Terkait pernyataan sikap Kolese De Britto, bangga sih tapi?

30 Sep 2019 | Cetusan

Sejak beberapa hari lalu, video pernyataan sikap presidium, direksi dan siswa SMA Kolese De Britto beredar viral. Beberapa kawan men-tag namaku di linimasa bahkan ada beberapa yang mengirimkannya via WhatsApp.

Dalam video berdurasi 2:57 menit itu tampak seorang siswa SMA Kolese De Britto berdiri menyampaikan pesan yang dari penampakan sepertinya diadakan di lapangan sepakbola sekolah.

Secara pribadi aku tak menaruh concern pada poin utama yang disampaikan. Mau ikut demo atau tidak itu adalah hak setiap orang, seperti halnya saat pilpres kemarin, setiap siswa, direksi dan alumni juga pasti bebas-bebas saja mau pilih Jokowi atau Prabowo bahkan golput.

Follower – Leader

Yang membuatku agak mengernyitkan dahi sebenarnya justru bagian akhir dari pidato tersebut. Tentang bagaimana muncul dua istilah yang saling berlawanan: pengikut – pemimpin, follower – leader.

Diangkatnya kedua hal itu seolah membangun dikotomi dari narasi yang dibangun bahwa kalau kamu ikut demo maka kamu follower/pengikut tapi kalau tidak ikut maka kamu adalah seorang pemimpin.

Padahal menurutku persoalannya tidak sesederhana itu. 

Kita tidak bisa mengklasifikasi orang berdasarkan perbuatannya karena tak semua alasan yang melatarbelakangi perbuatan itu muncul karena ikut-ikutan meski barangkali ada banyak alasan yang sama antar-mereka.

Ada yang ikut demonstrasi karena merasa terpanggil memperjuangkan hak-haknya yang terancam dan demonstrasi dianggap sebagai cara terbaik untuk menyampaikan sikap.

Ada yang ikut demonstrasi supaya nggak ketinggalan jaman, ikut rame-rame. Ada yang ikut demonstrasi karena dendam politik pribadinya. Serta banyak lagi  alasan lainnya?

Sebaliknya, ketika seseorang tak ikut berdemonstrasi, alasannya pun tak semacam!

Kolese De Britto jangan terpancing dalam dikotomi nan sempit

Bisa jadi karena mereka menganggap hak-haknya tidak sedang terancam. Bisa jadi mereka menganggap demonstrasi bukan cara yang elegan untuk menyampaikan sikap. Bisa karena takut. Bisa pula karena apatis, serta banyak alasan lainnya lagi?

Nah, dari samudera kepentingan dan alasan yang memiliki begitu banyak wajah itu amat disayangkan jika semuanya lantas diperangkap dalam facade dan dikotomi nan sempit.

Berpikir cerdas, menyatakan sikap secara bebas adalah hal-hal esensial yang dipelajari di De Britto. Sebagai alumni, aku sangat bangga terhadap hal itu. Tapi atas nama kebebasan pula, seharusnya keputusan dan sikap yang lahir itu tidak lantas membuat pendapat kita dan pendapat orang lain jadi terbelenggu dalam wadah-wadah yang sempit nan berdinding tinggi: follower dan leader, pengikut dan pemimpin, kita dan mereka.

Bagi Tuhan dan bangsaku,

DV ?96

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Esensi dari kasus ini menurut saya bukan saja di istilah leader dan follower, tetapi lebih kepada isu yang diangkat dalam ajakan demonstrasi tersebut.
    Menolak ajakan turun kejalan /demo, adalah menolak “cara” sampaikan aspirasi. Yang ditunggu oleh masyarakat luas adalah justru bagaimana cara SMA de britto menyuarakan sikap terhadap isu yg sedang diperjuangkan oleh berbagai elemen “pengajak” demo tersebut. Apa sikap terhadap pruduk hukum /UU yang terindikasi merugikan pemberantasan korupsi, merugikan demokrasi, dll..??
    Apakah menolak, apakah menerima, apakah tidak mau bersikap??
    Leader sejati, tentu tidak sekedar menolak “cara” memyampaikan aspirasi, tetapi memberikan solusi atas cara-cara yang unik, menarik, dan simpatik. Misal lewat lomba karikatur/poster, lomba cipta lagu, dll yang bertemakan “isu yg sedang diangkat” (RUU kontroversial, dll).
    Ditunggu gebrakan selanjutnya dari adek2 tercinta de britto..
    “bagi Tuhan dan Bangsaku.. ”
    AMDG.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.