Salah satu hal terlemah dari manusia barangkali adalah karena ia terlalu mudah dan sedemikian cepat berkesimpulan dalam segala hal.
Mengamati dari semua yang didengar, dikecap, dilihat dan dirasakan lalu berujar, “Oh, jadi kesimpulannya…”
Seorang tua mati mendadak dan tetangga pun ramai berujar, “Oh, dia pasti mati kena sakit jantung!”
Ada seseorang merayakan ulangtahun ke-17 di ballroom hotel ternama dan suara sinis pun menyebar, “Ah ya ndak heran, pasti bapaknya orang kaya!”
Seorang Ibu berpapasan dengan seorang pemuda yang jauh lebih muda darinya.
Matanya kelilipan sehingga ia tampak seperti sedang mengerling ke arah pemuda tersebut dan ndilalahnya, si pemuda juga tak kurang ramah, membalas kedipan mata itu dengan lambaian tangan yang hangat.
Kasak-kusuk tetangga pun menyimpulkan, “Dia pasti selingkuh, dan lelaki itu selingkuhannya! Nggak mungkin nggak!”
Seorang dara cantik menampar kekasihnya tepat di tengah jalan. Gara-garanya sepele, ketika hendak menyeberang si pria bermaksud melindungi pacarnya selama penyeberangan. Alih-alih mendapatkan sanjungan, yang ada malah “Plak!” si dara pun tegas berkesimpulan “Norak amat sih?! Ngga sabar ya? Kita kan belum resmi kok kamu sudah pegang-pegang pantatku?”
Seorang blogger, ramah berkomentar. Saking ramahnya ia menjejalkan lebih dari empat komentar berturut-turut dalam satu tulisan sahabatnya tapi keramahannya dibalas dengan tuba, si sahabat, sang pemilik tulisan itu marah, tercabik saraf kesabarannya dan berkesimpulan, “Dasar, mentalitet ndeso! Cari perhatian saja!” :)
Sebuah bencana alam terjadi dengan dahsyat, ribuan orang meregang nyawa dibuatnya dan ratusan ribu lainnya yang masih hidup pun meratap sembari berkesimpulan bahwa Tuhanlah penyebabnya, “Ya Tuhan, mengapa Engkau menurunkan cobaan ini?”
Barangkali kita sering tergoda untuk menyimpulkan karena kita membutuhkan pijakan untuk melangkah ke depan, akan tetapi kenapa harus semuanya disamaratakan untuk selalu disimpulkan?
Tidak semua gejala akan menjadi kesimpulan yang baik bila disatukan dengan gejala-gejala yang lain, bukan?
Biarkan, terkadang kita perlu membiarkan beberapa hal tetap berdiri sendiri-sendiri dan justru tantangan bagi kita untuk tetap bisa berpijak dari itu semua.
…sedangkan warna langit yang sesungguhnya pun sebenarnya kita tak pernah tahu?
kalau dikit2 sudah menyimpulkan atau minta kesimpulan terus itu gejala orang yang gak suka mikir2 panjang, gak mau repot, gak mau detil, dan lama-lama gak mau tau sebab, akibat, mau taunya akhirnya tok…
kayak nonton film merasa sudah tahu ending-nya, baca buku sudah tahu isinya hanya dengan kesimpulan.
bener yang kamu tulis, tidak semua harus disimpulkan, ada yang harus berjalan sendiri2 tanpa harus ada kesimpulan. kalau memang menggantung kenapa juga musti disimpulkan hehehehe.. seperti menebak seseorang akan masuk neraka apa surga kalo sudah maksa2 gitu
iya deh, janji ga ngegosip atau ngarang ngarang crita lagi kalo lom jelas… :D
eh hon tadi aku sempet liat di statusnya temenku kayaknya dia lg berantem lagi deh… ini bukan gosip, tapi statusnya di FB gitu…
Weks kalo ngegosip itu harus! Wajib hukumnya :)
Siapa temenmu? Yang manaaaaa :) ehehehe
Gue mo ngomentarin Klepon ah, tp males buka FB, jadi kesimpulan gue……………………………….
Donny Jorse!
Ehehehehehhe..
Hehehehe kenapa jorse? jorse itu apaan? kuda? eh itu horse yah :)
Jorok sekali? Nggak ah, gw tampan!
konon katanya emang sifat dasar manusia itu adalah gampang menghakimi dan lupa bahwa gak ada manusia yang paling bener termasuk yang menghakimi itu.
Begitulah, kadang kita menilai berdasarkan apa yang tampak… padahal sejatinya ngga harus selalu begitu.
Kesimpulan yang diambil secara serampangan, terburu-bur, cenderung menghakimi.
Mungkin itu yang jadi latar belakang suburnya acara/ tabloid infotainment di Indonesia ya? Kesimpulan segera dibuat agar bisa jadi konsumsi publik. Masalah klarifikasi jadi soal belakangan.. :-(
aku suka bagian ini “…sedangkan warna langit yang sesungguhnya pun sebenarnya kita tak pernah tahu?”
tapi kalau sekedar berpendapat boleh kan mas? karena setiap orang memiliki kacamata pemikirannya masing2. saat orang yang satu memandang dengan kacamata berwarna hijau maka akan tampak hijau, dan jika yang lain memandang dengan kacamata merah maka akan tampak merah, begitu seterusnya, lain kacamata lain pula pandangannya.
Yang suka cepat menympilkan, berarti dulu Pramukanya pinter tali-temali
begitulah salah satu cara orang melontarkan pendapatnya, don.
Bisa jadi … lebih cepat menyimpulkan lebih baik … tapi kesimpulan tanpa dasar … bisa ngawur. Yap … jangan sampai nerkesimpulam semena-mena
waaah jadi ngaca
kadang2 memang lidah cepet ngomong
narik kesimpulan seenake dewe
thanks mengingatkan mas
oh ya jadi inget waktu kuliah dulu, lupa apa seminar atau acara diskusi apa gitu.
kan ada sessi tanya jawab sama ngasih pendapat. Setelah si A,B,C,D ngasih pendapat sana sini, trus terakhir si E mengutarakan pendapat panjang lebar, sana sini, habis ngomongin pendapatnya langsung dikontani dosen, “Itu bukan pendapat kamu!! Itu kamu menyimpulkan pendapat orang yang tadi-tadi udah ngomong… enak ajaaaaaaa ngomong pendapat kamu…”
Wakakakaka… jadi mokal deh tuh orang. Emang enak main nyimpul2 terus :p
Iya benar sekali, sepertinya itu bakat manusia ya…takut keduluan menyimpulkan dari orang lain.
Jadi ingat teori tentang EQ (Emotional Question)
wah, tulisan yang sarat kritik sekaligus reflektif, mas don. pola berpikir seperti ini bisa jadi sangat dipengaruhi oleh kultur masyarakat kita yang cenderung abai terhadap substansi permasalahan yang muncul. karena malas melakukan analisis, akhirnya gampang sekali menyimpulkan sesuatu yang belum jelas kebenarannya.
iya juga ya…
aku juga sering mudah menyimpulkan…
ah, makasih banyak mas…
—salam kenal, baru pertama kali masuk blog ini—
segala sesuatu yg terburu2 jadinya gak enak
:)
point tentang blogger ramah itu saya bukan ya kang … hehehehe
Bukan, bukan Anda..:)
Cepat membuat kesimpulan agar lebih cepat ada tindakan penyelamatan baik…namun jika kesimpulannya salah, maka tindakan yang dilakukan akan malah merusak.
Betul, Bu.. Tepat itu…
Kalau di tesis atau disertasi, kesimpulan itu ditaruh di bagian paling belakang, jadi sesudah mempelajari data, menguji apakah datanya valid atau tidak, kemudian menganalisis dengan berbagai alat ukur, uji lagi hasil analisis, baru boleh diambil kesimpulan …
Yup, biar ngga tergesa-gesa dan ngga terlalu cepet pendadarannya yah :)
Ahahaha. Terkadang memang menjengkelkan mas, tapi memang bangsa kita yang reaksioner, medianya reaksioner, mahasiswanya juga sukanya ngangkat isu-isu yang reaksioner. Ternyata lebih cepat belum tentu lebih baik….
Hahaha Anda mmebawanya ke isu tersebut. Boljug :)
arghh ini loe mas yg paling ngk kusuka…terlalu cepat menyimpulkan itu sering sekali terjadi dalam kehidupan sehari-hariku, masalahnya cuma karena anak terkecil-ku yg dianugerahi warna kulit yg puatihhhhh bersih dengan face oriental ya kalao mau dikata kasarnya muka nemplok bapake 360 derajat begitu, mamanya ngk kebagian sedikit pun, jadinya tiap kali bawa dia turun nunggu bas sekolah yg ada disangka maid melulu…tapi yo wess sabar…kadang juga malah kujawabin, mama ini anak lagi ngantor xixixiixixi
Hehehe, sabar Mbakyu. Aku sering dengar cerita yang seperti ini, kenapa kamu ngga ajari anakmu aja untuk yang ngejawab biar skaligus orang yang ngira kamu maid itu malunya nggak kepalang:)
jadi teringat istilah di dalam NLP … the map is not the territory :)