Tulisan yang membuatku berpikir betapa aku kian menua…

12 Jan 2017 | Cetusan

Baru masuk hari kerja pertama setelah libur akhir tahun, kabar tak mengenakkan kuterima dari HRD manager. Salah satu anak buahku memutuskan keluar karena menerima tawaran kerja di New York, Amerika Serikat sana.

Sebenarnya sih harusnya aku lempeng-lempeng aja, toh dalam kerangka profesional, pergantian orang adalah wajar, no one is irreplaceable. Yang jadi nggak mengenakkan adalah, sebulan sebelum ia keluar, aku sudah meng-approve dan mengurus usulan training yang diajukannya sebagai bagian dari personal development program yang dibiayai perusahaan.

Sialnya, ketika kutanyakan ke perusahaan pengadaan training tersebut, tiket sudah tak bisa diuangkan kembali karena sudah tinggal tiga bulan sebelum pelaksanaan dan pendaftaran pun sudah ditutup.

Pihak HRD juga nggak menuntut refund dariku tapi rasanya tetep aja ‘nggak enak’.

Untuk itu aku lantas menempuh cara bagaimana supaya tetap ada orang yang menggantikan anak buahku tadi ikut training. Usaha pertama adalah menawari anak buahku lainnya untuk mengganti tapi ia tak mau. Topiknya tak menarik, tukasnya.

Ya sudah. Daripada hangus, akhirnya aku sendiri deh yang ikut ke training itu. Tadi siang kutelpon perusahaan pengelola training tersebut dan kusampaikan niatku untuk mengganti posisi anak buahku dalam training nanti.

“Are you sure, Donny?” tanya orang di seberang.
“Ya. Kenapa?”

“Ah enggak tapi kalau posisimu adalah seorang UX Lead, apa kamu masih perlu untuk ikut kelas ini?” UX Lead adalah posisi pimpinan divisi yang mengelola UX/UI – User Experience dan User Interface dalam tim besar berisi development consultants.

“Ah, gak papa. Aku tahu materinya basic tapi sekalian aku belajar lagi. Siapa tahu ada hal baru yang aku bisa dapatkan dari sana?”

Seriously? OK lah tapi nanti kamu ikut bantu trainernya ya…”

What?”
“Iya, ikut bantu share pengalamanmu karena pengalamanmu di bidang ini kan hampir sama dengan pengalaman trainer yang hadir di situ nantinya.”

Tiba-tiba aku membayangkan diriku, lima belas tahun silam. Jika hal ini terjadi saat itu, barangkali ceritanya akan lain. Gengsiku waktu itu sedang tinggi-tingginya. Ego dan sombongku sedang berada di atas pelana kuda, “Boro-boro ikut training, trainernya lah yang harusnya aku training!” Aku bisa membayangkan diriku sendiri akan berucap seperti itu…

Aku memang menua dan seperti halnya kalian yang juga menguzur, ego dan sombong itu ternyata ikut meluncur turun, melandai seiring bertambahnya angka umur dan aku amat mensyukuri hal ini.

Ego dan sombongku meluruh di rumah, sehingga ketika pergi ke kantor, yang kuhadapi bukan lagi bagaimana harus mengalahkan pesaing, bagaimana menundukkan hari, bagaimana menjadi pemenang. Yang ada kini adalah bagaimana bekerja secerdik mungkin supaya bisa selesai secepat dan sebaik mungkin. Malah dalam salah satu joke dengan kawan kerjaku, aku bilang bahwa bos-bos di kantor itu sejatinya hanya dummy bosses saja karena bos sesungguhnya adalah istri dan anak-anak di rumah. Kepada merekalah aku menumpahkan segala kemampuan, pengalaman dan daya hidupku karena kepada mereka jugalah Tuhan menitipkan harapan dan masa depan keluargaku.

Aku merasa lebih bisa menahan diri dan berpikir bahwa hidup ini tak hanya bisa diselesaikan dan dimenangkan bermodal kemampuan teknis saja. Bahwa hidup ini juga harus diseimbangkan dengan kedewasaan berpikir, melihat dan menilik apakah yang kita lakukan itu merugikan orang lain atau tidak, menguasai soft skills dan yang paling penting; bagaimana menghargai apa yang telah kita capai dan gagal kita gapai di masa lalu sebagai sebuah pengalaman, P-E-N-G-A-L-A-M-A-N.

Pengalaman itu layaknya susu dalam segelas kopi. Ia menjadikan kopi berasa gurih dan membuat gula jadi kehilangan peran karena ketika gurih didapat, rasa manis hanya akan membuat muak saja hingga ke pangkal kerongkongan. Sama halnya orang, kamu boleh punya skill tinggi dicampur dengan karisma yang luar biasa. Tapi saking luar biasanya jadi memuakkan, lebih baik skill yang cukup dibumbui pengalaman.. rasanya akan beda.

Aku masih mengejar karir dan sepertinya tak kan pernah berhenti sebelum akhirnya aku harus berhenti nantinya. Tapi tujuan kejaranku tak lagi popularitas dan pesona diri. Adalah keluarga, anak-anak dan istri yang menjadi pedoman. Bagaimana bekerja untuk mereka, intinya.

Lagipula, apalah gunanya kamu bisa memindahkan gunung, bisa mengeringkan samudra atau memutar dan menggeser rotasi bulan kalau kamu tak bisa menaklukkan hati istri dan memberikan kebahagiaan pada anak-anakmu sendiri?

Duh, aku tiba-tiba berasa tua…

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Wes mulai uzur hahahaha

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.