Pada suatu malam aku dikagetkan oleh kedatangan Tunggonono yang babak bundhas[1] di lutut dan siku tangannya.
Ia jalan begitu perlahan setelah memarkirkan kendaraan roda duanya menuju ke pintu tempatku bersandar saat itu.
“Kowe ki ngopo jhe? Kok bolehnya memakai perban di sana-sini?”
“Wah! Mas Don itu lho! Ada orang kayak gini kok malah ditanya yang aneh-aneh?” Tunggonono menyeringai sembari meluruskan kakinya perlahan-lahan sambil tetap berjalan.
“Weee lha… siapa yang aneh? Aku atau kamu? Kalau kamu nggak aneh itu kamu nggak maen perban sana-sini tho? Kenapa sebenarnya Nggon? Apa bakat premanmu itu muncul lagi, nggebuki orang dan digebuk balik begitu?”
Tunggonono, batur[2]ku yang preman desa itupun perlahan bisa duduk meski dalam posisi yang tak sewajarnya ia duduk, sementara aku yang begitu penasaran dengan keadaannya malam itu duduk di sebelahnya sembari menonton tayangan televisi.
“Nganu Bos… saya tadi nabrak orang jhe!”
“Lha! Ini! Ini lebih aneh lagi! Kamu super duper aneh jhe malam ini, Nggon!
Kamu nabrak orang kok kamu yang perbanan gitu. Apa ya berarti yang kamu tabrak itu mati ditempat karena melihat perban kamu yang mengerikan itu pasti kecelakaannya berat !?”
“Hehehehe…. Nggak Mas Don! Yang kutabrak itu malah cuma lecet saja.”
“Lha, orang super itu berarti ya?” tanyaku polos padanya.
“Super ngawur!” jawab Tunggonono tangkas.
“Kok bisa?”
Bayangkan orang kita ini. Baru jadi vorijdeer pengantar jenazah aja sudah belagu seperti itu.. jadi nggak heran tho bagaimana kelakuannya kalau sudah jadi pejabat yang jelas-jelas memiliki kuasa yang lebih ketimbang seorang peserta konvoi seperti itu..
“Ya bisa… ceritanya tuh gini lho Mas, kemarin itu kan tetangga saya, Mbah Diran, meninggal. Trus tadi siang itu pemakamannya. Nah, saya dan beberapa teman kampung yang kebetulan adalah teman cucunya Mbah Diran, didaphuk[3] ikut konvoi mengantar jenasah ke pemakaman. Lha pas di jalan tahu-tahu ada sepeda motor berlawanan arah bablas terus saja dan mak gabrussss.. saya yang malah jatuh… ngglangsar[4].” tukasnya panjang lebar.
“Wah… sebentar, jadi orang itu berlawanan arah dengan rombongan jenasah? Memangnya jalan searah?”
“Ya enggak.. lha wong jalan kampung kok searah… si Bos ini nganeh-anehi. Ya dua arah!”
“Lho, kalau dua arah kenapa kamu bisa nabrak dia?”
“Ya dia itu nggak mau berhenti. Kalau ada rombongan jenasah lewat gitu kan biasanya orang-orang pada berhenti tho, Bos!”
“Ah masa..? Lha kenapa mesti berhenti?”
“Ya namanya juga konvoi, kita kan pakai semua lebar jalan tho….Lha tadi orang itu malah nekat jalan terus. Habis saya ngglangsar tadi sebenarnya teman-teman saya sudah pada siap mukuli dia lho.”
“Wooohh.. lha kok gak jadi mukuli?”
“Lha diteriaki sama keluarganya Mbah Diran supaya jangan mukuli!”
“Hmmmmmmm….” Aku manggut-manggut mendengarkannya.
“Kenapa si Bos kok manggut-manggut, mbok diutarakan kalau ada pendapat itu!”
“Hehehehe.. Nggon.. nggon… nanti kalau saya berkomentar sakitmu tambah banget lho!”
“Ya ndak papa.. saya kan juga butuh pendapat dari si Bos, gimana?”
“Tapi janji ya.. ojo nesu[5]! Aku takut kalau bakat premanmu sudah timbul di permukaan… weeee lha bisa bahaya aku nanti kamu pukuli!”
“Nggak Bos, janji!”
“Ya wes! Gini Nggon… pertama-tama kowe harus tahu bahwa si orang itu nggak salah karena dia berjalan di jalur yang benar. Bener nggak?”
“Yaaaa.. bener bos tapi kan di….”
“Sek! Sebentar!… dengarkan omonganku.” Aku menyela
“Jadi intinya kamu setuju kalau si orang itu nggak salah.
Lalu kekuatan apa yang mbikin kamu dan temen-temen anggota konvoi itu kok memenuhi lebar jalan yang seharusnya dua arah?”
“Lah.. si Bos lucu ik!”
“Lha kok lucu?”
“Lha yo lucu lha wong tadi saya kan sudah bilang.. saya dan teman-teman kampung itu diminta untuk ikut konvoi mengantar jenasah ke makam! Jadi ya wajar tho kalau kita pakai semua bagian jalan yang dilewati.”
“Lha kok pakai acara wajar-wajaran segala? ”
“Lha kan biasanya begitu tho Bos!”
“Lha kenapa mesti dibiasakan? Kamu kan tahu bahwa secara aturan itu salah tanpa melihat apapun lho ini.. kecuali kamu diijinkan Pak Polisi secara khusus memakan lebar jalan semuanya.”
Lha pertanyaanku sekarang memangnya kamu itu dapat ijin khusus untuk jalan terus?”
“Ya nggak, tapi kan Aa..?”
“Wes lah intinya gini!
Kamu kan tahu kamu itu, meskipun diminta untuk ikut konvoi, tapi pada dasarnya kamu itu sama-sama pengguna jalan lho! Kamu tetap harus hormat pada rambu dan sesama pengguna jalan yang lain. Jangan mentang-mentang kamu jadi anggota konvoi njuk kamu bisa bebas memakai jalanan sesukamu. Lha mbok yakin kamu tadi pasti nggak pakai helm tho?”
“Hehehe nggak Bos. Mana ada konvoi yang ber helm? lebih modis dan mbois[6] nek nggak pake helm tho hehehe”
“Woooo.. cah pekok[7]! Ini bukan soal mbois nggak mbois tapi gimana kalau kamu njuk jadi ikut ada di ambulan gara-gara jatuh dan nggak pake helm?”
“Maksud si Bos saya ikut jadi mati gitu?”
Saya nggak tanggapi omongan si Tunggonono.
Tiba-tiba saya jadi teringat omongan salah satu teman dekat saya beberapa tahun lalu. Ia pernah berujar begini “Bayangkan orang kita ini. Baru jadi vorijdeer pengantar jenazah aja sudah belagu seperti itu.. jadi nggak heran tho bagaimana kelakuannya kalau sudah jadi pejabat yang jelas-jelas memiliki kuasa yang lebih ketimbang seorang peserta konvoi seperti itu..”
Ya… ya… Aku cuma manggut-manggut sementara Tunggonono tetap tak habis-habisnya berpikir dan menatap ke wajahku, urat-urat di lehernya mulai membesar lagi, preman ndesonya mulai kumat, sepertinya …
- luka-luka
- pembantu
- diangkat, dipilih
- jatuh
- marah
- bergaya, keren
- bodoh
gue suka gaya loe……hihihi…iklan banget….
semoga banyak orang yang liat ni tulisan……terus maju….bos
hore aku yang pertama……
@wahyu: lha mbok kowe mbikin blog biar aku juga bisa baca opini dan pikiranmu :)
iya…gw jg heran pengendara motor sekarang makin byk yg otaknya di dengkul….tiap hari dijalan kerjaan gw cuma sumpah serapahin org….apalagi yg pada ikutan acara2 di mesjid tuh ngakunya org beriman tp pada naik motor pake sarung serabutan di jalan cuma pake peci doang ….emang yg begitu dapet pahala apah…tp herannya kok ga pernah di tindak ya sama polisi…bisanya cuma nyusahin org ajah…*sori yag curhat colongan hehe*
Lho, Don, kok ada orang ngomel-ngomel di sini? *melirik Windy* :-P