Tersenyumlah meski kalah

11 Agu 2014 | Cetusan

blog_senyum

Aku tak menyangka, fenomena mengacungkan dua jari ketika berfoto (utamanya selfie atau usfie — selfie berombongan) itu ternyata memiliki sejarah yang menarik.

Menurut TIME, hal itu berawal mula dari seorang atlit ski es, Janet Lynn.?Pada Olimpiade di Jepang, 1972, ia difavoritkan memperoleh emas namun gagal karena terjatuh ketika sedang melakukan performance.

Namun meski demikian, pada saat penerimaan medali (Janet akhirnya hanya meraih medali perunggu – urutan ketiga), ia tetap tersenyum dan senyuman itu meluluhkan publik Jepang.

Janet lantas jadi begitu populer.
Beberapa tahun kemudian ia mengadakan tur ke Jepang dan beberapa kali ketika hendak dijepret media, ia tak hanya mengembangkan senyum tapi juga mengacungkan dua jari, telunjuk dan jari tengah membentuk huruf ?V? yang berarti victory/kemenangan; sesuatu yang kembali ?tak lazim? karena ia bukanlah pemenang sebenarnya…

Sejak saat itulah, ?virus? foto dengan menunjukkan dua jari menggejala tak hanya di Jepang tapi meluas hingga ke negara-negara lainnya sampai sekarang.

Tapi tulisan ini tentu tak hendak membahas tentang cara berpose selfie/usfie. Hal yang menggelitikku justru, kenapa senyuman Janet dan disusul dengan pose mengacungkan dua jari tanda kemenangan (victory) meluluhkan orang-orang waktu itu?

Adakah hal yang aneh ketika kita tersenyum meski kalah dan berkata menang ketika kita ditundukkan?

Waktu kecil dulu aku pernah iseng ikut lomba mengarang tulisan dan kebetulan menjadi juara.?Pada saat diumumkan, Mama ikut hadir dan ia begitu gembira, bertepuk tangan dan memeluk serta mengguncang-guncangkanku ketika namaku disebut sebagai pemenang.

Aku sendiri hanya diam, mungkin awalnya kaget dan tak menyangka bisa jadi juara.?Sesaat kemudian, MC memanggilku untuk maju ke depan menerima piala serta piagam penghargaan. Aku pun maju sementara Mama telah bersiap dengan kameranya hendak mengabadikan momen itu.

?Le, mesem, Le! (Nak, senyum, Nak -jw)? teriak Mamaku dari bawah panggung.

Tapi aku biasa saja. Tak tersenyum. Aku gemetar karena grogi. Maklum, waktu itu, aku memang belum terlalu suka untuk tampil dan disorot di muka umum.

Lalu Mama mengulangi lagi permintaan itu sekali, dua kali tapi aku tetap tak tersenyum, biasa saja.

Selama dalam perjalanan pulang, dengan tetap menggenggam piala itu, Mama memarahiku bertubi-tubi, ?Kamu kenapa nggak senyum tadi? Kamu menang!? Matanya mendelik, menelisikku dalam-dalam.

Tapi… aku tetap diam saja?

Bagiku, mamaku terperangkap dalam stigma bahwa mereka yang menang haruslah tersenyum dan yang kalah harus bersedih. Dan sayangnya itu bukan akar sebenarnya. Ada masalah lain yang lebih mendasar daripada stigma itu yaitu kebiasaan kita untuk mengidentikkan hidup ini dengan kompetisi.

Aku pernah menulis di halaman profilku bahwa aku adalah salah satu orang yang sejak kecil memang dikondisikan untuk berkompetisi. Setiap pertarungan harus dimenangkan, kalau kamu menang itu berkah, kalah jelas musibah!

Padahal, sejatinya hidup itu ternyata tidaklah demikian.
Apa yang kupelajari selama enam tahun hidup di Australia ini, hidup itu terlalu disayangkan kalau hanya dipandang sebagai kompetisi.

Memang ada bagian hidup yang mau-tak-mau harus dikompetisikan, tapi sebenarnya lebih banyak lagi hal yang tak perlu dan tak ada gunanya untuk dimenang-kalahkan.

Mungkin hal itu yang ingin ditampakkan Janet 42 tahun silam.?Ia memang kalah meski difavoritkan juara tapi mau apa dan mau bagaimana lagi? Kalah adalah kalah dan itu sudah lewat, sekarang tersenyumlah untuk melanjutkan apa yang ada di depan sana.

Mengenai hidup yang sarat kompetisi, aku baru saja merndapatkan cerita lucu berdasarkan pengalaman kawanku sendiri yang tinggal di Jakarta.

Ia seorang ibu muda.
Ketika kuceritakan betapa di Australia ada begitu banyak taman terbuka yang bisa diakses secara gratis, ia pun berujar bahwa sejak Jokowi jadi gubernur, Jakarta juga kini ?mengenal? taman.

?Nggak cuma mall lah!? ujarnya.
?Oh, bagus dong!?

?Iya, tapi nggak enaknya mesti rebutan??
?Mesti rebutan?? aku mengerutkan alis.

?Iya! Jadi ada satu set kursi di taman dekat rumahku, tiap kali aku ingin membawa anakku ke sana untuk main sekalian kusuapi makan, ehhhh, ada Ibu yang selalu sudah jaga di sana!?

Aku tertawa mendengar penjelasannya. ?Lalu??
?Itu nggak cuma sekali tapi berkali-kali selalu seperti itu.?

?Lalu? Aku ber-lalu lagi.
?Ya, kadang kuusir secara halus. Pasang muka cemberut sambil pura-pura ngobrol sama anakku nyinyirin orang itu supaya dia cepat pergi!?

Aku terbahak.
?Sorry? Tapi kenapa kamu tak cuek saja??

?Cuek gimana??
?Kenapa kamu nggak bergabung saja dengannya? Kenalkan diri kamu dan bilang kalau kamu mau numpang duduk meski harus sedikit berhimpit-himpitan dan tawarkan juga lauk anakmu untuk dibagi dengan anaknya..?

?Hmmm??
?Iya, coba aja begitu, biasanya kamu malah jadi baikan dan temenan dengan si ibu tadi! Mayan kan, ketimbang bikin musuh mending nyari kawan!?

Lalu si ibu muda, kawanku tadi, menggerutu dengan alasan ini-itu di jendela messenger yang sudah tak menarik perhatianku lagi.

Bayangkan, soal kursi taman pun menjadi sebuah ajang kompetisi, bagaimana dengan hal-hal lainnya yang lebih besar dan serius ketimbang itu?

Bener nggak?
Btw, kamu termasuk mereka yang suka berfoto dengan memamerkan dua jari nggak?
Pake monyong-monyongin bibir juga ngga?

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Bagiku, dalam menjalani kehidupan, aku harus selalu menang. Meski arti ‘menang’ terkadang berbeda dengan sebagian besar orang.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.