Tunggonono dan tanggung jawab sebagai ‘wong lanang’

16 Jan 2017 | Tunggonono

Ada satu momen menarik yang terjadi antara aku dan Tunggonono saat bertemu di Tramshed kemarin.

Momen itu ditandai dengan satu pertanyaan ‘bisik-bisikku’ kepadanya, “Nggon, kok kamu belum menikahi Cathy padahal ia sudah hamil?”

Cathy, pacar si Tunggonono yang dikenalnya sejak cewek bule Australia itu belajar Bahasa Indonesia di Jogja beberapa tahun lalu yang lantas memboyong Tunggonono kemari, memang sedang hamil lima bulan. Bagi ukuran Australia, hal itu wajar-wajar saja, hamil tak harus menikah, menghamili tak harus menikahi, dihamili tak harus memaksa yang menghamili untuk menikahi.

Dan aku sejatinya bersyukur Tunggonono tak naik pitam ketika kutanyai begitu. Ia hanya tertawa nggleges sebelum menjawab singkat, “Belum. Belum terpikir, Bos!”

Jawabannya itu sebenarnya melukiskan betapa Tunggonono telah berubah jadi jauh lebih dewasa. Seingatku dulu kalau ia dilayangi pertanyaan-pertanyaan yang cukup menohok seperti itu, harga dirinya terdesak lalu pemberontakan adalah dengan menampilkan urat lehernya yang sebesar kelingking itu…

Ke-kepo-anku belum selesai. “Orang tuamu di Jogja tahu kalau Cathy hamil?”

“Taulah, Bos! Tau banget! Cathy yang malah lebih akrab dengan Bapak dan Ibu kok ketimbang saya. Saya kan sibuk kerja dari pagi hingga malam!” jawabnya. Aku tak membayangkan bagaimana bapak dan ibu Tunggonono yang pernah pula kukenal dan bersahaja karena tinggal di kota yang berhati nyaman itu, pasti jadi gaul banget punya mantu, eh calon mantu, bule yang berbahasa Inggris dan membuat mereka mampu mengikutinya berbahasa Inggris pula.

“Lalu tanggapannya?” Donny! Kepomu kebablasan!

“Awalnya ya kaget, pertanyaan Ibu ya kayak sampeyan barusan ‘Kapan dinikahi?’ tapi lantas Bapak menenangkan dan pesannya Bapak cuma satu waktu itu.” Ia terhenti, wajahnya menerawang.

“Apa?”
“Dadi wong lanang, Le!” Jadilah cowok, Nak.

Ungkapan ‘Dadi wong lanang, Le!’ itu punya kedalaman makna yang luar biasa. Dalam penjelasan yang lebih panjang, hal itu terbaca sebagai, kamu yang sudah menghamili, berani berbuat, berani bertanggung jawab! Berani menghamili, mana dulu yang harus dilakukan, tanggung jawab untuk menikahi atau untuk menghidupi?

Jika diijinkan tentu keduanya, ya menikahi, ya menghidupi. Tapi atas nama kehidupan modern di negara maju dimana setiap pilihan hidup dari setiap warga dan penduduknya dijunjung tinggi, menikah tak semudah pria yang datang ke rumah orang tua si wanita lalu melamar dan menikah. Di sini lebih pada tanggung jawab kedua insan yang hendak menikah, bukan harus/tak harus tapi mau/tak mau?

Aku tahu Tunggonono mengerti akan hal itu. Kalaupun ia mau, belum tentu Cathy-nya setuju untuk dinikahi. Jadi? Hidupi! Tunggonono mengambil peran sebagai wong lanang sesuai ujaran Bapaknya. Ia bekerja keras membanting tulang seperti yang kutulis di Risalah kemarin, siang hari ia menjaga gudang, di sela-sela waktu senggang sesudahnya ia menerima order untuk reparasi barang rusak dan pemeliharaan taman.

Tapi bukan Tunggonono kalau ia tak menyengat.
Sebuah pertanyaan menyudutkan dilontarkannya. “Bos, kalau menurutmu tindakanku ini salah enggak?” Aku gelagapan dan karena tak siap, kubalas pertanyaan itu dengan pertanyaanku yang lainnya, “Hmmm, mana? Tindakan mana yang kamu maksud?”

“Menghamili, tak menikahi.”
Dengan hati-hati aku menjawab, “Mana ada orang yang tak pernah berbuat salah, Nggon? Kesalahan itu kan imbas dari pilihan yang kita ambil dan perbuat. Jadi semua orang punya salah atau setidaknya pernah berbuat demikian. Tapi kalau kamu tanya tindakanmu itu salah atau tidak, sebagai kawan aku harus menjawab salah.”

Tunggonono terdiam, aku melanjutkan.
“Tapi tak ada kesalahan yang tak dapat ditebus jadi tebuslah dengan bertanggung jawab! Hidupi, kalau nanti bisa dan mau, nikahi!”

Tunggonono manggut-manggut. Dari sudut mataku, ia diam menerawang, keriput di pinggiran matanya menjelas, preman ndeso yang sahabat baikku itu sama sepertiku dan seperti kalian semua, menua!

Sementara matahari perlahan lindap ke sisi barat dan cercah sinarnya membersit ke mataku, kukenakan kembali kacamata hitam untuk tak hanya menyembunyikannya dari sinar matahari yang moncer tapi juga supaya aku bisa mendalami Tunggonono yang semakin muncul karakternya ini tanpa harus malu dan takut ketahuan, lebih dan lebih lagi…

Simak tulisan-tulisanku lainnya terkait Tunggonono di sini.

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Masih di Ostrali, Nggon? udah lahiran, anaknya? lg momong anak?

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.