• Skip to primary navigation
  • Skip to main content

Donny Verdian

superblogger indonesia

  • Depan
  • Tentang
  • Arsip Tulisan
  • Kontak

tuhan

18 November 2010 14 Komentar


Seandainya Tuhan adalah sesuatu yang kelihatan, barangkali peristiwa di bawah ini dan banyak peristiwa-peristiwa senada lainnya tidak perlu terjadi.
Tumini dan Wagiyo, adalah dua sejoli yang akan kuceritakan. Keduanya, setelah melalui perjuangan yang tak gampang pada akhirnya menikah empat tahun silam.
Wagiyo adalah anak sulung keluarga Rusminto, seorang pemeluk Katolik taat yang beserta seluruh anggota keluarganya kerap dijadikan role-model bagi banyak keluarga Katholik di kotanya.
Hal ini tak berlebihan karena selain pembawaannya yang kalem, Rusminto bisa dibilang memiliki segalanya yang pantas untuk dijadikan sebagai contoh baik. Rejeki yang kecukupan, keluarga yang bahagia, kehidupan sosial yang seimbang dan apalagi kalau bukan keterlibatannya dalam kehidupan menggereja yang mengagumkan.
Sebagai orang terpandang, tak heran jika saat ia mengumumkan rencana pernikahan anaknya, Wagiyo dengan pengajar ‘Sekolah Minggu’, Tumini, hal itu lantas menjadi berita besar bagi kalangan umat di kota itu. Banyak orang berebut untuk turut andil dalam perhelatan itu. Mereka berbondong-bondong menawarkan bantuan untuk setidaknya meringankan beban biaya acara dan juga memeriahkan dengan apa yang mereka punya.
Group paduan suara ‘Unen-unen’ pimpinan Sulastri, istri Rusminto, tak pelak lagi menjadi bakal pengisi paduan suara saat sakramen pernikahan nanti.
Dukungan Budi Blandrek, fotografer handal yang top-markotop di kota itu, untuk meng-capture seluruh acara dalam bidikan lensanya adalah sesuatu yang disambut luar biasa oleh keluarga Rusminto. Belum lagi precil-precil, peserta aktif sekolah minggu yang notabene adalah murid Tumini, mereka sudah merengek-rengek orang tuanya untuk dibelikan kostum tarian Jawa untuk memeriahkan acara malam resepsi ‘ibu guru’ mereka…
Namun dari sekian banyak pihak yang siap ‘turun tangan’, yang paling menarik barangkali adalah Joko.
Joko adalah sosok pimpinan sebuah perkumpulan doa yang namanya begitu melambung akhir-akhir ini. Ia terkenal ‘kepandaiannya’ untuk membaca wangsit melalui doa para anggota kumpulannya.
Sesuai ‘keahlian’ nya itu, Joko lantas merasa perlu untuk menyambangi Rusminto.
Joko menganggap dirinya mendapat bisikan dari pihak yang dianggapnya Tuhan. Dalam bisikan itu, Tuhan, menurut Joko, berkata bahwa Tumini masih perlu ‘dibersihkan’ sebelum menikah dengan Wagiyo. Dan, masih menurut Tuhan-nya Joko itu tadi, hanya Joko lah yang harus dan mampu ‘membersihkan’ Tumini.
Ketika hal ini disampaikan ke Rusminto, sontak saja ia kaget dan tak sebegitu mudahnya percaya pada apa yang diungkapkan Joko itu tadi.
“Ah, yang benar saja Mas Joko ini…?!”
“Lho benar lho, Pak Rus! Ini juga ngendhikane Bopo lho! (Ini kata Tuhan – jawa)”
“Weh, Tumini itu kan ya anak baik-baik.. keluarganya juga baik-baik, asli Katulik malah saking Muntilan*… kok bisa-bisanya dibilang masih butuh dibersihkan niku.. Pripun?!”
Joko pun tak bisa menjawab. Tapi pandainya dia, ketidakbisaan menjawabnya itu diartikan oleh Rusminto sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan yang memang biasanya “tak mudah untuk dijawab”.
Persoalan ini kian hari kian meruyak ke permukaan sebagai isu yang tak sedap.
Hampir seluruh warga Katolik se-paroki mendengar sas-sus ini, sementara keluarga Rusminto dan calon besannya lambat laun mulai semakin tersudut oleh opini yang beredar meski di lain sisi, Joko justru semakin dianggap sebagai seorang yang memiliki “kaluwihan”.
Bola persoalan bergulir seperti halnya bola es; teman-teman Joko yang kebetulan percaya pada Joko lantas menghubung-hubungkan isu ‘tak bersih’ itu dengan berbagai macam hal, mulai dari tempat kos Tumini yang kebetulan dekat dengan daerah prostitusi,(padahal sesudahnya diketahui bahwa kenapa Tumini memutuskan kos di daerah sana karena rumah kos yang ia tinggali adalah milik kerabatnya sehingga bisa irit ongkos menginap selama tinggal di sana), Tumini yang kerap keluar malam (padahal ia memang bekerja di warnet pada malam hari sesudah siangnya sibuk kuliah dan sorenya sibuk dengan kegiatan gereja) dan bahkan hobi Tumini yang memang suka menggunakan kutek warna hitam pun dianggap sebagai sesuatu yang tak lumrah… tak bersih.
Rusminto akhirnya berada pada ujung jalan untuk berkeputusan.
“Begini, Le…” ujarnya pada Wagiyo. “Ketimbang isu ini berkembang semakin besar, ada baiknya pendapat Joko itu didengarkan. Biarkan dia yang ‘membersihkan’ Tumini…”
“Lho, Pak.. kalau begitu kita berarti mengakui bahwa Tumini itu nggak bersih? Saestu Pak, saya tahu Tumini itu tak seperti itu..”
“Tapi Le, ini demi supaya opini-opini itu nggak beredar, ketimbang orang lantas menganggap bahwa istrimu itu tak pernah bersih… pilih mana?”
Wagiyo tak bisa berkata-kata lagi.
Keadaan yang semakin menyudutkan dan keinginannya untuk segera menikahi pujaan hatinya, Tumini, beradu. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya mereka pun setuju dengan apa yang dikatakan Joko dan setuju pula dengan apa yang dikatakan oleh tuhannya Joko itu tadi…
* * *
“Lantas, bagaimana cara untuk membersihkannya, Mas Jok?” tanya Rusminto yang akhirnya ‘takluk’ dan mendatangi kediaman Joko.
“Hmmm…. begini Mas Rus… kita adakan saja acara doa di rumah pada malam midodarenan. Saya akan ajak teman-teman di kumpulan doa saya untuk memimpin acara di sana.”
“Inggih, nanti saya siapkan tempat kalau begitu. Ada kebutuhan lain?”
“Bopo semalam berbicara lagi pada saya.. Beliau meminta saya untuk menyiapkan air rendaman jarik yang akan digunakan untuk acara itu…”
“Air? Jarik? Untuk apa?”
“Untuk.. hmm.. wah saya ndak enak.. sini saya bisiki, Mas Rus”
* * *
Malam itupun tiba. Malam yang seharusnya menjadi acara masing-masing pihak mempelai terpaksa harus ‘dipersatukan’ memenuhi keinginan ‘Sang Nabi’, Joko.
Keluarga besan Rusminto telah datang sejak sore menjelang petang sementara tamu mulai berduyun sejak sore hari padahal acara baru akan dimulai sekitar pukul 8 malam.
Jam delapan kurang seperempat. Rusminto beserta istri, Wagiyo, Tumini, serta orang tua Tumini berkumpul di kamar yang akan dijadikan kamar pengantin sehari sesudahnya untuk menjalani ‘ritual’ pembersihan. Mereka saling bergandengan tangan, berkeliling membentuk satu bundaran kecil sementara Joko berada di tengah-tengahnya dan teman-teman sekumpulan Joko membentuk bulatan yang lebih besar lagi. Joko menguntai kata demi kata menjadi kalimat, dan kalimat-kalimat menjadi mantra yang bermaksud memuji tuhannya yang ia paksakan untuk menjadi tuhan bagi yang lain pula yang hadir di kamar itu.
Ia lantas mengangkat air yang telah disediakan di sebuah ember merah beserta jarik yang telah dicelup-rendam di dalamnya dua harian sebelumnya.
“Tuhan, berkatilah air ini.. semoga ia mampu untuk membersihkan hambamu Tumini dari dosa dan kutuk yang menimpanya.”
Sejurus kemudian, Joko mengajak Tumini untuk berada di tengah-tengah lingkaran itu untuk jongkok mengangkangi ember merah itu lantas mencuci kemaluannya dengan air itu. Semua mata yang hadir terpejam seperti halnya yang dilakukan Tumini dengan mata yang terpejam. Semua bibir yang hadir tak putus berkomat-kamit mengucapkan doa, sama dengan Tumini yang juga komat-kamit tapi bedanya ia merintih dan meratap betapa ia dianggap tak bersih oleh Joko dan tuhan.. tuhannya si Joko.
Acara ‘ritual’ itu berlangsung tak begitu lama. Tepat pukul 8 malam, mereka semua lantas keluar ke depan.
Pastor paroki yang akan memimpin acara malam hari itu sesaat kemudian datang. Perhelatan pun berlangsung begitu menggembirakan dan malam itu seperti tak mau beranjak terlalu cepat.
* * *
Keesokan paginya.
Pagi-pagi benar, Rusminto dengan suara bergetar menelpon ke pastor paroki yang memimpin acara semalam dan sedianya akan memberkati pernikahan pagi itu.
Dengan memohon maaf, ia berkata bahwa acara pernikahan pagi ini terpaksa harus dbatalkan untuk jarak waktu yang belum bisa ditentukan.
“Loh! Ada apa Pak Rusmin?” tanya ‘Romo’ yang juga tak kalah bergetar suaranya saking kagetnya.
Sekitar pukul 11 malam atau kira-kira hanya setengah jam setelah tamu terakhir pulang, mendadak Tumini, sang calon pengantin wanita, menggigil sekujur tubuhnya.
Ia dilarikan ke rumah sakit dan harus menjalani perawatan dalam jangka waktu yang lama. Dokter mengatakan ia terkena infeksi saluran kencing karena siraman air rendaman jarik yang dipakainya untuk mencuci alat kelaminnya itu.
Kabar pembatalan itupun menyebar luas.
Joko yang pagi itu tengah bersiap untuk berangkat ke gereja dan menjadi saksi pernikahan pun urung mengenakan beskapnya setelah mendengar kabar pembatalan dari Rusminto.
Tapi uniknya, ketika ia diberitahu perihal penyakit Tumini, ia malah berujar “Nah, benar kan kata saya! Dia memang nggak bersih kok!”
Di titik itu… di moment itu, aku berharap langit menjadi merah pertanda mata Tuhan yang marah!
*Muntilan adalah kota kecil di utara Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak memiliki populasi penduduk beragama Katholik

Sebarluaskan!

Ditempatkan di bawah: Agama, Cetusan Ditag dengan:tuhan

Tentang Donny Verdian

Donny Verdian born in Indonesia, 20 Dec 1977. He moved to Sydney, Australia in 2008. Donny is a songwriter, singer and musician. He's also known as Superblogger Indonesia.

Reader Interactions

Komentar

  1. riris e mengatakan

    18 November 2010 pada 7:53 pm

    kalau ini cerita nyata, sungguh sangat disayangkan. Karena menurut pendapatku, kalaupun TUHAN berbicara dengan “nabi”-NYA maka pesan yang dimuat di dalamnya tentu tidak akan bertentangan dengan Firman-NYA.

    Balas
  2. nanaharmanto mengatakan

    18 November 2010 pada 10:50 pm

    Joko nabi gemblung.
    semoga cerita ini nggak beneran… kalau udah madhep mantep ing Gusti… wes ora usah percaya ritual-ritual opo kuwi…

    Balas
  3. hitamputih mengatakan

    19 November 2010 pada 12:02 am

    Hihihih…..ritualnya atas petunjuk Tuhan jg bukan??

    Balas
  4. ren mengatakan

    19 November 2010 pada 9:24 am

    kisah yg banyak terjadi yaaa.. mengatasnamakan T(t)uhan buat hal2 yg abstrak.
    pripun ? tolong yg bahasa selain indonesia di-translate dooonnggg.. hihi…

    Balas
  5. boyin mengatakan

    19 November 2010 pada 3:42 pm

    wadah..la trus pelayanan gereja dianggap tradisi doank donk..bukankah ajaran dalam alkitab itu yg harusnya di mengerti dan dilaksanakan…kasian sekali masyarakat itu..sudah dirumah Tuhan tapi masih berlaku seperti layang2 putus sampai perlu pegangan yang lain.

    Balas
  6. edratna mengatakan

    19 November 2010 pada 4:54 pm

    Ini fiksi ya Don?
    Lha kok percoyo banget sama Joko gemblung itu..lha siapa yang bisa membuktikan dia dibisiki, mungkin yang membisiki memang setan, yang suka mengacau.
    Bagaimanapun, manusia lebih tinggi derajatnya dari setan, dan kita bisa langsung berdoa pada Tuhan, mohon ampun, mohon ridho Nya.
    Mudah2an ceritamu ini fiksi…sedih sekali jika ada masyarakat yang masih percaya orang seperti Joko itu.

    Balas
  7. Sungkowoastro mengatakan

    20 November 2010 pada 6:01 am

    Sampai saat ini, masih ada memang orang-orang yang begitu percaya dengan “dukun” semacam si Joko itu. Sering logika yang, maaf, “waras” dikalahkan oleh yang “kurang waras”, Om.

    Balas
  8. andinoeg mengatakan

    22 November 2010 pada 5:34 am

    aneh-aneh wae

    Balas
  9. Susan Noerina mengatakan

    22 November 2010 pada 4:06 pm

    Ini cerita nyata kah Mas? Kalo beneran kasian banget Mba Tumini.
    Duh ko mereka masih ajah percaya sama Joko, sang dukun palsu. jadi geregetan deh gw!!!

    Balas
  10. imadewira mengatakan

    25 November 2010 pada 4:02 pm

    menurut saya, inilah yang disebut kepercayaan tanpa logika dan membabi buta.

    Balas
  11. Edwin Oktavianto mengatakan

    26 November 2010 pada 5:13 pm

    ya elah , aneh-ane aja bro

    Balas
  12. krismariana mengatakan

    3 Desember 2010 pada 5:04 pm

    btw, si Joko itu trus ikut nanggung biaya pengobatan Tumini opo ndak, Don? kalo si Rusminto itu punya prinsip lak yo ndak usah ngasih ijin Joko untuk ngglembuki Tumini dan mendengarkan sas-sus yg beredar to?

    Balas
  13. travel surabaya banyuwangi mengatakan

    29 November 2011 pada 6:16 pm

    artikel yang bagus

    Balas
  14. Hendra mengatakan

    1 November 2014 pada 1:00 pm

    dan sayangnya cerita semacam ini memang masih terdengar di beberapa tempat di pulau Jawa* ini… Dan dikemas dari beberapa macam versi agama & kepercayaan..
    *Jawa adalah pulau di Indonesia, banyak memiliki penduduk yang “merasa” lebih pandai dari pulau2 lainnya dan soal agama, di pulau ini banyak kaum agamis yang “merasa” paling benar..

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

  • Depan
  • Novena Tiga Salam Maria
  • Arsip Tulisan
  • Pengakuan
  • Privacy Policy
  • Kontak
This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish.Accept Reject Read More
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT