Ini betulan! Bukan kiasan atau sesuatu yang bermakna berlebihan.
Tanpa majas, betul-betul kalimat telanjang yang menyatakan bahwa, Tetanggaku takut mati!
Umurnya memang sudah uzur, 84 tahun. Banyak rekan sepantarannya telah mendahuluinya menuju ke liang kubur sementara dia tetap segar dan bugar.
Pada masa mudanya, ia berprofesi sebagai tentara, dan sampai sekarang ciri itu tak terpatahkan, kalau berjalan benar-benar drap! drap! drap!
Sorot matanya masih tajam meski gendang telinganya sudah kiwir-kiwir, tak sanggup membedakan lemah-kuat frekuensi bunyi di sekelilingnya.
Rambutnya? Ah jangan tanya rambutnya karena ia mungkin sudah lupa kapan helai terakhir rambutnya lepas dari gundul kepalanya.
Beberapa minggu yang lalu, salah satu anaknya meninggal dunia karena sakit.
Tak sampai sehari, tiba-tiba ia pun dilarikan ke rumah sakit.
Lebih dari seminggu di sana, orang-orang mengira “Wah! Ini bapak dan anak berangkat berbarengan!” Mereka bakal meninggal beriringan.
Tapi ternyata tidak! Kami salah semua!
Pada awal minggu kedua, ia kembali pulang ke rumahnya dengan langkah yang tetap sama, drap! drap! drap!
Matanya kembali menyorotkan sinar kehidupan, sesuatu yang tak jarang sudah lenyap tandas pada orang setua dia.
Seminggu berikutnya, tetanggaku yang juga tetangganya meninggal dunia karena sakit tua.
Kira-kira yang meninggal itu adalah sepantaran dengannya.
Eh! Kembali dia ketakutan. Dia mengeluh sepertinya ada yang salah dengan badannya dan memaksa istri serta tetangganya untuk mengantarkan dia ke rumah sakit.
“Lha wong belum jadwalnya kontrol kok Bapak sudah? Ini nggak sakit apa-apa kok! Bapak sehat!” Begitu dokter menasihati kira-kira.
Ya, nasihat yang tak terlalu berlebihan sebenarnya, karena meski perasaan berkata ia sakit, tapi sorot matanya yang tajam itu tak bisa menipu dan mengungkap betapa ia sangat sehat.
Tak sampai tiga hari sesudah tetanggaku yang juga tetangganya meninggal, secara kebetulan (kebetulan?) tetanggaku yang lainnya juga meninggal.
Kembali! Ya, dia kembali ketakutan! Ia mengeluh kakinya seperti tertusuk-tusuk, perutnya memutar-memutar tak keruan dan sekali lagi, ia memaksa istri dan tetangganya untuk
menuju ke rumah sakit sekedar mendengarkan Dokter berfirman.
Aku tak tahu bagaimana kelanjutan ceritanya.
Tapi cerita itu cukup membuatku merenungkan arti kata takut.
Ternyata ketakutan itu begitu akut!
Aku jadi ingat beberapa waktu dulu aku pernah mendengarkan cerita tentang orang yang terkena ulat bulu sehingga seluruh tubuhnya menjadi lebam-lebam karena gatal.
Lalu tiba-tiba aku jadi merasa seperti punggung dan tanganku gatal-gatal. Secara tak sadar aku pun mulai menggaruk permukaan kulit semata-mata karena aku merasa aku diserang rasa gatal karena pengaruh cerita ulat bulu itu tadi.
Akut bukan?
Kembali ke soal tetanggaku tadi, aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.
Semua orang takut mati! Se alim-alimnya orang, setegar-tegarnya raksasa, setinggi-tingginya Magic Johnson dan sependek-pendeknya orang-orang di negeri Liliput… semua orang takut mati!
Semua orang takut untuk menjalani keadaan dimana tak satupun manusia telah pernah mendengarkan preview mendetailnya terlebih dahulu.
Apa kamu takut?
Takut apa? Takut mati atau takut untuk takut mati?
Hon-Hon…
ketemu wong mati mlaku-mlaku opo jajan luwih medeni