Masa-masa ini, ada dua hal yang menurutku berubah. Pemaknaan toleransi dan kemampuan menilai mana yang benar, mana yang salah.
Toleransi.
Orang makin susah untuk bertoleransi di jaman ini.
Beberapa bulan lalu, saat secara hukum pernikahan sejenis diakui di Amerika, euforianya menjalar global kemana-mana.
Banyak kawan yang mendukung pengesahan tersebut terutama mereka yang selama ini berada ?satu biduk? denganku ketika kami menilai sebuah isu termasuk isu politik dan isu budaya yang mengemuka di social media.
Tapi kali itu mereka mendapatiku berseberangan karena aku memang tak setuju dengan konsep pernikahan sejenis. Bagiku hal ini bertentangan dengan pegangan. As simple as that.
Ada dari mereka, tak semua, yang kecewa dengan keputusanku itu. Mungkin mereka terlanjur berpikir sekalinya sebiduk, dalam segala perkara kita harus tetap satu perahu yang sama.
Lalu ketika aku merespon fenomena itu dengan tulisan bertajuk ?Andai anakku nanti memilih menjadi lesbian” mereka mengataiku sebagai orang yang memiliki standard ganda.
?Lho, kenapa bisa kau anggap aku seperti itu??
?Ya karena kamu berkawan dengan kaum homoseksual!?
?OK, lalu salahku??
?Mana bisa berkawan dengan orangnya tapi menolak pernikahan sejenis??
Sudah seperti itukah kita memaknai toleransi??Tidak bisakah kita tetap menghargai cara pandang mereka tapi tidak setuju pahamnya?
Apakah toleransi sekarang sudah bergeser artinya menjadi ?Kalau kamu berkawan dengannya, kamu harus setuju dengan paham yang dianutnya!?
Begitu?
Penilaian?benar-salah
Kita semakin sulit atau lebih tepatnya tak punya keberanian untuk menilai mana yang salah dan mana yang benar!
Sebut saja namanya Fransky Sitobing dan Febry Febitralala, pasangan selebriti (dan pemuka agama juga meski aku tak tahu siapa kini yang rela untuk ?dimukai? lagi sekarang oleh mereka) yang selingkuh dari masing-masing pasangannya lalu kini hendak menikah.
Banyak orang tak bisa menilai bahwa keduanya telah melakukan kesalahan!
Kebanyakan lebih memilih memilih beropini, ?Yah? Wajarlah! Mereka itukan manusia!? atau ?Siapalah kita bisa nge-judge mereka?? atau yang paling ekstrim justru membalikkan tanya, ?Ah, kalau loe disodori cewek kayak dia juga ga nolak kan, Don??
Hehehe? perkaranya bukan nolak atau nggak nolak. Kalaupun aku disodori dan nggak bisa nolak karena kelemahan dan kemanusiawianku, salah adalah tetap salah dan benar itu tak kan bergeming dari jalurnya!
Adalah kewajiban bagi kita untuk selalu bisa menilai hal-hal yang terjadi dalam hidup berdasarkan tatanan moral yang kita pegang demi kelangsungan hidup kita sendiri.
Kalau kita tak berani menilai, bagaimana mungkin kita bisa membuat keputusan-keputusan lebih besar yang jauh lebih kompleks daripada itu?
Menilai toh tidak sampai menghakimi selama penilaian itu digunakan untuk diri sendiri sedangkan menghakimi itu terkait pribadi lain di luar diri sendiri.
Beda misalnya, setelah kamu nilai bahwa yang dilakukan si Fransky dan Febry itu salah lalu kamu berteriak, ?Hoi Fransky? Hoi Febry.. kalian salah! Kalian harus dihukum atas kesalahan kalian!?… baru di situ kita bisa bilang ?Janganlah menghakimi orang lain sebelum kamu benar-benar merasa tak lebih berdosa dari mereka…?
Paham?
Ngopi dulu ben ra edan!
Bagiku, toleransi adalah soal bisa membaur dengan masyarakat dan bisa menerima perbedaan dengan maklum. Toh, kita tak bisa memaksa mereka harus sepaham dengan kita maupun sebaliknya.
Kopiku wes entek, mz Don
Toleransi gak harus memaksa kehendak dan “nafsu” kita ke orang lain.