Beberapa waktu yang lalu aku membeli headphone sebagai pengganti earphone lamaku yang rusak.
Eh, btw, kalian tahu apa beda headphone dan earphone kan?
Oh tidak? Tidak tahu?
Baiklah, karena pesan tulisan ini membutuhkan kalian mengerti apa perbedaannya, kujelaskan saja singkatnya di sini.
Earphone atau biasa disebut earbud adalah semacam speaker super mini yang cara penggunaannya disumpalkan ke liang telinga. Sementara headphone berukuran lebih besar dan cara penggunaannya cukup ditempelkan pada daun telinga. Barangkali karena besarnya ukuran lantas disebut sebagai ?head? phone dan bukannya ?ear? phone.
Lantas kenapa ketika earphone rusak aku tak memilih untuk membeli earphone lagi?
Alasan inilah yang semoga menarik untuk diulas di sini.
…Khas kaum urban yang pada akhirnya seperti membangun cubical di sekeliling tubuhku dan menaruh label di jidat, ?Do NOT disturb me!?
Musik adalah elemen penting dalam hidupku.
Dulu waktu masih belum menikah, boleh dibilang seluruh hariku selalu terbalut musik, bahkan tidur pun harus ada iringan musik.. semacam nina bobo yang melenakan, kalau tidak aku tak kan bisa tertidur dengan mudah.
Namun, setelah menikah apalagi punya anak dan kerja ?ikut orang? di Australia, waktu untuk mendengarkan musik adalah sesuatu yang langka, oleh karenanya meski sekelumit adanya, ia amatlah berharga.
Praktis dalam sehari aku hanya punya waktu 20 menit di pagi dan sore selama perjalanan berangkat/pulang kantor, dan waktu workout di gym saja untukku menikmati musik, itupun tak lebih dari satu jam per harinya.
Untuk waktu-waktu yang kusebut di atas, sekali lagi karena saking langkanya, pada akhirnya secara tak sadar aku menaruh egoku begitu tinggi untuk mempertahankannya.
Istilah kata, aku tak mau diganggu siapapun terutama orang-orang di sekitar yang kujumpai pada waktu-waktu itu karena musik, musik ? dan musik.
Sayangnya, ketika masih menggunakan earphone, barangkali karena ukurannya yang kecil, orang sering tak memperhatikan bahwa aku mendengarkan musik. Jadi tak jarang, mereka tiba-tiba menyapaku entah itu untuk bertanya soal, “Jalan ke areal ini lewat mana ya?” atau “Kamu tahu nggak kereta di lane berapa untuk menuju ke arah City?” dan hal itu memaksaku untuk mematikan musik barang sejenak, memasang tampang senyum lalu menjawab pertanyaan mereka. Rata-rata mereka baru ?ngeh? bahwa aku in music dan mereka buru-buru minta maaf, tapi bukankah maaf itu datangnya seperti polisi di film-film eksyen, selalu datang terlambat :)
Nah, semenjak menggunakan headphone, mereka yang biasa bertanya seperti pertanyaan-pertanyaan di atas jauh berkurang karena kuyakin melihat wujud headphone nya yang besar, orang enggan untuk mengangguku yang memang jelas tampak tak mau diganggu.
Hehehe.. alasan yang taktis bukan? Khas kaum urban yang pada akhirnya seperti membangun cubical di sekeliling tubuhku dan menaruh label di jidat, “Do NOT disturb me!”
* * *
Temans,
pada akhirnya ada begitu banyak hal yang apabila kita manfaatkan secara salah dan berlebihan, alih-alih membuat kemanusiaan kita menjadi unggul, sebaliknya, predikat kita sebagai makhluk ego semakin mencuat tinggi.. setinggi ego itu sendiri. Agama, contohnya…
Agama tentu berbeda dengan headphone maupun earphone, tapi marilah kita sepakat kali ini untuk meletakkannya pada aras yang sama.
Agama kita kenakan untuk ?mendengarkan? suara tuhan, tuhan yang kita sembah yang kadang tampak sama tapi kadang dari sifat-sifatnya yang kita tafsirkan secara berbeda, membuat ia tampak berlainan pula.
Efeknya, kita terhibur dan kebutuhan kita akan hiburan pun terpenuhi. Tak lama kemudian, kebutuhan itu datang lagi, terus-menerus dan proses pemenuhannya terus berlanjut hingga entah kapan… Dalam bahasa ?narkoba?nya, kita dibuatnya sakaw, sakaw agama.
Sementara itu, ketika kita semakin sakaw, hidup di sekitar kita toh terus berlanjut. Orang berbahagia, orang kesusahan, orang berperang, menderita dan lain sebagainya ragam hidup adalah kenyataan; sesuatu yang menuntut juga perlu didengar dan ditindaklanjuti oleh kita para pengguna ?headphone? agama ini.
Lalu pertanyaanku, ketika mereka meminta untuk diperhatikan, adakah kita mau mematikan musik dan membuka headphone barang sejenak lalu menolong mereka?
“Oh, tentu tidak! Karena dalam agama, kita toh mendoakan sesama kita jadi itu lebih dari cukuplah!”
Good! Tapi, apa alasan sebenarnya kita untuk mendoakan sesama? Adakah supaya kita dicap baik oleh tuhan karena kita telah pernah mendoakan sesama sesuai ajarannya? Atau memang benar-benar karena kita ingin bergerak bagi mereka?
“Oh, kita juga nyumbang kok! Agama mengajarkan demikian!”
Good! Yakinkah kita nyumbang demi sesama dan bukannya demi supaya rejeki yang kita dapat berlipat ganda karena sumbangan kita? Semacam sogokan kepada Tuhan supaya kita pun dikasihiNya?
Atau dalam perspektif yang agak berbeda, teriakan orang-orang minoritas menyeruak, “Kami ini tertindas karena kebebasan beragama ditekan abis-abisan!” Tidakkah itu sejatinya bentuk lain ke-ego-an karena bisa jadi mereka memang tidak mau melawan supaya terkesan lebih tertindas lagi supaya terpenuhilah ‘syarat’ untuk mendapatkan surga secara mudah dan lapang, karena bukankah ada tertulis barang siapa tertindas di dunia ini akan mendapat ganjaran surga yang luar biasa lapangnya?
” Ketika telinga kita lekak oleh musik dan dogma-dogma agama, Tuhan toh memberi indera lain untuk merasakan hal-hal di luar kegilaan-kegilaan itu?”
“Lalu kalau begitu, apa yang harus kami lakukan dengan agama kami?”
No! Kamu tak perlu melepas headphone kamu karena musik itu adalah vitamin. Sama halnya dengan itu, kamu tak perlu berubah jadi makhluk non-agama karena ia juga menguatkan. Sekadar menurunkan volume atau kalau mau tetap mendengarkan dengan volume keras, cobalah untuk membuka mata lebar-lebar. Ketika telinga kita lekak oleh musik dan dogma-dogma agama, Tuhan toh memberi indera lain untuk merasakan hal-hal di luar kegilaan-kegilaan itu?
Tiba-tiba aku rindu John Lennon menyanyikan Working Class Hero, “…Keep you doped with religion and sex and TV..”
kamu berharap aku ngomong apa, dontje? untuk orang2 dengan headphones terlalu besar (yg tak rela mereka lepaskan demi mendengar suara lain, pertanyaan, keluhan orang lain), musik mereka adalah segalanya.
oh and anyways, kamu tau apa kata mereka waktu aku bicara apa adanya tentang hijab dan keputusanku melepas hijab setelah 14 taun berkerudung? aku bukan lagi iblis atau bebek. sekarang aku maksiyat, mengajak orang berbuat maksiyat, murtad, hatiku tidak islam, bahkan ada yg bilang aku aktivis gereja yg ngaku2 pernah berjilbab.
expect me to say nothing but dafuq with my middle finger up high.
salam, saudaraku. have a fabulous monday :)
sayup terdengar
….
You may say I’m a dreamer
But I’m not the only one
Take my hand and join us
And the world will live, will live as one
(Imagine, by John Lenon)
#kemudianhening
Membandingan agama dengan ego earphone itu sebuah perumpamaan yang pas..
saya suka yang ini “Yakinkah kita nyumbang demi sesama dan bukannya demi supaya rejeki yang kita dapat berlipat ganda karena sumbangan kita? Semacam sogokan kepada Tuhan supaya kita pun dikasihiNya?”…
earphone… tidak suka pakai… karena lebih suka menikmati bicara sama orang dijalan… hehehehe
Kalau aku sih menikmati musik dengan sederhana, Mbah. Menggunakan earphone sebelah saja, jadi telingaku memang bukan untuk diriku sendiri. Mungkin karena itu Tuhan menciptakan dua telinga, bukan satu..
Apik, Don…tapi kanggone sing mudheng, gelem sinau, gelem mbuka nalar lan ati. Yen model bebek-bebek arab, bebek amerika lan sapanunggalane, ya embuh.
Saya ngga pernah ketemu dengan mas Donny, bahkan bercakap2 dengan mbak Venus. Salam hormat. Tapi membaca tulisan ini serta mengamati kejadian belakangan ini, saya jadi paham kenapa Tuhan menciptakan 1 hati yang diletakkan didalam… Agar kita dapat melindungi perasaan kita dan bukan mengumbarnya kemana-mana.
Mungkin sesekali kita perlu pakai logika, untuk apa sebenarnya kita menggunakan headphone itu. Mudah-mudahan bukan hanya ikut-ikutan dan karena takut menjadi minoritas.
*nyambung ndak sih?
Aku tak komentar soal earphone wae yo, tanganku rung gedok kuping soal agama. :D
Hahaha, iya juga ya, kalo pake earphone karena suka nggak kelihatan masih ada yang “ngganggu”. Kalo headphone, hanya dalam keaadaan terpaksa aja orang mau ngganggu. Nek tak kandani aku jarang pake earphone maupun headphone gara-gara fobia terjadi gempa njuk aku ra krungu, ngguyu ra Om? :lol:
Hemmmm,
Ananlogi cerdas dari seorang Donny Verdian. Super-Sepakat Dab, gambaran “Agama Ageming Aji” (Pangkur-Serat Wedhatama) telah sampean wedhar kembali…
Nuwun Dab…
bagus tulisannya…makasih udah share yaa
hahaha cuma Donny yang berani bilang sakaw agama.
Well…. prinsipku cuma satu hodo-hodoni. Jangan ke-“terlalu”-an. Thas all.