Ada baiknya kita sudahi saja polemik tentang palang salib yang digergaji di sebuah makam yang menggemparkan sejak sore tadi.
Kenapa?
Pertama, mereka sudah mencapai kesepakatan untuk berdamai.
Kedua, jenasah memang dimakamkan di makam khusus umat beragama lain. Masih mending boleh dimakamkan di situ karena kalau dibalik, pada makam Katolik pun, sejauh yang kutahu, ya hanya untuk tempat peristirahatan umat Katolik. Jadi, bersyukurlah karena masih boleh ?menumpang? kan??
UPDATE: (19 Desember 2018)
Terkait poin kedua di atas dan menimbang begitu banyak masukan/pertanyaan dari pembaca tentang apakah makam itu adalah makam khusus umat beragama lain atau makam umum, aku memutuskan untuk menampilkan beberapa link situs terkait pemberitaan ini sebaga upaya untuk memberikan perimbangan. Kalian bisa baca di sini (sumber dari Tempo) juga dari Geotimes Indonesia (klik di sini) serta??Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan yang bisa kalian baca di sini..
Ketiga, masa ini adalah masa yang rawan karena masuk tahun politik. Sekalinya salah goreng bisa kemana-mana dan dimanfaatkan pihak-pihak yang haus akan kuasa untuk menjatuhkan rezim yang tak layak dijatuhkan hanya karena kasus seperti ini.
Keempat, apa yang bisa kita kontribusikan dengan berteriak-teriak menuntut keadilan di social media, selain menghabiskan bandwidth internet saja?
Kelima dan barangkali yang paling penting tentang salib yang digergaji. Mari pahami dari sisi syukur. Bagi kita orang Katolik, sepanjang hidup adalah memanggul salib hidup. Ketika seorang mati, ia kita yakini telah mendapatkan kedamaian abadi. Di sana tak ada lagi pemanggulan salib karena tak lagi ada beban yang harus dipanggul. Jadi mari kita pandang salib yang digergaji sebagai sebuah simbol tanda usainya masa memanggul salib hidup.
Gitu ya?
Sydney, 18 Desember 2018
Memikul Salib memang tidak mudah. Namun beruntung saya tinggal di kampung yang masih menjunjung tinggi tenggang rasa, tepo seliro, toleransi antar agama.
(Sedikit berbagi mas) Saya masih ingat dulu waktu ibu saya meninggal, doa tirakatan diadakan di 2 tempat dengan tirakatan tetangga2 muslim dan tirakatan lingkungan katolik (gabungan umat Khatolik dari beberapa kampung). Di kampungku, kami yg Khatolik hanya 4 KK atau sekitar 4% dari total jumlah KK. Dan kami sekeluarga sangat-sangat terharu dengan kedatangan tetangga2 kami yg Muslim.
Indahnya keberagaman yo Mas. Tuhan memberkatimu dan juga semua tetangga-tetanggamu…
ora mutu tulisan ini, penulisnya kurang update mas dan terkesan pasrah terhadap situasi tekanan masa yang tidak toleran.
Hehehe… makasih atas komentarnya. Tuhan memberkatimu.
Berkah Dalem
Yang menganggu buat aku pribadi itu kok gak boleh sembahyang di rumah sendiri, bahkan saat dimakamkanpun tanpa upacara/doa karena gak boleh. Itu.
Nek masalah salib nya sih bisa dipahami dan dimaklumi, tapi masalahe sembahyange kui sek aku merasakan itu kebangetan. Tulisane Iqbal yg di geotimes menurutku ya meleset, kok dibandingkan dengan di Trunyan atau Toraja, nak yo ra nyambung.
Anyway aku ya sepakat utk tidak memviralkan ini, mesakke keluarga yg ditinggalkan dan juga ada hal lain yang aku gak bisa tulis di sini (iki cerak omahku jdaku reti lah hehe)
Kita semua turut prihatin, Yu. Maturnuwun komentarnya…