Semua gara-gara PakBob.ID!
Platform informasi yang belum juga dirilis resmi itu dalam satu artikelnya (Chauvinisme Almamater Kampus) mengutip apa yang pernah kuperbincangkan tahun lalu. Waktu itu mereka, ber-beberapa aku nggak inget, mengajakku berdiskusi tentang konsep PakBob.ID ini lewat sambungan telepon internasional.
PakBob.Id
Lalu di tengah obrolan yang menarik, tiba-tiba muncul pertanyaan iseng dari mereka, “Mas, njenengan kok wes ra tau aktif meneh di kumpul-kumpul alumni to?” Kebetulan mereka semua adalah adik-adik angkatanku di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
“Nganu… bosen aku!” jawabku sekenanya.
“Bosen apa bosen?” kejarnya lagi ngeledek. Dari situlah muncul kalimat yang lantas dikutip di artikel PakBob seperti berikut:
Orang yang masih terlalu bangga dengan almamater SMA atau kampusnya, berarti alur hidupnya berhenti di usia 17 atau 25 tahun. Dia tidak move on dari titik tersebut.
Siyalnya lagi, kok ya ada yang baca tulisan PakBob.ID lalu beberapa dari pembaca yang kebetulan juga kawan sealmamater menjawilku lewat WA, “Ana apa, Dab? Apa benar kamu tidak mau terlalu bangga dengan De Britto?”

Ya, aku memang sudah terlalu bangga pada almamater
Ya aku pun lantas menjawab apa adanya.
“Iya, tapi jangan diartikan bahwa ketika aku nggak mau terlalu bangga lantas berarti aku nggak mau membanggakan De Britto. Itu salah besar!” jawabku.
Lalu definisi terlalu bangga itu apa?
Aku tak tahu karena aku nggak mau terjebak dalam kata-kata takutnya nanti dikutip lagi oleh PakBob! Wkwkwkwk!
Tapi aku bisa mencontohkan seperti yang terjadi kepadaku sebelum Agustus 2019, bulan dimana akhirnya kuputuskan sebagai titik dimana aku tak mau terlalu bangga lagi!
Contoh dari sikap terlalu bangga yang muncul dariku dulu adalah sebagai berikut:
Terlalu sering nyanyi mars almamater, Mars De Britto
Mars De Britto memang membanggakan. Baik irama, tempo serta liriknya menggugah. Tapi ada kejanggalan yang terjadi saat aku terlalu sering menyanyikan lagu ini. Kata-katanya berubah bagaikan kerupuk terkena air alias nggembos! Setiap kali mulai bernyanyi, “Akulah putra SMA De Britto…” inginnya cepat-cepat sampai ke “…ialah De Britto contohmu!” lalu selesai!
Terlalu banyak bergabung di WAG “ada ambune De Britto”
Sebelum Agustus 2019, seingatku dulu ada sekitar 20an WAG yang “ada ambune De Britto.” Mulai dari grup angkatan, grup pebisnis lintas angkatan, grup musisi dan banyak grup lain. Kadang aku bertemu si A di grup De Britto yang satu, lalu bertemu di beberapa grup yang lainnya juga. Yang dibicarakan rata-rata juga sama saja, apalagi kalau ada kabar duka, semua… semua grup isinya copy-paste belaka.
Topik pembicaraan yang “De Britto melulu”
Terlalu bangga pada De Britto juga tampak pada topik pembicaraan yang melulu soal itu dan itu dan itu! Misalnya ngomongin kawan yang tinggal di Jogja, lalu ada kawan yang nyeletuk, “Eh, dia itu kayaknya adik kelasmu di De Britto deh, Don!” Atau, ketika sedang ngobrol bersama istri lalu tiba-tiba aku cekikikan sendiri. Istri bertanya ada apa, lalu aku menjawab, “Aku inget waktu SMA dulu… aku begini, begini dan begini…”
Lalu apa salahnya terlalu bangga?
Mandeg! Nggak move on!
Pikiran, perkataan dan liku-laku hidup jadi itu-itu saja. Padahal kapasitas otak ini terbatas, hidup pun demikian, dibatasi. Akan ada berapa bagian dari otak, pikiran dan hidup yang harusnya bisa dipakai untuk memikirkan hal-hal masa kini dan masa depan harus mandeg ke nostalgia masa lalu sih?
Bangga pada almamater? Harus tapi jangan over
Lalu baiknya gimana?
Ya nggak gimana-gimana. Aku tetap bangga pada De Britto kok cuman nggak mau over. Kebanggaan itu wajib dan mutlak. Tapi bagaimana membawa kebanggaan tidak hanya dalam konteks nostalgia adalah kuncinya! Resapi nilai-nilai yang dipelajari waktu itu dan aktualisasikan ke dalam hidup dan kehidupan masa kini hingga nanti.
Jadi ibarat kata jangan hanya bangga karena bisa ikut sekian ratus reuni dan berpuluh-puluh WAG alumni. Banggalah ketika kita mampu menjalankan semangat ‘Man for Others’ setiap harinya meski barangkali hanya sesekali ikut reuni… atau tidak sama sekali!
semua yang berlebihan memang ngga baik yo, mas.. 😆
jangankan almamater, sama suku, agama, dan negara juga ndak perlu bangga dan cinta berlebihan..
di Jerman bahkan mengibarkan bendera tanpa ada event tertentu (peringatan penyatuan Jerman, misalnya) di rumah sendiri bisa dianggap cinta tanah air yang berlebihan, yang bisa menjurus ke chauvinisme dan nasionalisme berlebihan.. orang tersebut bisa dianggap sebagai orang yang menyebalkan..
Jerman sangat traumatis dengan hal ini, makanya ngga pengen warganya “terlalu cinta tanah air”..
Haha, iya. Ada negara-negara yang girap-girap justru ketika nasionalisme nya terlalu tinggi… untung negara asal kita bukan yang seperti itu. Eh untung atau nggak sih? Hahaha…
wahihihi… iki relate tenan ikiii… :D
Wah iya hahahaha…. relate bingitssss