Trauma

18 Des 2007 | Cetusan

Gempa yang terjadi rabu malam lalu (8/8/07), atau lebih tepatnya kamis dinihari (9/8/07), seakan mempersatukan kita ya :)
Gempanya dirasakan rame-rame mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Pacitan hingga Denpasar padahal sumbernya ada di dekat Indramayu, Jawa Barat sana. Bahkan konon Malaysia dan kota Mataram di Pulau Lombok ikut pula digoyang.
Semua kebagian goncangan di tengah malam itu. Semua bersatu di dalam gempa :)
Aku sendiri ketika gempa terjadi sedang kongkow bareng teman-teman se-persekutuan doa di Its Coffee, sebuah coffee shop di kawasan Timoho Yogyakarta setelah sore harinya kami pelayanan bersama dalam acara KRK (Kebangunan Rohani Katholik) di Muntilan. Bareng Vera, Dr Henri, Arfan dan Joyce, istrinya, serta Leo, kami asyik bermain poker sambil bercanda haha-hihi mentertawakan diri sendiri, menggosipkan teman-teman yang lain, mengeluhkan beban hidup dan meng-meng yang lainnya. Pokoknya kebanyakan haha-hihinya.
Menjelang tutup hari, kami sudah kian mengantuk. Hidangan-hidangan yang kami pesan pun telah tandas hingga ke permukaan piring dan gelas penyaji.
Ya, mungkin tinggal beberapa putaran kartu lagi dan kami telah merencanakan untuk segera pulang.
Hingga saat goncangan itu terjadi. Its Coffee yang berada di lantai dua dan beralaskan papan kayu pun bergetar.
Lalu kami dan pengunjung yang lainnya berlarian lintang pukang ke arah tangga. Ada bahkan yang sampai menabrak pintu geser kaca. Si penabrak itu tiba-tiba lupa bahwa pintu itu digeser bukan didorong. Ah untung tak pecah ataupun retak kaca itu.
Mungkin gempanya sebenarnya tak terlalu besar, tapi karena suara gaduh yang ditimbulkan mereka yang berlarian di atas papan membuat suara “dug-dug-dug” seakan-akan suara itupun adalah akibat besarnya goncangan gempa yang terjadi.
Pestanya pun bubar! Kami bergegas pulang.
Di sepanjang perjalanan, orang-orang tampak duduk di pinggiran jalanan ataupun di halaman rumahnya. Wajah mereka gelagapan dan tercekat.
Aku pun juga demikian. Lutut bergetar-getar dan perasaan tak keruan. Sesekali kuangkat handphone dan mengadakan panggilan ke rumah untuk memastikan keadaan mereka aman-aman saja.
Ingatan akan gempa besar yang terjadi 29 Mei tahun lalu pun terpampang kembali secara jelas di ufuk benak. Beberapa efek seperti lutut bergetar dan perasaan tak keruan yang terjadi tahun lalu kembali tanpa sadar kulakukan. Termasuk kegiatan menelpon rumah untuk memastikan mereka aman-aman saja pun langsung reflek kulakukan meski ketika kudengar suara Mama di seberang sana terkesan “biasa-biasa saja”.
Dan bukankah, kalau kalian sempat baca buku karanganku menyoal peristiwa gempa besar itu, tulisan-tulisan di paragraf ini adalah setali tiga uang dengan gaya tulisanku pada artikel-artikel awal di buku yang kuberi judul “Detik-detik Menghempas” itu?

Sejujurnya aku trauma!
Dan kita serta kalian semua, yang terutama ada di Jogja, mengalami satu beban besar yang sama, trauma gempa.
Waktu dan kesibukan boleh berjalan ke depan. Sebagian rongga otak telah terisi dengan berpuluh-puluh dan beratus-ratus item pemikiran baru setelah peristiwa itu. Sebagian hati juga telah terisi beratus-ratus dan beribu-ribu perasaan lain yang terjadi setelah kesedihan itu. Tapi tak bisa kita pungkiri, masih ada ruang kecil di otak dan hati yang menyisakan perih pengalaman 29 Mei 2006 yang lalu.
Sepersekian dari hidup kita masih tertinggal di periode waktu itu, dan entah kapan serta bagaimana kita mampu mengambilnya untuk kita satukan dengan sebagian besar dari hidup kita yang telah terbarukan pada saat ini.
Teman lama bicara kepada saya tak lama sebelum ini bahwa istrinya, dan terkadang dia sendiri, masih sering merasa deg-degan saat ada mobil berat lewat depan rumahnya atau saat ada mobil dengan sound system besar berdentam-dentam menggeber speaker di jalanan depan rumahnya.
“Istriku pasti langsung pucat dan menahan nafas, merasakan apakah itu gempa atau suara mobil lewat!” begitu keluhnya kepadaku.
Saya, sedikit banyaknya pun juga demikian.
Saya kan terkenal parno, maka banyak kejadian-kejadian konyol yang terjadi antara periode Juni 2006 hingga saat ini dan hingga saat kapan aku tak tahu.
Semisal nih, di kamar mandi.
Tatkala aku sedang kongkow di atas closet dan menyalakan air kran pengisi bak dan tiba-tiba ada suara “dug-dug-dug” atau suara berdengung lainnya yang menurutku diluar kebiasaan, aku segera mematikan air kran dan mencari dengar sumber suara apa itu. Dan, oh rupanya itu tak lebih dari sekadar suara speaker anak-anak yang memutar lagu berirama tinggi atau… oh itu suara truk lewat di jalan besar yang jaraknya tak lebih dari 200 meter dari bangunan kantorku.
Semisal lagi ketika aku sedang duduk di depan komputer.
Aku sering merasa geram sendiri dengan kursi yang kupakai sekarang ini.
Bagus dan elegan memang, tapi mungkin saking bagusnya, kursi ini dilengkapi dengan pegas yang mentul-mentul yang karena gerakan tubuh yang tak kita terlalu sadari membuat kursi bergoyang ke kiri dan ke kanan. Dan semenjak gempa besar tahun lalu, aku sering terlalu waspada dan parno sendiri dengan goyangan pegas kursiku ini. Aku akan langsung diam dan tahan nafas untuk memastikan bahwa goyangan itu memang benar-benar dari kursi bukan dari bumi tempat kursi ini berpijak.
Sekali lagi ini menyoal trauma.
Kita sudah terlanjur mematri otak kita dengan satu pattern kejadian yang sangat menyentak hingga begitu dalam membekas.
Dan ketika ada pattern-pattern baru yang sedikitnya mirip, kita lalu mengorientasikan hal-hal itu ke dalam pattern lama yang sudah ada lebih dulu di dalam otak.
Mungkin sama halnya dengan orang yang memiliki pengalaman kebanjiran. Maka ketika ada mulai hujan turun dan menggenang di sekitar pelataran, mereka pun mulai bersiap-siap, cincing-cincing celana, menyiapkan semua dokumen keluarga, baju secukupnya dan memasukkannya ke dalam backpack, siap mengungsi!
Lho, tapi itu kan namanya waspada, bukan trauma?!?
Lha iya memang, tapi mana ada trauma tanpa berakibat waspada ?
Waspada tanpa trauma ?
Kita waspada terhadap banjir karena dulu pernah kebanjiran atau setidaknya ada teman-saudara kita yang pernah kebanjiran.
Kita waspada terhadap perampokan dan pencopetan karena dulu pernah ada manusia iblis yang berdalih kesulitan ekonomi itu merogoh saku dan dompet kita secara paksa sembari mengacungkan pisau di permukaan lambung kita.
Makanya, kembali ke soal gempa, saya dan kalian semua tak heran kalau lutut bergetar dan darah di wajah seperti menyusut hilang seketika dari para korban goyangan gempa setelah gempa rabu malam lalu, bukan semata-mata karena kekuatan gempa yang terjadi, tapi karena kita lantas melempar sebagian perasaan dan hidup kita kembali ke masa suram 29 Mei 2006 yang lalu.
Waspada !!! Trauma !!!

Beberapa teman di milist, berita di koran serta beberapa lembar majalah terbaru membahas soal pembakaran buku sejarah SMA kurikulum 2004.
Tentu hal ini bukan kebakaran seperti yang banyak terjadi di pasar-pasar tradisional belakangan ini. (Terkadang aku tak habis pikir kenapa kebakaran begitu sering terjadi di pasar-pasar tradisional yang hendak direlokasi ya..?)
Ini adalah pembakaran yang dilakukan di beberapa daerah di negeri ini. Mereka melakukannya beramai-ramai dengan ekspose besar dari berbagai media serta di bawah jepretan kamera berlensa para pekerja warta seperti layaknya pemusnahan barang bukti narkoba dan miras yang kerap kita lihat sebelumnya.
Alasannya? Karena tiada tertulisnya tiga huruf “PKI” pada beberapa huruf yang lain yang selama 40 tahunan belakangan ini seakan telah menjadi satu untai “G 30-S”. Buku-buku itu dinilai tidak genap menceritakan sejarah yang telah dianggap benar dalam kurun waktu 40 tahun belakangan. Buku-buku itu dinilai bidaah dan kita serta adik-adik SMA kita tidak diberi kesempatan untuk mendengar dongeng versi yang lain ketimbang dongeng versi yang lebih lama.
Maka layaknya pasar tradisional yang lantak karena api menjadi bara dan abu,
selayaknya narkoba dan miras yang memang pantas untuk diper-abu-kan,
maka buku-buku malang itu, telah pula menjadi abu, musnah, debu.
Tampaknya kita memang senantiasa harus waspada, atau setidaknya diwaspadakan supaya melemparkan sebagian hidup dan jiwa kita ke pattern yang menempel di dalam otak bangsa ini selama lebih empat puluh tahun.
Waspada akan kejadian keji dan kejam dari sekelompok manusia yang dinyatakan secara resmi melalui undang-undang sebagai PKI.
Waspada akan ….
“Ih! Amit-amit jangan ada lagi yang nyiksa jendral pake sundutan rokok deh!”
“Aih! Kejam nian! Mereka memotong alat vital para jendral”
“Gosh!!! Mereka menari-nari telanjang di depan para jendral yang telah hampir naas itu ?!?”
Haruskah saya katakan bahwa kita memang harus selalu memelihara rasa trauma akan kejadian di malam jumat nan keji menjelang 1 Oktober 1965 itu ?
Sementara orang-orang yang “dianggap” pelaku kekejian itupun sudah hilang (dihilangkan?!?) dan meninggal serta tinggal tersisa sedikit saja yang telah renta dan menunggu menutupnya usia ?
Ah! Sebodo teuing! Masa bodoh! Ra urusan!
Yang penting, dan terpenting, marilah kita menyempurnakan sekali lagi dan mengamini dengan suara keras akan “G 30 S/PKI”
Bukan lagi “G 30 S” dan bukan lagi “Gestapu” atau “Gestok”!!!
Bakar! Bakar! Bakar!
Tumpas! Tumpas! Tumpas!
Ganyang! Ganyang! Ganyang!
Karena, barangkali di dalam benak mereka, hal-hal seperti inilah “the way” mereka agar supaya kita serta anak cucu kita semua terselamatkan dari trauma. Trauma yang usianya akan semakin menua.
Ya, barangkali …

Tulisan ini adalah salinan dari blog saya yang ada di friendster. Pernah dimuat di sana pada tanggal 9 Agustus 2007

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.