Tentang sesuatu yang hilang tanpa sadar

26 Jun 2010 | Cetusan

Sejenak, marilah kita kesampingkan dulu berbagai isu kehancuran lingkungan serta rusaknya tata ekosistem alam ini, lalu melongoklah pada diri kita sendiri, adakah kebiasaaan-kebiasaan tradisional yang tanpa kita sadari juga telah mulai rusak, hancur bahkan terbenam?
Beberapa waktu lalu aku mendapat pekerjaan baru di sebuah perusahaan global yang cukup punya nama.
Uniknya, satu hal yang tak kusangka kutemui adalah adanya keharusan untuk mengisi form laporan kerja harian yang harus diisi secara manual setiap harinya.
Yang kumaksud manual adalah laporan yang harus menggunakan pena, ditulis dengan tangan dan bermediakan kertas.
Dua hari pertama, bekerja dengan sistem pelaporan seperti itu, pada akhirnya membuatku sadar bahwa aku telah kehilangan ‘feel’ untuk menulis ‘tradisional’ seperti yang kusebut di atas itu. Tulisan tanganku, yang ketika SMP, sering dipuji guru sebaga tulisan indah itu kini telah kehilangan taji dan pamornya.
Inkonsistensi penulisan karakter adalah sesuatu yang dominan dalam laporan-laporan yang kutumpuk setiap sore menjelang pulang kerja itu.
Misalnya ketika menuliskan huruf “A”, aku bisa tiba-tiba menggunakan huruf kapital di tengah-tengah kata.
Atau ketika menuliskan huruf “g”, aku bisa mendadak menggonta-ganti ‘ekor’nya dengan pola latin yang melingkar dan menyambung ke sisi kanannya, dan terkadang tidak.
Aku juga seperti tak bisa menjaga ritme sinkronisasi kerja otak dengan kecepatan tangan dalam menulis.
Ketika aku telah menyimpan kata “sesungguhnya” di otak, saat menuliskannya, karena kecepatan tangan yang terbatas, aku lantas menorehkannya jadi “sesngghna”
Lalu yang kutemui adalah frustasi. Bayangkan, menuliskan laporan di sore hari menjelang pulang dengan perasaan yang sudah tergesa-gesa namun tetap harus menjaga kemudahan baca bagi si pembaca laporanku itu adalah sebuah perjuangan tersendiri.
Kupikir semua kesulitan ini harus kualamatkan kepada si penyebabnya: mesin ketik alias keyboard!
Lebih dari empat belas tahun, dalam sehari-harinya, aku telah meninggalkan tulisan tangan dan larut dalam kenikmatan menulis menggunakan piranti keyboard yang terhubung ke komputer.
Aku tinggal mengetuk-ketukkan jari ke atas tombol-tombol huruf, menumpahkan semua hal yang harus diketik tanpa takut pada sinkronisasi yang ‘gagal’ antara otak dan jari, tanpa takut pula pada inkonsistensi penulisan karena kalaupun salah, tinggal arahkan kursor ke letak kesalahan, tekan tombol “Delete” dan habis perkara!
Di sisi lain, sebenarnya aku menyadari bahwa semua ini hanya menyoal pada kebiasaan dan keterbatasan kita untuk menerima begitu banyak hal yang harus dibiasakan dalam waktu yang bersamaan.
Andai mulai kemarin, sejak masuk kerja pertama hingga taruhlah lima tahun ke depan aku meninggalkan keyboard dan mengisi pekerjaan dengan menulis tangan, bisa kupastikan bahwa berbagai macam kendala yang kutemukan akan kukalahkan dan aku akan bisa kembali menulis indah seperti ketika SMP dulu. Sebaliknya, kemampuan mengetikku yang selama ini kurasai begitu cepat pasti akan melambat dan sesekali jari ini akan gawal menebak dimana letak tombol “D”, “O”, “N” dan sebagainya.
Tapi, jelas hal itu juga tak mungkin karena ketrampilan yang kukuasai dan ku ‘jual’ hingga saat ini mengharuskanku untuk tetap mengetik menggunakan keyboard ketimbang menulis tangan.
Lantas mana yang harus kita lestarikan?
Hey, hidup ini kan perkara pilihan, bukan kehendak yang harus selalu memaksakan untuk melestarikan semuanya!
Selamat berakhir pekan!

Sebarluaskan!

17 Komentar

  1. musti sering2 nulis outline pakek buku don hehehehe…
    kamu tahu, anak sd sekarang saja sudah kenal keyboard bisa protes sama mamanya gini : ” kan ada keyboard, kok musti tulis tangan segala!?”
    nah loh…! hahahaha…!
    sampai-sampai perlu waktu cukup lama membiasakan anak era digital yang baru masuk SD (tapi sudah bisa ngetik di keyboard) untuk menulis dengan tangan. temanku sampai memaksakan anaknya menulis surat untuk dia setiap hari dan wanti-wanti : “no tuts! use your hand, pencil, and paper!”
    terus disambung, sudah ditulis, masukin amplop, pakai perangko, kirim buat mami ya hihihi… (biar anak2 kecil sekarang tahu selain email tuh ada pos tradisional yang mengharubiru nilai nostalgianya kalau disimpan)

    Balas
  2. Aku juga lumayan sengsara kalau harus bikin essay di dalam kelas…. baru 1 halaman doang, jemariku sudah njarem kabeh… -_-;
    Ada juga pernah sang Guru memberikan tugas essay, yang kalau diselesaikan di dalam kelas, tulisan tangan, akan mendapatkan 10 point extra. Sedangkan kalau dibawa pulang (komputer), nilainya dibikin normal lagi, dan jumlah halamannya ditambah 2 halaman :D
    Dan aku memilih untuk bawa pulang, huhuhu. Capek banget pake pena sekarang.

    Balas
  3. Itu cuma masalah kebiasaan, Bro…entar juga biasa lagi nulisnya.
    Dulu aku juga penganut tulisan indah. Tapi konsekuensinya, kecepatan menulis jadi rendah karena menulisnya kayak seniman Bali lagi mengukir patung :-)
    Belakangan aku menganut prinsip: substance over form. Yang penting adalah substansi dari yang kutulis, bukan keindahannya, dan delivery output tulisanku bisa lebih cepat. Coba perhatiin teman-teman bule mu, Don… pasti tulisannya acak adul. Bahkan tulisan paling jelek dari orang Indonesia pun mungkin lebih ‘indah’ dari tulisan mereka kan? Hehehe… Tapi orientasi orang bisa beda-beda kan Bro…

    Balas
  4. Aku juga kayaknya kalo nulis tangan udah gak konsisten, bener…Huruf A bisa macam-macam, seperti yang kamu bilang hehe… Smoga bisa membiasakan diri dengan lebih baik, pastinya bisaaa hehehe…

    Balas
  5. setuju! untungnya dalam pekerjaanku, masih pake tulis tangan dikit-dikit, jadi kemampuan menulis tidak menghilang begitu saja. wkwkkwwkkw

    Balas
  6. Hahaha… untungnya saya belom kena sindrom seperti ini hehe…. :D
    Nulis pake pena oke, pake keyboard juga oke. No problemo….
    cuman males nulis pake pena soalnya bikin capek and pegel jari2 tangan hehe…. prefer keyboard ;p

    Balas
  7. Aku selama off jadi guru, jadi jarang nulis… kadang kangen nulis di whiteboard/papan tulis lagi, atau nulis rapor…
    tapi aku masih punya kebiasaan nulis dengan pena dan kertas note “agenda”-ku tiap hari hehe… kadang agenda itu juga meleset, tapi tetep aja kutulis tiap hari hehe… :)
    Tentang tulisan indah… dulu di SD ada tuh pelajaran menulis indah, dan kuperhatikan, tulisan wong Indonesia bagus-bagus lho, mungkin karena terbiasa mencatat materi pelajaran.
    Seperti kata Anderson di atas, tulisan bule pancen elek-elek hehehe… :)

    Balas
  8. Yang saya selalu coba adalah menulis dengan huruf besar di flip chart..karena muridnya sering bilang… tulisan saya masih terlalu kecil. Entah kenapa, tulisan tanganku kecil-kecil (sesuai orangnya???).
    Don, aku masih suka menulis, kalau ada meeting kan mesti buat notulen..dan konyolnya selesai meeting, anak buah bilang…”Bu, pinjam agendanya, untuk buat notulen”…hahaha. Soalnya tulisanku dikenal lengkap dan cepat….
    Soalnya saya lebih bisa konsentrasi jika mendengarkan ceramah, meeting dengan menulis…

    Balas
  9. Ini benar-benar postingan yg menarik Don! Sumpah! Kok bisa ya kamu dapat ide2 keren tp dituangkan dgn gaya menulis yg keren. Ah aku lebay ga hahahaha…
    Aku juga merasakan itu, kehilangan kemampuan menulis dengan tangan. Saat menulis namaku dgn huruf kapital, bisa tiba2 huruf terakhirnya malah jd huruf kecil. Makanya aku malas kalau disuruh isi formulir ini itu. Teknologi memang acap membuat kita sombong dan bangga dgn kemudahannya, tp begitu dihempaskan ke dunia tradisional (yah let say menulis tangan itu tradisional), kita jd macam org bodoh. Aku bahkan sudah tidak ingat lg ciri tulisanku spt apa. Menggambar saja jg sudah ga beres, pdhl dulu aku lincah menorehkan pinsil u/ gbr sketsa baju. Ahhhh mungkin kita hrs pintar2 menselaraskan antara kemajuan teknologi dgn hal2 tradisional kita.

    Balas
  10. Betul sekali atas apa yang Mas Dony ungkapkan,dulu waktu SMA saya nyepeda Onthel dan bisa ngebut ….sekarang begitu ada alat yang berpremium…jangankan naik sepeda…pegang aja enggak pernah.
    Giliran alat itu mogok aduh…jadi kikuk dech.

    Balas
  11. bagi saya sih ndak ada “efek negatif” seperti itu, karena tulisan tangan saya sejak SD memang sudah termasuk yang dicap punya cita2 dokter, hahaha

    Balas
  12. aku yen nulis nota penjualan bakulku jik nganggo tulisan tangan…jadi seng tak print blanko ne wae…gen customer ku ngerti betapa indahnya tulisan tangan bakul tempat dia membeli klambi…. ;) xixixiixixixix….

    Balas
  13. Alhamdulillah dulu waktu masih kerja walopun hampir sebagian besar laporann menggunakan komputer, tapi bos minta laporan mengenai apa yang kita kerjakan selama seminggu itu menggunaka tulisan tangan, yang ditulis pada form yang setiap minggu dibagikan oleh admin. Jadi bisa dibilang gw masih terbiasa untuk menulis dan alhamdulillah tulisannya ga kaya cakar ayam hehehe

    Balas
    • Mungkin karena saya guru, Om, sehingga menulis secara “manual” itu tetap dapat kulakukan dengan baik. Sehingga, beberapa tahun terakhir ini saya dapat pekerjaan menulis ijazah saat akhir tahun pelajaran. Hahahaha…
      Salam kekerabatan.

      Balas
  14. berbicara tentang tulisan tangan mas, ada kejadian lucu disini dua hari yg lalu. Waktu teamku minta approval untuk pekerjaan di tower mereka diharuskan mengisi form JSA (job Safety analyst) dengan tangan…hihihihi padahal mereka udah bawah yg rapi :D
    well…memang ada perusahaan yg mengharuskan menulis tangan tujuannya satu kok biar gak copy paste :P

    Balas
  15. wah kalo di china juga seringnya gitu, lebih parah lagi malah. Banyak anak2 yang sering lupa cara nulis hurufnya, saking dah kebiasanya ketik di komputer ma kirim sms. hehehe..ternyata kemajuan teknologi ada dampak buruknya juga ya..

    Balas
  16. gila lo keren bangettt
    salut ama lo coi

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.