Kabar kecelakaan pesawat terbang seperti yang baru saja kita dengar terjadi pada Sriwijaya Air SJ-182 di perairan Kepulauan Seribu (9/1), biasanya membawa tiga macam perasaan yang campur aduk. Duka, gemes dan trauma. Yuk kita tengok satu per satu.

Berduka atas jatuhnya pesawat terbang
Duka? Jelas karena jatuhnya korban jiwa membuat kita berduka. Dengan ikut merasakan duka kita berarti ikut berbela rasa terhadap para keluarga korban.
Kehilangan anggota keluarga terlebih secara mendadak dan melalui cara yang sedemikian tragis bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterima. Untuk itu mari kita terus mengirim doa bagi para korban supaya jiwa mereka diberi tempat yang layak dan keluarga yang ditinggalkan pun diberi penghiburan.
Gemes pada pemberitaan jatuhnya pesawat terbang
Gemes… lebih tepatnya geram kalau melihat beberapa media menanggapi peristiwa itu secara bodoh. Untung nggak semua, tapi sampai saat ini kok ya ada reporter yang bertanya kepada keluarga korban, “Bagaimana perasaan Anda?”
Atau ada juga media yang tampaknya demi rating yang tinggi lantas mengunggah beberapa sisi lain kejadian yang ‘tidak masuk akal.’ Misalnya tulisan tentang firasat, tulisan kaitan-kaitan mistis. Memberi ‘bunga-bunga’ terhadap satu kejadian itu boleh saja tapi mbok ya yang konstruktif gitu lho!
Trauma
Ini yang paling merepotkan sebenarnya. Kecelakaan pesawat kadang membuat trauma.
Aku sendiri pernah mengalami trauma ini. Waktu itu dua hari setelah Adam Air 574 mengalami kecelakaan di Selat Makasar, 1 Januari 2007, aku terbang dari Jakarta ke Jogja menggunakan maskapai yang sama.
Sejak sebelum naik pesawat udah deg-degan. Mau di-cancel ya sayang duitnya mau terbang kok takut padahal harus segera kembali ke Jogja. Masuk ke kabin, suasana begitu gloomy. Rasa sendu, sedih (dan mungkin juga takut?) tak bisa disembunyikan dari paras pramugari-pramugara yang bertugas.
Ketika pesawat tinggal landas, melakukan manuver-manuver di udara, menghadapi goncangan dan saat menjelang mendarat, lantunan doa terdengar di sana-sini.
Ketika akhirnya pesawat mendarat, para penumpang, termasuk aku, bersorak layaknya suporter kesebelasan yang kegirangan karena tim-nya menang.
Trauma itu alamiah dan ilmiah.
Akui saja kalau kamu takut. Kalau memang menurutmu menghindari penerbangan untuk sementara waktu akan menenangkan dan menghilangkan rasa itu ya lakukan saja.
Tapi ya jangan kelamaan karena hidup terus berjalan dan sadarilah bahwa yang namanya celaka itu bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Nggak harus naik pesawat pun juga bisa celaka, kan?
pengalaman paling traumatis saat naik pesawat adalah saat saya naik Lion Air dari Makassar ke Jakarta.. pesawat masuk ke gumpalan awan tebal.. di jendela hanya terlihat warna putih gelap.. petir tampak sesekali terlihat dan menyambar sana-sini.. turbulensi terasa sangat kencang.. doa-doa lirih pun spontan terucap dari mulut setiap penumpang.. untungnya pesawat mendarat dengan selamat..
Dari yang kubaca dan kulihat dalam beberapa dokumenter, turbulence itu yang paling tidak memberikan kontribusi terhadap kecelakaan pesawat meski tetap saja yang paling menakutkan.
Beberapa kali punya pengalaman yang sama terkait turbulence, rasanya deg2an nyebelin ya haha