tis76*

11 Mei 2015 | Cetusan

Dengan suara paraunya, Mamaku semalam berkata bahwa kematian itu seperti barang yang diambil kembali orang Yang Empunya.
“Kita mungkin mikir, lho kok aku nggak dikasi tahu sebelumnya dan tiba-tiba barang itu hilang? Padahal kita sebenarnya sudah dikasi tau sejak kita semua belum ada bahwa memang kita nggak berhak apa-apa dan semua itu baru terasa ketika semuanya terjadi, ketika barang itu selamanya hilang… pergi untuk kembali kepada Yang Empunya!”

* * *

Sorry, Wan! Fotoku kuedit ya. Warnanya kubikin terang ben ora blawur, Su! :)

Sorry, Wan! Fotoku kuedit ya. Warnanya kubikin terang ben ora blawur, Su! :)

Sampai tulisan ini kurawi, sekitar dua puluh empat jam setelahnya, rasanya masih tak percaya bahwa Iwan Santoso tak kan pernah kembali lagi karena telah pergi untuk selama-lamanya.

Iwan, demikian aku memanggilnya seperti jutaan anak Indonesia lainnya dipanggil karena memiliki nama sama, adalah salah satu sahabat terbaikku.

Rumahnya tak terlalu jauh dari rumahku di Klaten dan saking dekatnya. Aku mengenalnya sejak kami sama-sama duduk di TK Maria Assumpta Klaten awal 1980an yang lalu. Aku kelas nol kecil dan dia nol besar. Mamaku berkawan dengan Mamanya dan aku ingat salah satu moment yang tak kan pernah kulupakan (dan semalam pun Mama ketika kutelepon juga menceritakan hal yang sama) adalah ketika suatu pagi kepalaku bocor terbentur dinding gedung TK, Iwan dan Mamanya-lah yang mengantarkanku pulang naik vespa. Iwan dibonceng di belakang dan aku berdiri di depan sambil jidatku yang berdarah-darah dibebat sapu tangan oleh Tante Mi’ing, Mamanya Iwan.

Tapi Iwan adalah sosok pendiam sehingga meski kami sama-sama satu TK, sama-sama tetangga kampung, aku tak pernah bisa berkawan dengannya kecuali sekadar say “Halo, Wan” dan tidak lebih, tidak pernah bisa.

Sosok pendiamnya kutemui lagi sekitar sepuluh tahun sesudahnya, kami sama-sama menuntut ilmu di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Ia kakak kelasku selisih dua tahun. Tak hanya itu, kami juga sama-sama menghuni asrama yang sama, Asrama Ampel 2 Yogyakarta. Tapi sekali lagi, aku tetap tak bisa ‘menyentuhnya’ kecuali dengan sapaan “Halo, Wan!” Selebihnya aku hanya bisa memandangnya sibuk dengan karibnya, Riza Tantular, yang lantas juga jadi karib dan sahabatku juga.

Persimpangan ketiga, sebut saja demikian, antaraku dengan Iwan terjadi pada akhir 1999 yang lalu dan kali itu, ia tak punya alasan lain lagi untuk tetap jadi pendiam terhadapku. Ya, bersama Valens Riyadi dan Riza Tantular serta Wicaksono Cipto, aku dan Iwan mendirikan perusahaan bersama-sama, kami menamainya Citraweb Nusa Infomedia. (Tentang Citraweb pernah kuulas di sini)?Sejak hari dimana aku dikenalkan kembali oleh Riza kepadanya, sedikit demi sedikit, aku mulai mengenal sosoknya lebih jauh.

Setelah perusahaan kami resmi berdiri 7 Februari 2000, Iwan kami posisikan sebagai pengatur keuangan perusahaan. Keputusan kami bukan saja karena ia berlatar belakang pendidikan Akuntansi Keuangan (yang nyatanya tak pernah diselesaikannya hingga akhir hayat) tapi lebih dari itu, sikapnya yang sangat konsisten dan tak mudah ‘digoda’ membuat kami tak bisa menunjuk kandidat lain, Iwan yang terbaik!

Menempatkan Iwan di posisi penjaga keuangan, bagi aku, Valens, Riza dan Wicak seperti halnya memasang jerat bagi diri kami sendiri supaya tidak ‘go crazy’ dengan penggunaan uang dan aku yakin, kami semua hingga kini tak pernah menyesali keputusan ini, bersyukur malah! Iwan dengan perangainya yang keras itu adalah ‘penghalang’ terakhir ketika kami mengajukan dana untuk urusan apapun! Keputusan-keputusannya untuk memberi lampu hijau atau merah untuk setiap pengajuan dana adalah representasi dari keadaan keuangan kantor yang sebenarnya.

Contohnya seperti waktu aku minta dibelikan monitor baru, ia bilang, “Untuk apa? Ada yang salah dengan monitormu yang sekarang?”?Atau ketika aku mengajukan uang untuk dinas luar kota/pulau, ia tak pelit tapi juga tidak dengan mudah membuka kran uang sebesar-besarnya dan semua itu ia bungkus dengan pertanyaan yang sulit untuk kujawab, “Kamu kenapa perlu uang sebanyak itu? Kamu kan dari pagi sampai sore pasti capek kerja dan makan pasti disediakan, kan? Dan malam… malam emangnya mau ngapain dan kemana lagi kan keesokan paginya kamu kerja lagi?”

Inilah kami berlima. Iwan, Riza, Aku, Wicak dan Valens (ki-ka). Foto ini diambil sekitar tiga hari setelah pembukaan pertama kantor, 7 Februari 2000 silam

Inilah kami berlima. Iwan, Riza, Aku, Wicak dan Valens (ki-ka). Foto ini diambil sekitar tiga hari setelah pembukaan pertama kantor, 7 Februari 2000 silam

Tapi meski demikian, hubungan personalku dengannya tak pernah turun dari level persahabatan hingga detik terakhir ia menghembuskan nafasnya.?Adalah unik dan antik untuk melukiskan hubunganku dengannya. Bayangkan, dari pagi hingga sore kami kerap berdiskusi, berdebat bahkan adu argumentasi dengan keras tapi sore hingga malamnya kami bisa melupakan semua itu dan ngobrol ngalor ngidul di depan televisi soal segala macam mulai dari kawan-kawan TK kami, kampung kami, teman-teman SMA kami dan apalagi kalau bukan soal pacara dan perjalanan asmara kami masing-masing. Ini semua terjadi karena aku dan Iwan tinggal di gedung kantor sejak hari pertama perusahaan berdiri hingga hari terakhir aku memutuskan pergi dari perusahaan untuk pindah ke Australia, 2008 silam. (Kami sempat tidur tak satu gedung dari tahun 2007 – 2008 awal karena saat itu kami sedang membangun gedung kantor milik sendiri dan divisiku dipindah ke gedung baru dimana aku lantas mengenal Tunggonono, penjaga malam yang sering kuceritakan di sini).

Iwan, terlepas dari sosok yang keras dan konsisten, adalah orang berhati lembut yang sangat memperhatikan kawan-kawannya.?Aku tak pernah melihatnya tak baik kepada orang kecuali orang itu adalah orang yang tak baik tentu saja, itupun selalu disikapinya dengan baik. Waktu aku pacaran jarak jauh dengan Joyce yang kini menjadi istriku, hampir setiap malam kami berhubungan lewat telepon dan Iwan adalah orang yang tak segan untuk mengangkat telepon lebih dulu meski ia tahu bahwa panggilan telepon itu pasti untukku.

“Halo De apakabar? Masak apa? Ayo kirim telur baladonya ke Indonesia?” begitu sapanya pada Joyce yang waktu itu memang biasa kami panggil sebagai “Dede”.?Saking dekatnya, dalam salah satu kunjungannya ke Indonesia, Joyce bahkan pernah menghadiahi Iwan sebuah novel karena kesukaannya memang membaca novel berbahasa Inggris; sesuatu yang bahkan hingga kini pun aku tak merasa bisa untuk melakukannya meski setelah tinggal sekian tahun di Australia.

Iwan juga adalah orang yang tak pernah menuntut haknya mendahului kawan-kawan lainnya meski sebenarnya ia memiliki hak yang sama persis tinggi rendahnya. Suatu waktu, di akhir tahun 2005, tiba-tiba Iwan, Valens dan Riza mengajakku pergi ke toko handphone.

kiri ke kanan: Riza, Iwan, aku dan Valens (Klaten, Juli 2012)

kiri ke kanan: Riza, Iwan, aku dan Valens (Klaten, Juli 2012)

“Kalian mau bawa aku kemana?” godaku.
“Pokoknya nurut! Enak!” balas Iwan diikuti Riza dan Valens.

Sesampainya di toko handphone, Iwan bilang, “Kamu kan mau ketemu keluarga besar calon istrimu di Malaysia bulan depan, lebih baik kamu ganti handphone baru!” Aku begitu terharu mendengar ketulusannya dan ketulusan Valens dan Riza saat itu. Sebuah handphone bermerk Dopod yang saat itu sangat ngetrend kudapat. Sebulan berikutnya giliran Valens dan Riza mendapatkan. Tapi Iwan? Ketika kutanya, “Wan, kok kowe durung tuku Dopod?” Ia hanya tersenyum dan berujar, “Nanti saja, aku masih suka dengan handphoneku yang ini!”

Ketika hendak memutuskan untuk pindah ke Australia, Iwan memang bukan orang pertama yang kuberitahu tentang hal itu. Pagi itu, ketika aku sudah tekad bulat untuk mundur dari perusahaan, aku menghubungi Valens di ruangannya, baru sesudah itu aku pergi ke ruangan Iwan dan mengutarakan maksudku. Tapi meski bukan orang yang pertama, tanpa mengurangi rasa hormatku pada Valens dan Riza, Iwan lah orang pertama yang menjabat tanganku, menepuk lenganku dan berujar, “Yo wes! Sing ati-ati yo Cah Bagus!”

Setelah pindah ke Australia, hubunganku dengan Iwan tak berhenti begitu saja. Social media mempersatukan kami. Beberapa kali kami bertegur sapa lewat status dan hey, kamu tahu nggak, Iwan Santoso adalah salah satu pengunjung dan pembaca situs ini! Dalam beberapa interaksi dengannya, ia menuturkan apa yang pernah kututurkan di sini bahkan dalam pertemuan terakhirku Maret 2015 yang lalu, ketika aku tak sempat bertemu dengan sosok yang kerap kulukis sebagai Tunggonono di sini, ia memotret dan mengirim foto sosok itu ke Whatsapp dan berujar, “Dapat salam dari Tunggonono!”

Perhatiannya padaku terutama keluargaku juga tak berakhir begitu hubungan kerja antara kami paripurna.?Ketika Papaku meninggal mendadak 2011 silam, ia adalah salah satu dari sedikit kawan yang pontang-panting menawarkan bantuan ini-itu kepadaku. Hal ini membuatku iba sekaligus memantapkanku untuk tetap menganggapnya kawan dan sahabat. Malah, tanpa adanya satupun ikatan kerja profesional, aku dan Iwan justru bisa menjalani persahabatan dengan lebih tulus dan bebas hambatan!

Maret 2015 yang lalu aku mendadak harus pulang ke Indonesia karena kondisi kesehatan Mamaku yang menurun drastis.?Seminggu lamanya aku berada di seputaran Klaten – Jogja dan dua hari di antaranya aku mendatangi kantor Citraweb dan Iwanlah yang secara intens menemaniku saat itu. Kami menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol ngalor-ngidul mulai soal kebijakan pemerintah, hukuman mati, keluarga, termasuk soal hubungan asmaranya dengan Vivi, kawan dekatku yang juga kawan dekatnya.

Pada malam terakhir perjumpaanku dengannya, bersama kawan-kawan lain, Iwan menraktirku makan di sebuah warung angkringan yang letaknya sangat dekat dengan rumah barunya.

“Sayangnya kamu nggak ada waktu buat kuajak main ke rumahku, Don!” tuturnya sesaat setelah kami masuk ke mobil yang hendak mengantarkanku ke Klaten.

“Iya… besok kapan-kapan aku main, Wan! Dekat dari sini ya?”?Ia mengangguk.

“Kamu tinggal dengan siapa? Mama Papamu kamu boyong kemari?”

“Enggak…”
“Lalu? Atau nanti dipakai setelah kamu merit dengan Vivi?” godaku tapi ia tetap tersenyum dan menggeleng. “Nganu… tahun depan keponakanku masuk SMA dan rencana mau kusekolahkan di Stella Duce 1 jadi aku tinggal bareng dia.”

Ya, Iwan yang kukenal adalah Iwan yang sangat peduli pada orang tua dan adik serta keluarga adiknya!?Sesuatu yang kadang membuat iri karena bahkan hingga detik ini kepedulianku pada keluarga asalku hanya seujung kuku dari kepeduliannya.

Pernah suatu waktu aku memancingnya, “Kamu kenapa nggak pindah Jakarta, Wan? Banyak perusahaan besar cari orang finance sesangar kamu!” Ia menggeleng dan bilang, “Aku mesakke Mamaku… kalau aku ke sana lalu siapa yang mengurusinya?” dan hal itulah yang terngiang di telingaku berulang-ulang, berkali-kali ketika aku akhirnya harus memutuskan meninggalkan perusahaan yang mmebesarkanku, meninggalkan Jogja, meninggalkan dirinya dan juga keluarga besarku untuk bermigrasi ke Australia.

Minggu pagi, 10 Mei 2015, Iwan Santoso seperti biasa pergi ke lapangan sepakbola SMA Kolese De Britto, almamaterku dan almamaternya, untuk bermain bola. Ini adalah kebiasaan yang tekun dijalaninya sejak SMA. Bermain sebagai kiper, tiba-tiba ia mengeluh otot tangan kiri tertarik, ia lantas menepi untuk beristirahat.

Tak lama kemudian ia pun terjatuh dan tak tersadarkan lagi. Kawan dekatnya lantas melarikannya ke RS Bethesda yang berjarak sekitar tiga kilometer dari situ tapi nyawanya tak tertolong. Ia meninggal pada usia 39 tahun.

Setengah jam sesudahnya, Ronal Rivandy, mantan anak buahku yang lantas mengganti posisiku di perusahaan menelponku dan mengabarkan, “Bos, Iwan wes ora ono!”

Kagetku bukan kepalang. “Iwan sapa? Aja guyon!”
“Iwan Santoso! Barusan! Main sepakbola kena serangan jantung!”
Setengah tak percaya, aku minta teleponnya diberikan entah kepada Riza atau Valens. “Bener, Don! Teman kita, saudara kita Don… Iwan udah nggak ada!” suara Riza tergetar , terisak.

Akupun jatuh dalam tangis kehilangan yang memilukan! Tak lama kemudian giliran Valens Riyadi menelponku. Tak banyak kata yang ia ucap dan karena aku tak ingin mendengar sedih perihnya, aku langsung berujar, “Lens aku udah tahu.. aku sedih banget… banget!” Ia lantas menutup teleponnya. Kami berduka bersama meski pada jarak yang berbeda untuk orang yang begitu kami kasihi dan kepadanya kami tambatkan tali persahabatan, Iwan Santoso.

Wan, sahabatku, karibku.
Selamat beristirahat. Kalau di surga belum ada lapangan sepakbola, mending nggak usah main lagi.?Tapi kalau kamu memang sudah benar-benar pengen, ya bermainlah dan jangan takut kena serangan jantung lagi. Nggak akan! Nggak akan pernah dan bisa lagi karena kamu mati cuma sekali!

Wan, sampai semalam aku tak berhenti bertanya kepada hening dan ruang, kenapa Tuhan selalu memanggil orang baik sepertimu terburu-buru…

Apakah di Surga kekurangan orang baik?
Apakah Ia merasa kebaikanmu akan tak berarti banyak di tengah dunia yang makin penuh tantangan untuk tetap menjadikan dirinya baik ini…

Tapi apapun itu, Wan, aku jadi lebih tenang dengan apa yang dikatakan Mamaku, kawan Mamamu yang sebenarnya ingin juga kau jenguk Maret silam karena sakit keras. Ia pun berduka, Wan. Komentarnya begini, “Wes dipundhut karo Sing Kagungan! Sudah diambil oleh Yang Empunya!” begitu pesannya.

Nah kalau sudah gitu, apalah artinya aku, Valens, Riza, Debyo, Novan, Ronal, Pak Acheng, Vivi, Papa, Mamamu, adikmu dan keponakanmu serta semua-mua orang yang begitu mengasihimu di dunia ini kalau pada akhirnya kamu sudah berada dengan sosok yang cinta dan perhatian serta pengertianNya kepadamu tak tertandingi lagi? Dan terlebih Ia adalah pemilikmu?

Wan, beristirahatlah yang tenang! Kalau sebulan lalu kamu bersyukur telah mengunjungi Roma dan Vatikan, kini kamu semoga telah sampai di Roma yang Abadi!?Siapkan kursi-kursi lainnya di sana untukku dan kawan-kawan lainnya karena ketika saat kami semua tiba satu per satu, kita akan bersama-sama lagi di sana mungkin ramai-ramai meeting sampai malam lagi ngurus kerjaan, cari makan lagi bareng-bareng di tengah malam atau apapun!

Aku minta maaf kalau aku banyak salah selama ini.?Guyonku mungkin terlalu asu-asunan kepadamu meski kamu juga kerap guyon asu-asunan kepadaku karena kita semua ini sebenarnya tak lebih dari bangsa segawon, Dab!

Terima kasih untuk traktirannya tempo hari di Angkringan Sendang Ayu. Aku tahu aku makan terlalu banyak, tapi anggaplah itu caraku menghormati kelebihan uangmu untuk yang terakhir kalinya hahaha…

Aku juga masih ingat pesan terakhirmu padaku, Wan… melalui Whatsapp, sesaat sebelum aku naik pesawat di Cengkareng yang membawaku kembali ke Sydney maret lalu, kamu memintaku untuk nggak pecicilan lagi karena umurku yang menua. Aku nggak janji karena sejatinya aku adalah orang yang memang dilahirkan untuk pecicilan, Wan! Tapi berjanjilah padaku untuk selalu mendoakanku dari atap surga sana!

Doa dan perhatianku, semoga menghiasi tenangnya perjalananmu kembali kepadaNya, Sahabatku!

*tis76 adalah paraf Iwan yang selalu diterakan dalam draft-draft proposal yang kuajukan kepadanya dulu.

Makan malam terakhir dengan Iwan Santoso, Maret 2015

Makan malam terakhir dengan Iwan Santoso, Maret 2015

Tulisan tangan Iwan Santoso sebelum 'mbayari' aku makan hahaha..  Makasih banget, Wan!

Tulisan tangan Iwan Santoso sebelum ‘mbayari’ aku makan hahaha..
Makasih banget, Wan!

Kunjunganku ke Citraweb, Maret 2015 silam. Iwan Santoso berdiri paling belakang

Kunjunganku ke Citraweb, Maret 2015 silam. Iwan Santoso berdiri paling belakang

Status Facebook Iwan Santoso mengomentariku momen ngobrol barengku dengannya, Maret 2015

Status Facebook Iwan Santoso mengomentariku momen ngobrol barengku dengannya, Maret 2015

Ini adalah foto terakhirku dengannya. Malam saat ia mengantarkanku kembali ke hotel, Maret 2015. Iwan ada di sudut kanan

Ini adalah foto terakhirku dengannya. Malam saat ia mengantarkanku kembali ke hotel, Maret 2015. Iwan ada di sudut kanan

Sebarluaskan!

14 Komentar

  1. bukan pacar (sumpah don!), tapi rajin menanyakan..udah sampe jogja belum.. trus aku dijemput, ditanya pengen makan apa, trus cerita segala rupa dari kuliah, film, bola, travelling, sampe ngomporin dia belanja :) hal yang sama juga aku lakukan kalo dia berkunjung ke jakarta. he’s a very good friend, even like a brother to me..walaupun akhirnya sibuk masing-masing dan sudah jarang ketemu, dia datang waktu aku menikah.. and that’s time I met and I hug my friend for the last time. agustus nanti janjian mau ketemu di jogja, aku akan ajak anak dan suamiku ketemu dengan teman2 lamaku, asik yaa bakalan ngobrol..kulineran.. ternyata kamu udah pergi duluan Wan! selamat jalan, Wan.. kamu sudah jauh lebih senang ada disana.. segala kekhawatiran hidupmu sudah diangkat oleh-Nya :) nanti pasti kita bisa ketemu lagi kok.

    Balas
    • Menitikan air mata baca tulisan ini. ….teringat humor2 iwan markontes….perhatiannya juga sbg seorg teman…..dulu pernah sampe ajal makan swike yg katanya terkenal di klaten…

      Balas
  2. Setelah kelar baca, memang alm. Iwan ‘tak tergantikan’. Mengutip ucapan mamahku sewaktu papahku meninggal, “Papah sekarang kerja di rumah Bapa”, begitu pun alm. Iwan, beliau sudah kerja di rumah Bapa di Surga. Masih mbrebes mili, ikut berduka cita ya Don….

    Balas
  3. Iwan bali gasik…

    Hari ini aku pakai jaket coklat, sama seperti yg dikenakan Iwan di foto profil terakhirnya. Sedih, meski pertemananku tidak seakrab pertemananmu dengan tapi setidaknya aku senang mengenal orang baik satu ini.

    Sampai berjumpa kembali kawan !!

    Balas
  4. oh iya, pada masanya di Citra ada 3 Iwan.

    Iwan Brewok
    Iwan Pribadi
    dan
    Iwan Santoso

    Balas
  5. Mas iwan..org yg suka comment di fb klo aku upload fotonya kinan atau bisma…dan selalu menanyakan kabarnya kinan dan bisma..
    Km janji mau nraktir di angkringan sendang ayu all u can eat…. klo aku sm anak2 someday dolan ke yogya
    Kabar duka kepergiannya di minggu pagi kmrn sungguh membuat semua orang tak percaya…
    Selamat jalan mas iwan…damai surga sdh jadi milikmu sekarang, amin…

    Balas
  6. Memang banyak orang yang suka bertanya: “Kenapa orang baik cepat meninggal, dan orang jahat malah umur panjang?” Lalu kata seorang pastor temanku: “Orang baik cepat meninggal karena Tuhan sayang padanya, supaya dia jangan menjadi jahat maka Tuhan cepat panggil dia. Kalau orang jahat umur panjang, karena Tuhan memberikan kesempatan pada orang itu untuk bertobat (yang seringnya malah tidak bertobat)”… namun betul, itu hanya alasan kita manusia yang selalu ingin mencari jawaban.

    Turut berduka cita dengan berpulangnya sahabatmu.

    Balas
  7. Asem, mbrebes mili mocone iki, padahal lagi neng kantor :_((

    Balas
  8. Ikut duka cita. Semoga semua kebaikannya dapat amalan berlipat-lipat.

    Balas
  9. Iwan Santoso. Orang baik. Titik.

    Balas
  10. asem malah nangis neng kantor gara2 baca ini. dipikir tukaran karo bojoku.
    iwan yang aku tau suka maen di kost kenari 5. ndolani vivien. nek dolan barengan karo andi , jhonson. nek wes kesel mulihen gasik. aku nyusule mengko2 sek anakku isih cilik2. sugeng tindak ngeh mas iwan

    Balas
  11. Kami bertujuh (aku, Ferry, Aan, Fritzie, Jimmy, Han Han, dan Rava) yang pertama kali mendapati Iwan di saat terakhirnya di lapangan De Britto, mencoba menyadarkan, dan melarikan ke Bethesda secepat mungkin meskipun nabras2. Seandainya kami dibekali pendidikan medis…seandainya Iwan saat itu berteriak memanggil kami…seandainya…seandainya….

    Selamat jalan Wan, Tuhan selalu memberikan tempat terbaik bagi seseorang yang baik

    Balas
  12. life..

    selamat jalan buat sahabatmu, Don

    Balas
  13. Donny, makasih sekali lagi tulisannya. Kamu adl sedikit orang yg tau awal2 hubunganku dgn Iwan. Makasih jg supportnya..

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.