Kabar Baik Hari Ini, 30 Juni 2017
Matius 8:1 – 4
Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia.
Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”
Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya.
Lalu Yesus berkata kepadanya: “Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka.”
Renungan
Dulu, suatu sore tiba-tiba aku ingin beli bakso.
Minta uang Mama dikasih seribu perak lalu aku mengambil sepeda dan pergi menuju ke warung bakso langgananku di dekat terminal angkutan ‘kol’ Kebumen, Bakso Urip namanya.
Tapi sesampainya di sana, warungnya tutup. Tak kehabisan akal, aku menuju warung bakso lainnya, Bakso Kimo namanya. Jaraknya hanya sekitar tiga ratus meter ke arah utara.
Sial, warung Kimo tutup juga padahal biasanya kedua warung itu masih buka hingga larut!
Sedikit menggerutu aku akhirnya pulang dan sesampainya di rumah, Mama tersenyum melihat wajah murungku dan berkata, “Ya sudah makan di rumah saja! Mama masakin kamu telor dadar.”
Gerutuanku belum berakhir tapi apa mau dikata, sore itu aku harus melupakan keinginanku makan bakso dan melahap telor dadar.
Hari ini orang yang sakit kusta itu mengajari kita satu hal bahwa tak ada satupun yang bisa terjadi di dunia ini diluar kehendakNya. Dengan segala kerendahan hati “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.” Lalu Yesus pun menjawab “Aku mau, jadilah engkau tahir!”
Berkeinginan dan berkemauan itu boleh-boleh saja tapi apakah hal itu terwujud atau tidak, sebagai orang beriman seperti si sakit kusta tadi, kita percaya bahwa itu semua adalah hak prerogatif Allah semata. Dalam bahasa yang menurutku lebih sederhana dan ‘tepat guna’, hal ini distilahkan sebagai “kita mengusahakan tapi Tuhan tahu yang terbaik.”
Akal budi membuat kita mampu memilah mana yang baik dari yang tak baik. Membeli bakso, dari contoh yang kutulis di atas bukanlah hal yang tak baik maka akupun lantas mengusahakannya. Tapi ternyata warung tak ada yang buka.
Di titik itu, aku sadar, meskipun baik, rencana membeli bakso ternyata bukanlah yang terbaik. Sesampainya di rumah, Mama menyiapkan telor dadar dan meski gerutu masih ada dalam hati tapi sekali lagi aku harus menyadari bahwa itulah yang terbaik.
Ah tapi masa hanya soal beli bakso saja melibatkan Allah, Don?
Loh kenapa tidak? Kalau tidak lantas apa ukuran yang tepat untuk kapan melibatkan Allah dan kapan tidak sedangkan Ia saja tahu jumlah rambut di kepala kita?
0 Komentar