala hal yang pernah terjadi dalam hubunganku dengan Mama sejak aku dikandung hingga sekarang selama penerbangan yang membosankan dari Sydney ke Denpasar, Denpasar ke Jogja lalu dari Jogja melalui jalan darat ke Klaten hingga aku memeluk Mama, hingga aku mencium punggung tangannya.

Wajah ayunya tampak sangat tirus. Tubuhnya pipih, tangan dan kakinya begitu keriput tapi sorot matanya adalah sorot mata tajam yang kata orang-orang menurun identik kepadaku, pada dua pasang mataku.

Ia kaget ketika aku menyembul di pintu kamarnya. Kepulanganku memang tak dikabarkan kepadanya, takut ia malah jadi kepikiran.

Wajahnya berubah menjadi emosional khas Mama, “Le…. mulih tho kowe? Kok gundul? Kok lemu?

Aku lantas meledeknya, “Tapi tambah ganteng, kan?”

Ia mengusap kepalaku dan buru-buru kukeluarkan handphone lalu kami ber-wefie bersama seperti yang cukup sering kalian lihat di social media channel maupun di blog ini seperti tampak di bawah ini.

Tyas (02)

Kami sama-sama mengulas rindu meski dengan komunikasinya yang patah-patah karena gelombang batuk yang nyaris tak berkesudahan; menderu tak tertahankan berebut keluar dari tenggorokannya.

Mendengarnya merintih membuatku teriris-iris.

?Piye, Ma rasane??
?Lemes wae, Le??

Kami hanya saling tatap. Aku tak sampai hati untuk mengajaknya bicara terlalu lama. Jadilah aku lebih sering diam di sisinya. Tak banyak kata dan tak ingin memancingnya berkata-kata.

Suatu sore, aku mengajak Chitra dan Ayok, suaminya, serta Geo, keponakanku yang baru berusia empat bulan waktu itu pergi keluar makan.

Aku merasa perlu untuk berdiskusi tentang apa saja yang harus diantisipasi melihat kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di depan.

?Jadi kita nggak usah bawa Mama ke rumah sakit?? Tanya Chitra.??Uhmmm? kupikir lebih baik tidak usah. Kita rawat saja di rumah semampu kita yang penting dia tidak kesakitan? jawabku.

Chitra dan Ayok setuju. Selain dari biaya yang tak ringan, kemungkinan Mama ?pergi? justru karena tak kuat menanggung sakit selama terapi adalah sesuatu yang besar.

?Pokoknya kamu buru-buru urus BPJS dan pensiunan, Chit!?
Chitra mengangguk.

?Meski kita memilih untuk merawat di rumah, tapi kalau sampai keadaan memburuk, kita tinggal pake BPJS..? sambungku.

?Dan soal pensiunan, aku tahu itu tak mudah untuk diurus apalagi KTP Mama hilang. Tapi tolong diusahakan yang terbaik.. Jangan sampai Mama meninggal ketika pensiunan Papa belum terurus!?

Ia mengangguk lagi.

Suasana berubah jadi hening sementara ramai senja kota Klaten meruap ke permukaan. Aku tak pernah benar-benar bisa dekat dengan kota ini karena meski lahir di Klaten tapi sejak SD hingga aku pindah ke Australia, aku hanya mampir sekali seminggu ke Klaten. Tapi meski demikian, karena aku dikaruniai ingatan yang cukup tajam, tentang hal-hal yang kualami saat masih kecil hingga sekitar umur 7 tahunan, aku mengingatnya dengan jelas dan terang, termasuk yang kualami di Klaten ini.

?Ada yang mau diomongin lagi, Mas?? Chitra memecah heningku.??Ada. Tapi aku nggak tahu apakah kamu mau membicarakannya sekarang atau tidak??

Chitra menunduk.
Aku tahu ia mengerti arah pembicaraanku. Aku sempat pula tercekat untuk menghentikan bicara, tapi waktu terus berjalan dan ia tak pernah mau menawar-nawar dengan kita untuk sedikitpun mengurangi laju cepatnya.

?Ok, bagaimana kalau Mama nggak ada?? Aku memberanikan diri.?Ia diam, tertunduk. Menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya.

?Kita harus berpikir tentang hal itu, Chit!? Ia diam seolah memberiku ruang untuk bicara.

?Jika Mama nggak ada saat kalian berada di rumah kontrakan ini, saranku kontaklah umat Katolik dan pengurus dari Tegal Blateran saja karena kita berasal dari sana bukan dari lingkungan ini.? Waktu itu, seperti kutulis kemarin, Chitra sekeluarga dan Mama diboyong ke rumah kontrakan menunggu rumah kami selesai direnovasi.

Lalu makamkanlah secepatnya dan rawatnya jenasahnya sebaik mungkin.

?Mas, kalau Mama nggak ada, kamu nggak bisa datang??
Gantian aku yang diam. Dari awal, sejak mendengar berita Mama sakit keras dan sejak memaklumi jarak dan terutama keadaan keuangan yang sedang ketat, aku memang sudah memikirkan hal yang terburuk yaitu apabila aku tak bisa kembali pulang ketika Mama berpulang untuk mengantar jenasahnya ke pemakaman.

?Hmmmm? mungkin nggak, tapi ya nggak tahu??

?Kamu kok bisa kuat begitu tho, Mas?? Kali ini giliran Ayok, suaminya yang bertanya.

?Hehehe? kuat bagaimana maksudmu??
?Kamu bisa menyampaikan ini semua dengan tegar? aku gak bisa bayangin kalau ada di posisimu??

Giliran aku yang mengambil nafas dan membuangnya jauh-jauh. Seketika aku menyesal kenapa aku bisa tampak sedemikian tegar padahal sejatinya tidak.

?Yo piye yo? Ya inilah hidup! Aku belajar banyak dari kepergian Papa dan Papa mertuaku, ya kalau sudah waktunya tak ada satupun yang bisa menghentikan, toh??

Malam itu kami lalui dengan gamang. Sepulang dari sana, aku mengendap-endap masuk kembali ke kamar Mama. Ia tertidur dan aku hanya bisa menatapnya dalam-dalam?.

Aku mempersiapkan hari akhir kunjunganku ke Klaten dengan sangat serius. Aku membayangkan seorang narapidana mati yang hendak dieksekusi, barangkali demikian juga rasanya harus bertemu dengan orang yang secara nalar manusiawi sudah tak memungkinkan lagi untuk ditemui lagi pada kesempatan berikutnya.

Sabtu, 21 Maret 2015. (Penggalan ini hingga kutipan dari Facebook di bawah adalah copy-paste dari tulisan lamaku, RISALAH AKHIR PEKAN XIII/2015)

Setelah paginya pergi ke makam leluhur, Eyang buyut kakung dan putri, eyang kakung dan Papa, aku dan Ayok mampir sarapan makan soto. Dalam percakapan di situ, aku bilang ke adik iparku itu, ?Aku pengen pamitannya dengan Mama setelah ini intens tapi nggak lama.?

?Kenapa, Mas??
?Hmmm.. kalau kemarin kamu selalu tanya apa resepku bisa tegar menghadapi semua ini, nah kali ini? pagi ini, aku nggak tegar lagi!?

?Maksudmu??
?Aku sedih? Sedih banget karena secara manusiawi, aku tahu ini bisa jadi pertemuanku yang terakhir dengan Mama, meski aku tahu Tuhan punya rencana yang mungkin bisa tak sama dengan perkiraan dan pemikiranku!?

?Hmmm??
?Jadi nanti dibikin cepet aja. Siapkan mobilmu dan tungguin aku di situ. Aku akan masuk kamar sebentar, pamitan ke Mama lalu pergi??

Lalu perpisahan itupun terjadi.
Seperti yang pernah kutulis di Facebook, hal berikut di bawah ini sungguh-sungguh terjadi?

***

Dua hari yang lalu aku kembali bertemu Dokter Pribadiku yang kuceritakan dalam Tyas (1) untuk memeriksakan anakku yang sedang kurang enak badan.

Ia menepuk punggungku, ?Sorry to hear that, Don!?

Aku mengangguk. ?Thanks, Dok. Tapi justru aku yang berterima kasih padamu!?

?Oh, kenapa??
?Karena saranmu waktu itu, aku pulang dan bertemu Mama untuk yang terakhir kalinya. Bayangkan kalau aku terus berkeras untuk tidak pulang, penyesalanku barangkali akan berlangsung panjang hingga masa tuaku, hingga seumur hidupku!?

Ia manggut-manggut? ?Mamamu sekarang sudah tenang..??Aku terdiam? Saat itu yang kubayangkan adalah tatapan mata Mama yang kutinggalkan pagi itu, 21 Maret 2015. Tatapan mata yang pasrah yang hanya berharap pada Tuhan…

Tyas (02)

Gelas blirik yang kubeli saat aku pulang tahun lalu…

? bersambung

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.