Sebenarnya aku pengen menggunakan istilah buzzer dalam tulisan ini, tapi kayaknya istilah tim hore lebih baik.
Tiga tahun lalu aku adalah tim hore-nya Jokowi, setidaknya aku menganggap demikian karena setiap ada percakapan tentang Jokowi dimanapun, aku ikut hore-hore.
Terlebih waktu itu, dalam Pilpres 2014, lawannya adalah Prabowo Subianto, tentu aku lebih meng-hore-hore-kan mantan walikota Solo itu ketimbang dirinya meski Prabowo sendiri dua tahun sebelumnya juga ikut mendukung Jokowi, ikut hore-hore dalam Pilgub DKI Jakarta 2012.
Level ‘hore-hore’ ku pun cukup tinggi, setidaknya menurut diriku sendiri. Kalian yang membaca blog ini sejak dulu tentu ingat bagaimana aku dan kawan-kawan di Sydney mengkoordinir kampanye Jokowi – JK di muka landmark kota Sydney yaitu Opera House. Aku (dan kawan-kawan) berhasil mendatangkan sekitar tiga ratus anak bangsa dari sekitar Sydney untuk ikut berhore-hore mendukung Jokowi – JK dan secara ultra heroik kutuangkan dalam tulisan bertajuk Tiga Ratus Anak Bangsa Menggedor Lantai Surga. Itu adalah tulisan kedua yang menyebar kemana-mana setelah sebelumnya tulisan yang kujadikan pernyataan sikapku untuk mendukung Jokowi kudaraskan di sini, Dulu Aku Memilih Prabowo .
Lalu sejarah akhirnya memang memihak pada Jokowi – JK, mereka menang dalam Pilpres menggantikan rejim SBY – Boediono yang berkuasa sejak lima tahun sebelumnya.
Sayangnya tak sampai setahun berselang, kecewaku muncul pada Jokowi lalu hilang pula ‘hore-hore’ ku terhadapnya. Semua bermula karena Jokowi menolak grasi hukuman mati dan aku adalah penolak konsep hukuman mati.
Bagiku, penolakannya waktu itu lebih didasari pada sikap untuk ‘menunjukkan sikap’ terhadap dunia internasional bahwa dia adalah presiden, meski baru tapi adalah sosok yang tak bisa ‘diajak main-main’ dalam hal hukum dan ketegasan lantas dorrrr! eksekusi hukuman mati tahap pertama pun dilaksanakan.
Masih belum hilang bau mesiu, beberapa bulan kemudian…. dorrrr! putaran kedua eksekusi mati lagi-lagi diadakan setelah Jokowi menolak memberikan grasi. Akupun bersikap. Aku tak mau dan tak sudi lagi jadi tim hore-nya dan menuang sikapku itu dalam tulisan yang kuberi judul berlawanan dengan apa yang dulu pernah kutulis, Dulu Aku Memilih Jokowi.
Tapi kalau tak salah setahun lalu, aku belajar dan mengevaluasi sikapku tadi dan betapa aku sadar bahwa aku telah salah! Meski menolak grasi hukuman mati, Jokowi toh banyak melakukan hal-hal baik yang sebenarnya kudukung! Mulai dari percepatan pembangunan di luar Jawa yang makin lama makin kentara hasilnya, sikap tegasnya terhadap korupsi, pribadinya dan keluarganya yang tetap low profile meski telah menjabat sebagai RI 1… semua adalah hal-hal baik yang harusnya kudukung juga tapi lantas kucuekin gara-gara aku sudah memutuskan untuk tak jadi tim horenya lagi.
Lalu dalam sebuah permenungan, aku menyadari akar persoalannya sebenarnya bukan pada keputusanku untuk mundur waktu itu tapi lebih jauh lagi ke belakang justru pada saat aku maju untuk menjadi tim horenya Jokowi which was… sekitar tiga tahun silam!
Apakah sumber kesalahan itu?
Simple, harusnya aku tak jadi tim hore Jokowi! Harusnya aku jadi tim hore nilai-nilai baik yang diusung dan diperjuangkan Jokowi! Aku menjadi tim hore ‘siapa’ dan memilih untuk tak jadi tim hore ‘apa’, tim hore yang peduli pada ‘person’, bukan ‘reason’. Akibatnya, ketika aku kecewa padanya, aku memilih untuk tak melihatnya sama sekali! Tepat sekali dengan apa yang kualami terhadap Jokowi terkait kebijakannya tentang penolakan grasi hukuman mati itu tadi.
Lalu hari-hari ini sekalangan orang meributkan Denny, tim horenya Jokowi yang suka seruput kopi itu. Tanpa pengetahuan lengkap tentang latar belakang pembangunan pabrik semen di Rembang, ia yang konon jumlah pembacanya puluhan ribu biji itu menyerang dan menerjang pokoknya membela yang di-hore-hore-innya, Jokowi. Padahal aku tak tahu apakah ia sendiri paham seberapa dalam masalahnya, seberapa jauh persoalan itu bisa ditindaklanjuti Jokowi atau seberapa mungkin Jokowi untuk bisa menganulir keputusan Gubernur yang terkesan nekat memberikan ijin pembangunan pabrik semen tadi.
Hingga akhirnya nama Denny yang selama ini begitu berkejora sebagai tim hore jadi agak tercoreng di muka tim hore Jokowi lainnya yang lebih berperan sebagai tim hore apa dan bukannya siapa… tim hore nilai-nilai ketahanan lingkungan ekologis ketimbang tim hore Joko Widodo.
Menggelikan? Tidak! Aku menyadari dan maklum karena diri ini dulu juga pernah berada pada ‘sepatu’ yang sama dengan Denny. Hanya saja, kasus ini biarlah jadi pembelajaran yang lebih baik ke depannya karena masih banyak hal yang bisa kita hore-hore-in bersama. Tak hanya soal Pilkada Jakarta karena awal tahun depan pun ada ‘hore-hore’ lainnya yaitu Pilkada Jawa Barat dan Jawa Timur kemudian setahun berikutnya ada hore-hore besar yaitu Pemilu.
Jadilah tim hore yang beradab, tim hore yang cerdas yang mengangkat nilai dan tidak waton sulaya pokoknya pejah gesang ndherek si A atau si B atau si C.
Seruput? Semaput!
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan