Tumbler penyok

22 Sep 2023 | Cetusan

Dari dulu aku gemar minum air putih. Dalam sehari minimal dua liter. Sejak beberapa bulan belakangan aku lebih suka lagi kalau air putih itu disajikan dalam kondisi hangat. Kuota yang kuhabiskan bisa lebih banyak lagi.

Aku lupa bagaimana awal mulanya tapi sejak suatu pagi, aku merasa ada yang lebih menyenangkan ketika minum air putih hangat ketimbang dingin. Rasa mulut, tenggorokan hingga perut yang menghangat itu jadi sensasi yang menyenangkan. Waktu aku menceritakan hal ini kepada Joyce, istriku, komentarnya singkat padat, jelas, “Kayak kakek-kakek aja kamu! Sukanya minum air putih hangat…”

Karena air putih hangat itu tidak boleh dituang dalam botol plastik sementara untuk membeli tumbler berinsulasi  lumayan mahal aku berusaha mencari di almari perkakas di dapur siapa tahu masih tersimpan beberapa tumbler yang sudah tak terpakai lagi dan aku bersyukur menemukan satu.

Tumbler itu merk-nya Thermos. Salah satu merk terkemuka yang saking terkenalnya kerap jadi asosiasi ketika kita menunjuk tumbler. Sama seperti nasib odol pengganti kata pasta gigi, honda pengganti sepeda motor dan googling pengganti kata kerja mencari informasi di internet.

Maka sejak saat itu, tumbler kubawa kemana-mana. Ketika bekerja di rumah, tumbler itu selalu terisi penuh menemaniku bekerja. Ke kantor, tumbler itupun kubawa. Bahkan menjelang tidur aku selalu mengisinya supaya ketika terbangun aku bisa menyeruput air putih hangat dari meja kamar… lalu tidur lagi.

Belum lama ini, ketika hendak bepergian, seperti biasa aku tak lupa membawa tumbler yang sudah kupastikan penuh dengan air putih hangat.

Di mobil aku meletakkan tumbler itu di saku pintu geser mobil yang cara pengoperasiannya otomatis digerakkan mesin. Ketika kami berhenti di satu tempat, aku lupa mengambil tumbler itu lebih dulu sebelum membuka pintu geser. Alhasil, tumbler itupun penyok!

Aku sempat sedih sih!

Gak cuma karena itu berarti aku harus beli baru tapi juga karena tumbler itu salah satu barang kenangan yang dulu kerap dipakai Joyce untuk menyiapkan air putih cadangan saat bepergian untuk membuat susu ataupun cereal waktu anak-anak masih kecil.

Eh, bentar… tapi masa sih aku harus beli tumbler baru hanya gara-gara penyok?

Alih-alih membuang, aku lantas berusaha memastikan apakah tumbler ini sama sekali tak bisa digunakan?

Hal yang pertama kucheck adalah insulasinya. Adakah vacuumnya ikut rusak karena penyok sehingga tak bisa lagi menjaga minuman tetap hangat? Kuraba bagian dalam tumbler tepat di area yang penyok dan ternyata masih utuh. Fiuhhhhh! Artinya, ia masih bisa kugunakan untuk menjaga temperatur air.

Akupun memutuskan untuk tak membuangnya. Lagipula, justru dengan kepenyokannya, tumbler ini memiliki daya guna yang lebih. Kok bisa?

Sisi yang penyok dari tumbler itu justru jadi tempat nyaman untukku meletakkan jempol ketika menggenggam dan meminum darinya. Tanpa penyoknya, tumbler ini tadinya gak cukup mudah untuk dipegang satu tangan dalam relatif waktu yang lama. Bahan baku stainless steel plus air yang dituangkan di dalamnya kadang membuat bobotnya jadi lumayan berat dan gampang jatuh karena permukaan yang licin. Mrusut, bahasa Jawanya.

Dalam dunia experience design yang kugeluti, istilahnya tumbler ini setelah penyok justru jadi punya tingkat usabilitas yang lebih tinggi karena ketika digenggam timbul rasa aman karena lekukannya membuat genggamanku lebih erat dan rasa takut untuk mrusut pun terkurangi!

Kalau mau ditinjau dari sisi yang lebih dalam lagi, aku melihat peristiwa penyoknya tumblerku ini sebagai sebuah pelajaran bahwa tak semua cacat dan cela itu berarti daur hidup suatu barang berakhir. Tentu cacat dan cela membuat keadaanya tak lagi sama dengan sebelumnya. Tapi bukankah hidup ini sejatinya juga tak pernah sama?

Justru fase dimana kita merasa barang sudah cacat harusnya jadi fase dimana kita diajak kreatif dalam melihat dan menyikapinya dari sudut pandang baru yang semoga ditemukan juga nilai-nilai baik yang baru setelah cacat dan cela yang kadang tak bisa dielakkan tapi terjadi…Seperti kisah tumbler kesayanganku ini…

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Bisa aja Anda mem-filosofi-kan termos penyok pake ilmu cocok-logi.
    Btw, nice post!

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.