Nasib mahasiswa!
Semalam saya terpaksa menolak ajakan beberapa orang teman untuk menonton film di theater hanya gara-gara saya harus belajar karena besoknya ujian.
Sebenarnya kalau nekat untuk tidak belajar sah-sah saja, tapi karena saya harus mencari materi ujian menyoal Hak Asazi Manusia mata kuliah Kewarganegaraan, jadilah akhirnya saya berkutat dengan internet, googling sana googling sini, copy paste sana dan sini demi ujian yang saya tak ingin gagal besoknya.
Tapi mungkin juga lagi apes, koneksi internet yang biasanya cepat malam itu pun mendadak lambat.
Bahkan ketika saya sudah menemukan materi di sini, ya ampun, luambat betul untuk membuka baris demi baris hingga kantuk pun melanda.
Lalu tiba-tiba pintu ruangan saya terketuk, “Tok! Tok!”
“Sopo kuwi?”
“Saya Bos!”
Aha! Tak asing lagi, TUNGGONONO!!! Junjungan saya yang sudah cukup lama tak kutemui lagi.
“Mlebu Nggon!”
Lalu pintu pun terbuka dan sosok itu tiba di hadapan saya.
Sementara saya masih terus berkutat dengan internet yang melambat, pandangan tak saya lepaskan sama sekali dari layar komputer.
“Sorry hehehe aku sedang sibuk banget, Nggon! Piye Cah Bagus.. ada apa jhe?”
Tunggonono terdiam cukup lama sampai akhirnya ia hanya mendehem saja.
Melihat gelagat yang kurang mengenakkan, saya pun akhirnya menyudahi pencarian saya di internet untuk sejenak memperhatikannya.
Dan… astaga! Betapa kagetnya saya!
Air muka Tunggono kali ini betul-betul merah padam. Matanya melotot ke arah saya dengan tajam, hidungnya megar-mingkup membiarkan nafasnya ngos-ngosan dan mulutnya bergemeletar.
Pokoknya bener-bener menyeramkan dan sepertinya baru kali ini kulihat dia mampu berperangai demikian.
“Lohh! Kamu itu kenapa Nggon?!” Saya pun kaget.
Mendadak saya merasa ngeri sendiri dengan tingkah polah penjaga malam saya itu yang kali ini bener-bener tak seperti biasanya.
Bulu kuduk saya meremang bukan karena hantu yang lewat, tapi karena ancaman yang mengintai dari seorang yang sangat dekat dengan saya, Tunggonono.
Pikiran tiba-tiba kembali ke ingatan bahwa Tunggonono itu adalah mantan preman ndeso yang pastinya dengan sedikit bet-bet-bet saja akan lenyaplah riwayat saya!
“Nggon! Kenapa Nggon?!?” Tapi dia tetap tak bergeming.
“Nggon!”
“Apa Bos!
Apa Bos itu ndak tahu apa kesalahan Bos sehingga membuat saya menjadi begini ini?” Sorot matanya menyudutkan seperti hingga ke ujung persahabatan kami.
“Waduh! Saya ndak tahu Nggon. Ada apa? Ini masalah kerjaan atau masalah pribadi? Kalau masalah kantor bukankah kamu tak pernah telat kugaj…”
“Ini bukan soal gaji, Bos!” Suaranya semakin menyeringai hingga terdengar nada bentakannya. “Ini soal pribadi! Soal hak pribadi saya!”
“Heh? Soal hak pribadi apa?
Kita kan bertemu dalam tautan pekerjaan, bukan soal pribadi meski kita dekat!” Saya pun merasa harus menaikkan nada suara saya meski sebenarnya cukup ketakutan dengan keterdesakan itu.
“Si Bos nggak tau salahnya tho? Woh dasar! Ngakunya orang IT! Tapi nggak manusiawi!”
Saya pun tersulut amarah yang meletup juga akhirnya oleh karena ucapannya yang terakhir itu.
“Heh! Jaga mulutmu! Di perusahaan ini aku Bos mu! Cabut! Cabut omonganmu itu atau besok kamu ndak usah jaga malam lagi!”
“Silakan Bos! Silakan! Sok! Tapi sebelum saya keluar saya mau ngomong bahwa saya merasa ditinggalkan begitu saja.
Suara-suara dan ide-ide saya yang biasa Bos utarakan di blog si Bos itu kok sudah sekitar dua minggu ini tak pernah dipublikasikan lagi?
Saya ya marah tho! Saya itu sudah terlanjur mikir betul-betul bolehnya berpendapat karena menurut si Bos kan omongan saya itu akan dipublikasikan di internet!
Jadi saya betul-betul telah berjuang untuk itu, Bos!
Bahkan saya sudah begitu membanggakan di depan teman-teman bahwa suara saya mangsuk ke internet lewat blognya si Bos lho!”
“Loh! Sek sebentar!”
“Nggak ada sebentar-sebentaran Bos! Saya belum selesai ngomong! Jangan dipenggal!”
“O… Ok! Ok”
“Saya kaget kenapa itu semua terjadi?
Apa salah saya?
Saya, meski cuma anak bawang begini kan punya hak untuk bicara dan disiarkan pembicaraan saya tho Bos? Apa salah saya???”
Suara Tunggonono kian meninggi, tapi di tengah itu saya merasakan nada kompromi yang mulai terbit.
Saya diam cukup lama. Saya berpikir untuk mendengarkan dia dan mencari dimana duduk permasalahan yang paling pas, baru kemudian saya akan bersuara.
Tapi keheningan menjadi bergeming di antara kami. Tampaknya dia telah menuangkan semua apa yang dipikirkannya.
“Sudah, Nggon?”
Tunggonono terdiam. Ia merunduk, matanya yang tadi melotot kini kuyu berkaca-kaca.
“Duduk, Nggon! Duduk! Yang sabar dulu ya!”
Tapi ia tetap tak bergeming. Sambil terus menunduk ia berkata “Saya hanya ingin mendengarkan, Bos! Bukan berdamai!”
Mampus! Batinku. Perkiraanku tentang kompromi itu ternyata salah besar!
“Ok. Begini!
Aku minta maaf kalau menurut kamu aku itu telah mengkhianati janji. Meski sebenarnya aku nggak pernah merasa berjanji padamu soal publikasi ide-idemu di blog-ku.
Tapi kamu harus tahu bahwa perkembangan pada akhirnya membuat aku harus berpikir ulang untuk terus mengungkapkan ide-idemu, Nggon!
Kamu tahu kenapa?
Karena ternyata sudah buanyak orang-orang yang melibatkan orang ketiga bayangan dalam website mereka untuk mengungkapkan ide dan alter-ego ide mereka seperti dialog-dialog antara kamu dan aku selama ini, jhe!”
Brakkk! Tunggonono menyala lagi. Kali ini ia mengetukkan ujung-ujung jarinya ke meja saya.
“Saya itu bukan bayangan, Bos! Saya itu nyata!”
“Sek, sebentar… sabarrr! Tapi Nggon, mereka toh nggak tahu kamu itu nyata atau nggak nyata, dan pada kenyataannya aku tak ingin sama dengan mereka, melemparkan alter ego ide mereka itu tadi.
Itu bukan Donny banget, Nggon! Aku ini bukan model yang pengikut dan follower kayak mereka itu!
Aku memang tiru-tiru.. ikut-ikut, tapi bukan terhadap mereka.
Aku ikut-ikut pada apa yang digunakan Pak Umar Kayam dalam bercerita. Kamu ingat tho tentang ini semua? Tentang bagaimana suwargi Pak Kayam itu bercerita menggunakan tokoh Ms Nansiyem dan suaminya Mr Rigen?
Ya itu! Saya memang ikut-ikut Maestro itu tapi ndak ikut-ikut mereka!”
Tapi korbannya, Bos! Korban dari gengsi si Bos yang besar itu saya… s…a…y…a korbannyaa!!!!” Tunggonono menepuk-nepuk dada sangking emosinya.
“Loh! Kok kamu korbannya? Aku kan sudah bilang, aku menghormatimu dan minta maaf untuk semua ini.. tapi.. tapi blog ini kan juga milik saya, Nggon?!?
S… a… y…a” Saya gantian menepuk-nepuk dada keras-keras.
Dan tiba-tiba ia pun menggebrak meja sekali lagi dan berteriak “Hak saya sudah diinjak-injak di sini!”
Saya pun semakin menyala oleh emosi karena dbuatnya.
“Hak apa? Hak apa? Hak mu sebagai babu??!?? Hah..? Bab…”
Dan tiba-tiba si preman ndeso itu pun telah melontarkan bogem mentahnya kepadasaya hingga terjerembab.
“Hak apa? Hak untuk bicara, Bos! Ingat itu, hak untuk bicara! Saya punya hak itu meski saya babu sekalipun!”
Dan.. dugggggg!!!!!!!
“Kakinya yang berotot itu telah menjejak ke pipi saya keras-keras hingga membentur tembok dan sesaat kemudian, segerombolan orang telah pula masuk ke ruangan dan menjadikan saya bulan-bulanan hingga akhirnya saya sudah tak sadar lagi.
Lalu tiba-tiba saya merasa suhu menghangat, matahari meremang cerah dan suara sepeda motor berlalu lalang.
Saya merasa seperti telah bertransformasi ke Surga akan tetapi ternyata “Wasyuuuu!!! Jebul saya cuma mimpi tho….”
Dan.. astaga, 07.45 WIB! Lima belas menit menjelang ujian!!!
Segera saya pelototi komputer dan betapa kecewanya saya karena loading internet ternyata tak sampai sempurna saking lambatnya internet semalam.
Dari 30 pasal tentang Hak Azasi Manusia yang kudownload, komputer saya toh hanya bisa membuka sampai poin ke 19:
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.
Ah! Kenapa tepat betul antara bunyi pasal tersebut dengan hal yang diucapkan Tunggonono dalam mimpi semalam ya?
Lalu saya pun memutuskan untuk tidak berangkat ujian saja, melainkan merenungkan makna dan arti dari mimpi saya tadi.
Ah, saya harus membaik-baiki Tunggonono malam nanti supaya mimpi tetaplah menjadi mimpi yang berbataskan kesadaran dengan kenyataan.
Ya… ya… ya hak berbicara, Nggon! Hak berbicara!
Saya lantas termangu-mangu dan sekelebat demi sekelebat bayangan berlari-lari dalam bayangan saya… UU ITE, Depkominfo, film terlarang, kebebasan berbicara.. ya berbicara bebas!
Gambar diambil dari sini.
Mimpi yo mimpi, tapi moso Tunggunono bicaranya baku begitu. Kalian sedang berdialog di dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia anak kelas berapa? Hehe!
Ah… Aa DyM :)
Ya namanya juga mimpi Aa… saya kan berhak untuk memimpikan Tunggonono yang berbahasa halus dan baku seperti itu :)
Iya, Hon… Kamu memang berhak, Hon… Sakarepmu wis, Hon…