Jika kalian berlangganan Netflix, cobalah tonton serial yang sedang hot-hotnya jadi pembicaraan khalayak, Messiah. Serial itu menceritakan bagaimana kedatangan kedua Sang Mesias di akhir jaman. Kedatangannya menimbulkan kontroversi di sana-sini. Tapi hingga episode yang kutonton, sepertinya tak ada hal yang lebih monumental dari film itu ketimbang scene saat Sang Mesias berjalan di atas air di kolam Lincoln Memorial Reflecting Pool, Washington DC, Amerika Serikat. Ia melakukannya di siang bolong dan ribuan orang takjub melihatnya.
Murid yang takjub dan takut
Inspirasi adegan itu, jika boleh kutebak, datang dari Kabar Baik hari ini yang ditulis Markus. Di situ diceritakan Yesus yang awalnya memisahkan diri untuk berdoa, menyusul para murid yang sedang berlayar menuju Bethsaida dan mengalami kepayahan dalam mendayung karena angin keras yang datang, yang berlawanan dengan arah laju perahu mereka (sakal).
Kedatangan Yesus tidak dengan cara naik perahu, tidak pula berenang. Ia mendatangi para murid dengan cara berjalan di atas air. Sudah barang tentu para murid pun takjub. Saking takjubnya mereka ketakutan karena merasa yang berjalan di atas air adalah hantu bukan Tuhan.
Ketakjuban muncul sebagai reaksi karena hal yang kita terima melalui indera (termasuk mata) adalah sesuatu yang dirasa tidak sesuai nalar.
Kapan kalian terakhir kali merasa takjub? Terhadap apa?
Aku termasuk orang yang gampang sekali merasa takjub. Misalnya melihat mobil ferrari melaju kencang. Aku takjub! karena dua hal: betapa hebatnya manusia yang bisa membuat mobil ferarri sekeren itu dan betapa kayanya orang yang mampu membelinya!
Membaca berita seorang mahasiswa Indonesia yang ketahuan memerkosa 190 orang di Inggris, aku takjub. Kok tega? Kok sekian lama nggak ketahuan?
Menyaksikan kebakaran hutan yang terjadi di Australia, aku takjub sekaligus amat sedih. Kok bisa sebesar itu?
Melihat seorang gubernur yang masih bisa bersilat lidah saat bencana melanda daerahnya, aku takjub. Kok bisa setega dan sebodoh itu?
Terapi ketakjuban
Memelihara rasa takjub menurutku adalah penting dalam menjalani hidup. Aku menyebutnya sebagai sebuah terapi karena ketakjuban menyadarkan bahwa kita memiliki keterbatasan. Karena kita maklum bahwa diri ini terbatas, maka penyadaran akan penyertaan Tuhan ?yang maha tak terbatas kuasa dan baikNya? menjadi sangat relevan.
Tapi atas nama kemajuan jaman dimana teknologi dan ilmu pengetahuan mendominasi, rasa takjub terkadang mulai luntur dan menipis.
Melihat orang yang bisa sembuh total dari kanker, ada yang berpikir, ?Ya wajarlah! Kan dia punya duit makanya bisa berobat ke luar negeri!? Padahal jika Tuhan tidak memampukan, mau harta segudang, mau berobat ke luar angkasa, kalau tidak sembuh ya tidak akan sembuh.
Menyaksikan pesawat udara terbang dan mendarat, banyak orang berpendapat, ?Ya, wajar! Kan semua sudah diperhitungkan pakai teknologi!? Benar. Tapi pernahkah kita berpikir betapa Tuhan adalah Allah yang memberi kuasa kepada orang untuk mampu berpikir dan berkarya dalam pembuatan dan pemeliharaan pesawat terbang?
Apa jasaku terhadapNya?
Salah satu terapi ketakjuban terbaikku untuk tetap menghadirkan rasa takjub yang barangkali bisa kalian tiru barangkali adalah sebagai berikut.
Setiap aku merasa sombong dan tak takjub, aku berusaha menerbitkan pikiran, ?Apa jasaku terhadapNya??
“Apa jasaku terhadapNya sehingga aku masih boleh merasakan hidup yang penuh cinta dari keluarga dan sesama? Apa jasaku terhadapNya hingga bos dan customer-ku masih percaya atas kemampuanku dalam bekerja? Apa jasaku terhadapNya hingga aku masih boleh menghirup udara padahal aku merasa tak pernah mengongkosi pembuatan udara yang kuhirup secara cuma-cuma? Dan?. apa jasaku terhadapNya? hingga aku masih diberi janji dan harapan bahwa setelah hidup ini selesai, akupun akan mendapatkan keselamatan abadi olehNya? Sekali lagi, apa jasaku terhadapNya??
Sydney, 8 Januari 2020
0 Komentar