Martin Place adalah titik nol kilometernya-Sydney. Tempat dimana produsen-produsen busana dan aksesoris pendukung kelas dunia memanjakan konsumen hingga ke ujung-ujung syaraf kepuasan. Menjelang Natal, seperti halnya pusat perbelanjaan lainnya, di sana pun dipajang pohon natal berukuran besar, menjulang dan banyak orang menikmati pemandangan itu ditemani paduan suara yang mengalun lembut menyanyikan Natal, merpati-merpati yang terbang rendah ditingkahi anak-anak kecil yang berlari-larian mencoba untuk mengejar lalu menangkapnya.
Ingatanku tiba-tiba melayang ke pohon natal milik nenekku yang dulu selalu dipasang di almari sebelah-menyebelah dengan televisi hitam putih 14 inchinya.
Pohon natal itu tingginya tak lebih dari 75 cm dan setiap Natal pada sekitar akhir 80-an hingga pertengahan 90-an, ketika anak terkecilnya yang adalah pamanku, Kokok, masih tinggal di situ, pohon itu dirangkai sejak awal Desember hingga awal Januari tahun berikutnya. Selama kurang lebih sebulan, ia terpasang, terpajang.
Tak ada yang terlalu istimewa dengan pohon natal itu. Tak ada hadiah yang diletakkan di bawahnya, hiasan yang tergantung di dahan-dahan plastiknya pun ala kadarnya, hanya serangkai lampu ?byar-pet? warna-warni yang dililitkan di badan pohonnya. Bahkan untuk memberi kesan ?snow?, Omku yang sekarang tinggal di Purwokerto itu memilih menggunakan kapas yang diambil dari laci meja rias ibunya, Nenekku.
Tapi pohon natal yang mungil itu selalu menjadi saksi keriaan anak-anak nenek yang datang ke rumah itu untuk merayakan keceriaan Natal dan akhir tahun bersama-sama.
Mulai dari yang tertua, keluarga Mamaku yang tinggal di Kebumen waktu itu. Kami biasa datang lebih dulu, ?Tergantung liburannya Donny, Bu!? kata Mamaku setiap ditanya Nenek kira-kira tanggal berapa kami akan tiba di Klaten pada liburan Natal tahun itu dan biasanya kami sudah sampai di Klaten pada awal tanggal 20-an, atau lima hari menjelang Natal.
Lalu anak kedua Nenek, Tanteku (alm) Iin, biasa datang bersama suaminya, Om Agus dan kedua anaknya yang waktu itu masih balita, Chyntia dan Aditya. Mereka datang dari Jakarta, dan biasanya datang juga tanggal 20-an bulan Desember.
Anak ketiga Nenek, Om Momok, karena ia tinggal di Solo, ?sepelemparan batu? jaraknya dari Klaten, malah biasanya tak pernah menginap di Klaten meski ketika pagi beranjak siang, bersama istri, Bu Yani dan anak sulungnya Ndaru (waktu itu adiknya, Ucas belum lahir), telah berada di Klaten untuk sorenya pulang kembali ke Solo, selalu seperti itu.
Anak keempat, Tante Suzanna dan anak kelima Nenek, Tante Yohanna, keduanya masih ?single? waktu itu keduanya biasa datang bersamaan dari Jakarta datang sekitar tiga hari sebelum perayaan Natal.
Sementara Si Bungsu yang biasa memasang pajangan Pohon Natal itu, hingga sebelum melanjutkan studi ke Purwokerto tentu ia berdiam di rumah, namun ketika ia telah pindah ke Purwokerto, biasa ia datang pertengahan bulan Desember ketika libur semester tiba.
Sebagai sebuah keluarga besar, kami benar-benar menyatu. Terlebih karena suasana menjelang dan sesudah Natal, ada beberapa anggota keluarga yang berulang tahun diawali denganku yang berulang tahun pada tanggal 20 Desember, lalu Om Agus pada 22 Desember (beberapa tahun berikutnya, Adelia, anak Tante Suzanna pun lahir pada tanggal yang sama) serta Tante ?Yohanna yang berulang tahun pada 28 Desember, maka keriaan tak hanya melulu seputar perayaan Natal saja, setiap dari kami yang berulang tahun toh memiliki ?Natal? pada tanggal-tanggal yang kusebutkan tadi.
Pagi hari diawali dengan sarapan di meja makan yang bisa berlarut-larut lamanya. Tentu tak sekadar makan putu mayang dan klepon gurih buatan Bulik Parni, istri Mas Sarjoko yang telah dianggap ?anak? oleh Nenek, ?tapi juga ngobrol menceritakan apa saja.
Mamaku bersama adik-adik dan menantunya seperti saling berebut cerita sementara Citra, adikku, beserta sepupu-sepupunya bermain sendiri sementara aku yang usianya jauh lebih tua ketimbang sepupu-sepupuku lainnya tapi juga tak seusia bahkan dengan Om Kokok, paman terkecilku, memilih untuk main dengan anak tetangga di luar rumah.
Aku lebih ?tune in? untuk demikian karena anak-anak tetangga semacam Agus, Cicuk, Gower, Adi, Dani dan yang lain adalah kawan sepermainan sejak kecil, sejak lahir hingga sebelum tahun 1984, saat Papa memutuskan memboyong Mama dan aku (waktu itu Citra belum lahir) ke Kebumen.
Tahun 1998 akhirnya Papa memutuskan untuk memboyong Mama,dan Citra kembali ke Klaten, tinggal di rumah Eyang hingga Papa meninggal April 2011 silam, sementara aku semenjak 1993 telah merantau studi di Jogja. Kini rumah Klaten didiami Nenek, Mama dan Citra, adikku sementara aku menetap di Sydney, Australia sejak November 2008.
Selepas sarapan biasanya disambung dengan ?makan ringan? sekitar pukul sepuluh pagi saat tukang jajan ?tenongan? datang. Tenong adalah jenis alat pengangkut makanan yang digendong seorang ibu menggunakan selendang. Hampir setiap pagi, tukang ?tenong? ini selalu datang ke rumah dan ketika musim Natal, alangkah bahagianya dia karena ia tak perlu berkeliling terlalu lama mencari untung, nyaris semua jajanannya selalu laku laris manis di rumah Nenek.
Setelah kenyang sarapan plus makan tenongan, para tante dan om biasanya ber-acara sendiri-sendiri. Om Agus dengan istrinya, Tante Iin misalnya, mereka beserta anaknya Cyntia dan Aditya lebih senang menghabiskan hari untuk jalan-jalan di Jogja maupun Solo sedangkan aku dan Mama serta Citra memilih di rumah karena kami sudah terbiasa untuk jalan-jalan di Jogja waktu itu.
Om Momok, beserta istri dan anaknya mereka juga rajin menjenguk rumah mertua yang berada di Delanggu, sekitar 20 kilometer sebelah timur kota.
Tante Suzanna, Tante Yohanna dan Om Kokok lain lagi. Mungkin karena waktu itu mereka masih muda, masih banyak teman yang bisa dikunjungi yang kebetulan juga sedang sama-sama berlibur Natal, maka mereka pun pergi sendiri-sendiri di areal kota.
Ketika malam Natal tiba, biasanya kami ke gereja bersama-sama.?Jadwal misa Natal biasanya jam setengah delapan malam tapi sejak setengah lima kami telah antri mandi dan bersiap serta berdandan.
Dulu waktu Eyang buyut masih ada, selama kami semua ke gereja, rumah hanya menyisakan Eyang buyut karena beliau muslim, ditemani seorang penjaga malam yang usianya nyaris sama dengan usia nenekku, anak eyang buyutku itu.
Ramai-ramai kami berjalan kaki menyeberangi alun-alun ke arah Sidowayah lalu ke Gereja St Maria Assumpta mengikuti Misa Ekaristi Malam Natal. Mengenakan pakaian-pakaian terbaik kami (biasanya baru pula), kami mencoba sekusyuk mungkin mengikuti jalannya misa yang biasanya berlangsung sangat lama sekitar 3 jam! Saking bosannya, aku lebih sering tertidur dan kulihat begitu juga dengan sepupu-sepupu yang lain. Bangun-bangun paling ketika Malam Kudus atau Dalam Gua Dingin dinyanyikan, itupun sekadar mencocokkan nada yang diambil koor Natal dengan yang beberapa hari sebelumnya kumainkan bersama teman-teman sekelasku di sekolah. Tak lebih.
Menjelang tengah malam, selepas misa usai kami kembali jalan pulang dan sesampainya di rumah biasanya kami disambut (alm) Papa yang baru datang dari Kebumen. Papa waktu itu masih belum menganut Katholik maka ia tak ke gereja. Tapi bukan karena itu ia memilih datang terpisah dari kami, tapi karena memang saat itu libur Natal tidaklah selonggar sekarang di Indonesia. Dulu, libur Natal, bagi Papaku yang pegawai negeri, adalah benar-benar ketika tanggal ?merah?, 25 Desember saja.
Tak ada lagu-lagu Natal yang khas seperti yang sekarang banyak diputar di pusat perbelanjaan ataupun iklan-iklan produk di televisi swasta. Namun meski hanya diiringi hujan yang turun serta suhu udara yang mendingin, malam Natal biasanya kami tutup dengan sederhana. Kami masuk kamar kami masing-masing dan membiarkan Pohon Natal mungil itu menyala di ruang makan, di atas almari di samping televisi dan sayup-sayup kudengar Eyangku memutar radio siaran wayang kulit dari kamar sebelah…
Tanggal 25 Desember pagi, biasanya kami sibuk menerima tamu dari para tetangga yang sibuk menyalami kami dengan Salam Natal. Mereka tak lain adalah ibu dan bapak teman-teman mainku dan kamipun reriungan bersama.
Untuk hidangan, Nenekku menyembelih ayam peliharaannya di pagi hari, lalu mengurapinya dengan bumbu opor dan dihidangkan begitu saja dengan nasi hangat di atas meja. Lalu Mbak Parni dan Mas Sardjoko turut bergabung mereka membawa masakan-masakan andalan mereka yang gurih, manis dan legit khas Jawa.
Menjelang sore, Papa pamit pulang ke Kebumen untuk bekerja. Ia kembali lagi pada menjelang tahun baru untuk sesudahnya pulang bersama kami ke Kebumen dan beraktifitas seperti biasa.
Sisa hari di setiap akhir tahun sesudah Natal kami habiskan dengan tetap bersukaria meski Natal telah beranjak pergi. Bahan obrolan seperti tak pernah habis dari Mama dan adik-adik, adik ipar serta keponakan-keponakannya. Selalu ada hal yang bisa jadi perbincangan konyol ataupun serius dan barangkali kalau istilah ?gosip? waktu itu telah awam digunakan, itu adalah kata yang tepat untuk melukiskannya.
Malam tahun baru pun tiba. Papa kembali datang ke Klaten dan bersatu dengan seluruh anak dan menantu serta cucu Nenek menyambut tahun baru.
Tak ada kegiatan yang harus dituntaskan di luar rumah ketika pergantian tahun tiba. Selain karena Klaten adalah kota kecil sehingga tak ada hiburan yang digelar kecuali pertunjukan ketoprak atau wayang kulit semalam suntuk di alun-alun, kami juga merasa tak ada salahnya menikmati malam pergantian tahun dengan ?lek-lekan? (begadang -jawa) saja lalu saling memberi ucapan selamat tahun baru kemudian tidur.
Tanggal 1 Januari sore hari adalah saat yang paling tidak ditunggu-tunggu. Karena saat itu biasanya kami semua berpisah untuk pulang ke kota kami masing-masing. Tante-tante yang tinggal di Jakarta, mereka pulang menumpang kereta senja sementara aku dan Mama, Papa serta Citra naik kereta Purbaya (Kereta api jurusan Purwokerto Surabaya dan sebaliknya).
Kami berpisah di bibir pagar rumah Eyang untuk selalu berjanji mengusahakan kembali datang pada Natalan akhir tahun berikutnya.
Lalu sesudah kami pergi semua, rumah hanya menyisakan Eyang, Eyang buyut ketika beliau masih ada serta Mas Kokok yang tinggal di situ. Mas Kokok pernah bercerita tak lama dari sekarang ini bahwa sore itu adalah sore terberat yang harus dihadapinya di setiap awal tahun datang.?Ia harus berpisah dengan keluarga kakak-kakak tercintanya, dan bersiap dengan rutinitas hariannya seperti biasa dan tinggal dengan orang-orang yang sepanjang tahun ia jumpai pula.
Menjelang malam, masih katanya, ia pun mematikan lampu ?byar-pet? warna-warni yang dililitkan di pohon Natal nan mungil, menggulung kabelnya dan menempatkan ke kardusnya kembali. Mencabuti dahan-dahan plastik pohon Natal itu, membersihkannya dengan kain lap basah, melepas hiasan-hiasan yang menempel, merawat batang pohonnya, lalu membungkus rapi semuanya dan menyimpannya di bawah almari untuk setahun kemudian dinyalakan kembali.
Kini, sekitar dua puluh tahunan sesudah segala ritual sederhana nan membahagiakan sekaligus mengharukan itu berlalu, setiap memandang pohon Natal dimanapun ia berada dan semegah apapun ia adanya, aku selalu ingat tiga hal, pohon natal nenek, kebahagiaan dan kebersamaan.
Ternyata kebahagiaan itu tak mau kompromi dengan semegah atau sesederhana apapun pernak-pernik perayaan karena disitulah tantangan kita untuk mampu menghadirkan rasa bahagia itu sendiri.
Adapun Natal, mau dirayakan dengan keluarga besar ketika mereka semua masih ada bersama kita, masih mampu dan mau menyempatkan diri untuk berkumpul bersama ataupun setelah sekarang beberapa di antaranya telah meninggalkan kita untuk selamanya ataupun ketika masing-masing kita telah terpisah jarak dan waktu beserta urusan-urusan masing-masing, kita pun ditantang untuk tetap bisa merasakan kebahagiaan dan kebersamaan yang meski terpencar namun tetap memaknai syukur atas Natal.
Dari Sydney,
aku, Donny Verdian, Joyce, istriku, dan Odilia, anakku, ? kami menyampaikan Salam Natal kepada kalian semua pembaca blog ini yang telah begitu setia menjadi sahabat.?Penuh cinta dan damai sukacita untuk kalian beserta orang-orang terdekat kalian semua.
Tuhan Yesus memberkati!
Have a good Christmas mas DV
itu tempat penjual makanan di Klaten yang digendong itu tenggok atau tenong, kalau tidak salah tenong adalah yang diletakan di kepala :)
cmiiw :)
Makasih ucapannya, Mas…
Saya lupa apa dia nyunggi di kepala atau digendong.. pokoknya Simbah saya nyebutnya ‘Tenongan’ :)
Sugeng Riyaya Mas DV, semoga makin sukses dan eksis :D.
Salam buat keluarga di sana, terutama buat Odilia, cepet gede ya dek :)
Maturnuwun, Ris… Sukses selalu ya!
selamat natal bung…
Suwun!
Ya, sangat setuju Dab…
Sing nyetel kenceng lan kenhone urip ya mung awake dhewe…
Kenikmatan dan kebahagiaan itu memang bukan karena magrong2 dan matikel-tikel #kelingansimbok
Sugeng Mengeti Dinten Natal…
Maturnuwun ucapannya :)
Selamat Natal
Selamat kelahiran Yesus a.k.a Nabi Isa
Hari untuk mengingat kembali kelahiran kita masing-masing, keluarga inti kita, dan keluarga besar kita seperti para gembala dan hewan-hewan di kandang Yesus. Mengingat kembali kemiskinan kita tapi penuh damai.
Aku sejak pindah ke Tokyo 19 th lalu, paling-paling memperingati Natal bersama keluarga 2-3 kali saja. Mempunyai ritual yang mirip denganmu setiap Natal, tapi yang mau tidak mau harus berubah sesuai dengan keadaan setiap tahunnya. Dan aku percaya meskipun tak bisa hadir secara fisik, peristiwa Natal itu akan selalu hadir dalam hati kita masing-masing.
Setelah chat denganmu, aku tidak bisa pergi ke misa jam 4 sore. Karena mendadak aku demam menggigil serta tenggorokan sakit. Di luar 5 derajat sehingga aku tak berani menembus dinginnya sore itu dengan kondisi tidak fit.Jadi aku tak ke misa tahun ini, dan itu amat menyedihkanku. Natal bersama keluarga di Jakarta memang Natal yang terbaik!
Ah, Tuhan pasti memaklumkan :)
Natal, sama halnya hari raya agama lainnya memang menggairahkan ketika diperingati bersama keluarga…
Hahhaaa..
Fotomu tambah jembar lapangan golf-e, Mbah.. :)
Sing penting ngganteng, Le :)
*pentung2 Om DV* Tanggung jawab! Aku yo dadi inget Klaten, kiii…
Ingat pas Natal pasti kebagian di dapur dan cuci piring, sementara yang lain ke Gereja Maria Assumpta [juga]. Pulang-pulang, balik makan-makan lagi. Keketawaan nggak ada habisnya sama sepupu-sepupu..
Aduh, kapan ya ngumpul lagi di rumah Klaten. :-(
Met Natal, Om! Odilia lucu ya, kayak bule. :P
setuju, mbak Odilia mirip bule … *Salam kenal mas :)
Maturnuwun :)
@Isnuansa: ya, Klaten memang kota indah dengan sejuta kenangan ya :)
Met Natal aza Ohm Verdian, salam….
Selamat natal Mas :) Anaknya lucuuuuu banget!
Selamat Natal!
Damai di hati
Damai di bumi
Selamat Natal Don, Joyce, juga Odi :)
semoga kita makin bisa mengasihi sesama dalam perbedaan dan tentunya mengasihi Tuhan yang sudah terlebih dulu mengasihi kita.
duh, terpaku aku membaca kisah ini.. keren sekali..
btw selamat natal pak :)
Merry Xmas Don… salam buat istrimu dan your lovely beauty daughter…
Ceritamu kali ini lebih panjang dari biasanya, but as always dari dv.net …. cerita kenangan seperti ini menciptakan kehangatan sendiri saat membacanya….
Selamat Natal Don..semoga Natal membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi Donny sekeluarga.
Dan karena ada libur bersama, maka libur akhir tahun ini bukan hanya milik umat Kristiani, tapi juga yang lainnya ikut libur. …asyiik…sama seperti liburan Lebaran yang lalu.
don, selamat natal ya!
natalan di klaten, yang kuingat adalah selat solo. hahaha. walaupun aku hanya beberapa kali saja natalan di klaten, tapi aku ingat guyupnya suasana di sana.
Waaahhh ceritanya keren mas.. penuh dg kebersamaan.. selamat natal yak mas donny :)
Aku ngilang seminggu, smoga belum terlambat ngucap.
Met Natal, OM :D
Koq aku jadi kangen mbahku ya..
http://donnyverdian.net/2007/12/27/natal-lontong-opor-ayam.html
tumbukan permukaan ember dengan tetes air hujan yang bocor hingga ke dalam rumah.
Hingga beberapa saat kemudian aku pun beringsut ke dalam kamar.
Sebelum mata terpejam hingga esok paginya, aku sempat ingin bermimpi tentang sesuatu yang indah.
see? saiki wes didampingi 2 wanita cantik, anugerah yang “mungkin, keto’e” bahkan lebih indah dari rancangan mimpimu yang bermusik tetesan banyu trocoh iku..
Tentang sesuatu yang tak bisa dilukiskan lagi dengan kata maupun lukisan saking indahnya. Entahlah, hari ini telah men-trigger ku untuk ingin bermimpi demikian.
mulakno merancanglah yang lebih indah lagi, mimpimu manjur kui, kalau ra kakean dosa mungkin gak perlu nunggu 5 taun malahan…
Selamat Natal bro, damai di bumi, damai di hati.
Saya dibesarkan di keluarga yg plural juga, eyang juga ada di klaten, di gantiwarno, dekat dengan stasiun delanggu. Membaca cerita ini, tanpa sadar mata berkaca2, mendadak flash back masa kecil di gantiwarno… Tutur tulisan sangat bagus… Salam