tuhan

18 Nov 2010 | Agama, Cetusan


Seandainya Tuhan adalah sesuatu yang kelihatan, barangkali peristiwa di bawah ini dan banyak peristiwa-peristiwa senada lainnya tidak perlu terjadi.
Tumini dan Wagiyo, adalah dua sejoli yang akan kuceritakan. Keduanya, setelah melalui perjuangan yang tak gampang pada akhirnya menikah empat tahun silam.
Wagiyo adalah anak sulung keluarga Rusminto, seorang pemeluk Katolik taat yang beserta seluruh anggota keluarganya kerap dijadikan role-model bagi banyak keluarga Katholik di kotanya.
Hal ini tak berlebihan karena selain pembawaannya yang kalem, Rusminto bisa dibilang memiliki segalanya yang pantas untuk dijadikan sebagai contoh baik. Rejeki yang kecukupan, keluarga yang bahagia, kehidupan sosial yang seimbang dan apalagi kalau bukan keterlibatannya dalam kehidupan menggereja yang mengagumkan.
Sebagai orang terpandang, tak heran jika saat ia mengumumkan rencana pernikahan anaknya, Wagiyo dengan pengajar ‘Sekolah Minggu’, Tumini, hal itu lantas menjadi berita besar bagi kalangan umat di kota itu. Banyak orang berebut untuk turut andil dalam perhelatan itu. Mereka berbondong-bondong menawarkan bantuan untuk setidaknya meringankan beban biaya acara dan juga memeriahkan dengan apa yang mereka punya.
Group paduan suara ‘Unen-unen’ pimpinan Sulastri, istri Rusminto, tak pelak lagi menjadi bakal pengisi paduan suara saat sakramen pernikahan nanti.
Dukungan Budi Blandrek, fotografer handal yang top-markotop di kota itu, untuk meng-capture seluruh acara dalam bidikan lensanya adalah sesuatu yang disambut luar biasa oleh keluarga Rusminto. Belum lagi precil-precil, peserta aktif sekolah minggu yang notabene adalah murid Tumini, mereka sudah merengek-rengek orang tuanya untuk dibelikan kostum tarian Jawa untuk memeriahkan acara malam resepsi ‘ibu guru’ mereka…
Namun dari sekian banyak pihak yang siap ‘turun tangan’, yang paling menarik barangkali adalah Joko.
Joko adalah sosok pimpinan sebuah perkumpulan doa yang namanya begitu melambung akhir-akhir ini. Ia terkenal ‘kepandaiannya’ untuk membaca wangsit melalui doa para anggota kumpulannya.
Sesuai ‘keahlian’ nya itu, Joko lantas merasa perlu untuk menyambangi Rusminto.
Joko menganggap dirinya mendapat bisikan dari pihak yang dianggapnya Tuhan. Dalam bisikan itu, Tuhan, menurut Joko, berkata bahwa Tumini masih perlu ‘dibersihkan’ sebelum menikah dengan Wagiyo. Dan, masih menurut Tuhan-nya Joko itu tadi, hanya Joko lah yang harus dan mampu ‘membersihkan’ Tumini.
Ketika hal ini disampaikan ke Rusminto, sontak saja ia kaget dan tak sebegitu mudahnya percaya pada apa yang diungkapkan Joko itu tadi.
“Ah, yang benar saja Mas Joko ini…?!”
“Lho benar lho, Pak Rus! Ini juga ngendhikane Bopo lho! (Ini kata Tuhan – jawa)”
“Weh, Tumini itu kan ya anak baik-baik.. keluarganya juga baik-baik, asli Katulik malah saking Muntilan*… kok bisa-bisanya dibilang masih butuh dibersihkan niku.. Pripun?!”
Joko pun tak bisa menjawab. Tapi pandainya dia, ketidakbisaan menjawabnya itu diartikan oleh Rusminto sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan yang memang biasanya “tak mudah untuk dijawab”.
Persoalan ini kian hari kian meruyak ke permukaan sebagai isu yang tak sedap.
Hampir seluruh warga Katolik se-paroki mendengar sas-sus ini, sementara keluarga Rusminto dan calon besannya lambat laun mulai semakin tersudut oleh opini yang beredar meski di lain sisi, Joko justru semakin dianggap sebagai seorang yang memiliki “kaluwihan”.
Bola persoalan bergulir seperti halnya bola es; teman-teman Joko yang kebetulan percaya pada Joko lantas menghubung-hubungkan isu ‘tak bersih’ itu dengan berbagai macam hal, mulai dari tempat kos Tumini yang kebetulan dekat dengan daerah prostitusi,(padahal sesudahnya diketahui bahwa kenapa Tumini memutuskan kos di daerah sana karena rumah kos yang ia tinggali adalah milik kerabatnya sehingga bisa irit ongkos menginap selama tinggal di sana), Tumini yang kerap keluar malam (padahal ia memang bekerja di warnet pada malam hari sesudah siangnya sibuk kuliah dan sorenya sibuk dengan kegiatan gereja) dan bahkan hobi Tumini yang memang suka menggunakan kutek warna hitam pun dianggap sebagai sesuatu yang tak lumrah… tak bersih.
Rusminto akhirnya berada pada ujung jalan untuk berkeputusan.
“Begini, Le…” ujarnya pada Wagiyo. “Ketimbang isu ini berkembang semakin besar, ada baiknya pendapat Joko itu didengarkan. Biarkan dia yang ‘membersihkan’ Tumini…”
“Lho, Pak.. kalau begitu kita berarti mengakui bahwa Tumini itu nggak bersih? Saestu Pak, saya tahu Tumini itu tak seperti itu..”
“Tapi Le, ini demi supaya opini-opini itu nggak beredar, ketimbang orang lantas menganggap bahwa istrimu itu tak pernah bersih… pilih mana?”
Wagiyo tak bisa berkata-kata lagi.
Keadaan yang semakin menyudutkan dan keinginannya untuk segera menikahi pujaan hatinya, Tumini, beradu. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya mereka pun setuju dengan apa yang dikatakan Joko dan setuju pula dengan apa yang dikatakan oleh tuhannya Joko itu tadi…
* * *
“Lantas, bagaimana cara untuk membersihkannya, Mas Jok?” tanya Rusminto yang akhirnya ‘takluk’ dan mendatangi kediaman Joko.
“Hmmm…. begini Mas Rus… kita adakan saja acara doa di rumah pada malam midodarenan. Saya akan ajak teman-teman di kumpulan doa saya untuk memimpin acara di sana.”
“Inggih, nanti saya siapkan tempat kalau begitu. Ada kebutuhan lain?”
“Bopo semalam berbicara lagi pada saya.. Beliau meminta saya untuk menyiapkan air rendaman jarik yang akan digunakan untuk acara itu…”
“Air? Jarik? Untuk apa?”
“Untuk.. hmm.. wah saya ndak enak.. sini saya bisiki, Mas Rus”
* * *
Malam itupun tiba. Malam yang seharusnya menjadi acara masing-masing pihak mempelai terpaksa harus ‘dipersatukan’ memenuhi keinginan ‘Sang Nabi’, Joko.
Keluarga besan Rusminto telah datang sejak sore menjelang petang sementara tamu mulai berduyun sejak sore hari padahal acara baru akan dimulai sekitar pukul 8 malam.
Jam delapan kurang seperempat. Rusminto beserta istri, Wagiyo, Tumini, serta orang tua Tumini berkumpul di kamar yang akan dijadikan kamar pengantin sehari sesudahnya untuk menjalani ‘ritual’ pembersihan. Mereka saling bergandengan tangan, berkeliling membentuk satu bundaran kecil sementara Joko berada di tengah-tengahnya dan teman-teman sekumpulan Joko membentuk bulatan yang lebih besar lagi. Joko menguntai kata demi kata menjadi kalimat, dan kalimat-kalimat menjadi mantra yang bermaksud memuji tuhannya yang ia paksakan untuk menjadi tuhan bagi yang lain pula yang hadir di kamar itu.
Ia lantas mengangkat air yang telah disediakan di sebuah ember merah beserta jarik yang telah dicelup-rendam di dalamnya dua harian sebelumnya.
“Tuhan, berkatilah air ini.. semoga ia mampu untuk membersihkan hambamu Tumini dari dosa dan kutuk yang menimpanya.”
Sejurus kemudian, Joko mengajak Tumini untuk berada di tengah-tengah lingkaran itu untuk jongkok mengangkangi ember merah itu lantas mencuci kemaluannya dengan air itu. Semua mata yang hadir terpejam seperti halnya yang dilakukan Tumini dengan mata yang terpejam. Semua bibir yang hadir tak putus berkomat-kamit mengucapkan doa, sama dengan Tumini yang juga komat-kamit tapi bedanya ia merintih dan meratap betapa ia dianggap tak bersih oleh Joko dan tuhan.. tuhannya si Joko.
Acara ‘ritual’ itu berlangsung tak begitu lama. Tepat pukul 8 malam, mereka semua lantas keluar ke depan.
Pastor paroki yang akan memimpin acara malam hari itu sesaat kemudian datang. Perhelatan pun berlangsung begitu menggembirakan dan malam itu seperti tak mau beranjak terlalu cepat.
* * *
Keesokan paginya.
Pagi-pagi benar, Rusminto dengan suara bergetar menelpon ke pastor paroki yang memimpin acara semalam dan sedianya akan memberkati pernikahan pagi itu.
Dengan memohon maaf, ia berkata bahwa acara pernikahan pagi ini terpaksa harus dbatalkan untuk jarak waktu yang belum bisa ditentukan.
“Loh! Ada apa Pak Rusmin?” tanya ‘Romo’ yang juga tak kalah bergetar suaranya saking kagetnya.
Sekitar pukul 11 malam atau kira-kira hanya setengah jam setelah tamu terakhir pulang, mendadak Tumini, sang calon pengantin wanita, menggigil sekujur tubuhnya.
Ia dilarikan ke rumah sakit dan harus menjalani perawatan dalam jangka waktu yang lama. Dokter mengatakan ia terkena infeksi saluran kencing karena siraman air rendaman jarik yang dipakainya untuk mencuci alat kelaminnya itu.
Kabar pembatalan itupun menyebar luas.
Joko yang pagi itu tengah bersiap untuk berangkat ke gereja dan menjadi saksi pernikahan pun urung mengenakan beskapnya setelah mendengar kabar pembatalan dari Rusminto.
Tapi uniknya, ketika ia diberitahu perihal penyakit Tumini, ia malah berujar “Nah, benar kan kata saya! Dia memang nggak bersih kok!”
Di titik itu… di moment itu, aku berharap langit menjadi merah pertanda mata Tuhan yang marah!
*Muntilan adalah kota kecil di utara Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak memiliki populasi penduduk beragama Katholik

Sebarluaskan!

14 Komentar

  1. kalau ini cerita nyata, sungguh sangat disayangkan. Karena menurut pendapatku, kalaupun TUHAN berbicara dengan “nabi”-NYA maka pesan yang dimuat di dalamnya tentu tidak akan bertentangan dengan Firman-NYA.

    Balas
  2. Joko nabi gemblung.
    semoga cerita ini nggak beneran… kalau udah madhep mantep ing Gusti… wes ora usah percaya ritual-ritual opo kuwi…

    Balas
  3. Hihihih…..ritualnya atas petunjuk Tuhan jg bukan??

    Balas
  4. kisah yg banyak terjadi yaaa.. mengatasnamakan T(t)uhan buat hal2 yg abstrak.
    pripun ? tolong yg bahasa selain indonesia di-translate dooonnggg.. hihi…

    Balas
  5. wadah..la trus pelayanan gereja dianggap tradisi doank donk..bukankah ajaran dalam alkitab itu yg harusnya di mengerti dan dilaksanakan…kasian sekali masyarakat itu..sudah dirumah Tuhan tapi masih berlaku seperti layang2 putus sampai perlu pegangan yang lain.

    Balas
  6. Ini fiksi ya Don?
    Lha kok percoyo banget sama Joko gemblung itu..lha siapa yang bisa membuktikan dia dibisiki, mungkin yang membisiki memang setan, yang suka mengacau.
    Bagaimanapun, manusia lebih tinggi derajatnya dari setan, dan kita bisa langsung berdoa pada Tuhan, mohon ampun, mohon ridho Nya.
    Mudah2an ceritamu ini fiksi…sedih sekali jika ada masyarakat yang masih percaya orang seperti Joko itu.

    Balas
  7. Sampai saat ini, masih ada memang orang-orang yang begitu percaya dengan “dukun” semacam si Joko itu. Sering logika yang, maaf, “waras” dikalahkan oleh yang “kurang waras”, Om.

    Balas
  8. aneh-aneh wae

    Balas
  9. Ini cerita nyata kah Mas? Kalo beneran kasian banget Mba Tumini.
    Duh ko mereka masih ajah percaya sama Joko, sang dukun palsu. jadi geregetan deh gw!!!

    Balas
  10. menurut saya, inilah yang disebut kepercayaan tanpa logika dan membabi buta.

    Balas
  11. btw, si Joko itu trus ikut nanggung biaya pengobatan Tumini opo ndak, Don? kalo si Rusminto itu punya prinsip lak yo ndak usah ngasih ijin Joko untuk ngglembuki Tumini dan mendengarkan sas-sus yg beredar to?

    Balas
  12. artikel yang bagus

    Balas
  13. dan sayangnya cerita semacam ini memang masih terdengar di beberapa tempat di pulau Jawa* ini… Dan dikemas dari beberapa macam versi agama & kepercayaan..
    *Jawa adalah pulau di Indonesia, banyak memiliki penduduk yang “merasa” lebih pandai dari pulau2 lainnya dan soal agama, di pulau ini banyak kaum agamis yang “merasa” paling benar..

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.