Tentang ketergantungan kita terhadap Tuhan

10 Mar 2018 | Kabar Baik

Hari ini Yesus memberikan satu wacana menarik tentang bagaimana Allah memandang kebenaran seseorang.

Kaum Farisi dan ahli Taurat yang selama ini dipandang umat sebagai sosok yang dekat dengan Tuhan karena mengajarkan Taurat malah tak dibenarkan. (Lukas 18:9-14).

Kenapa? Karena mereka sudah merasa tak perlu Tuhan!?Mereka sudah merasa cukup dengan telah mengajarkan Taurat, tidak memungut cukai, tidak merampok, tidak lalim dan tidak berzinah, tak lupa untuk berpuasa dan selalu membayar perpuluhan.

Sementara di pihak lain, si pemungut cukai dibenarkanNya! Tentu bukan karena dosa-dosanya melainkan karena ia sadar ia tergantung pada Tuhan! Ia mengalami ketergantungan terhadap Tuhan. Hal itu terjadi karena ia merasa dirinya lemah, karena ia tak bisa kuat dan hebat tanpa belas kasihNya!

Jadi, kalau gabener yang satu itu terkenal dengan ucapan, ?Intinya adalah keberpihakan!?, kali ini mari kita bilang bahwa untuk dibenarkan olehNya, intinya adalah ketergantungan!

Bagaimana kita memiliki kesadaran bahwa kita tak bisa hidup tanpa bergantung kepadaNya. Kita tak bisa selamat tanpaNya dan kehadiran Yesus semata untuk membuka kesadaran kita akan hal tersebut.

Kedatangan Yesus untuk menyatakan bahwa BapaNya bukanlah sosok yang tak bisa digelantungi karena BapaNya adalah sosok penuh cinta yang tak mau ada satupun dari kita yang lepas dari gantungan dan tersesat untuk selama-lamanya.

Hal ini semoga menjadi penyadaran bagi kita terutama saat diri ini sudah mulai merasa sombong dan tak perlu bantuan siapapun, hati-hati jangan-jangan kita juga sudah merasa tak perlu bantuanNya.

Aku adalah sosok yang harus selalu merasa bersyukur karena diberi begitu banyak talenta dan bakat olehNya. Tapi dulu pernah aku merasa bahwa semua itu hadir karena keuletanku dalam belajar dan berusaha. Akibatnya aku jadi sombong, aku jadi jumawa.

Tapi bersyukur aku sadar bahwa apa yang kurasakan itu adalah buah dari besarnya egoku semata.

Titik yang menyadarkanku adalah ketika salah seorang kawan baikku meninggal mendadak. Kekagetan dan kesedihan yang kurasakan saat itu membuatku berpikir bahwa katakanlah talenta dan berkat yang kuterima saat ini adalah karena aku belajar dan berusaha, katakanlah aku menjadi sosok yang paling pandai di dunia, pada akhirnya kita harus menerima nasib bahwa tak ada satu orang pun dari kita yang akan keluar dari dunia ini dalam keadaan hidup-hidup :)

Konsep ?menerima nasib? inilah yang lantas akhirnya menyadarkanku bahwa mau-tak-mau, suka-tak-suka, hidup ini bergantung kepadaNya.

Semakin dalam semakin aku menyadari bahwa bergantung kepadaNya membuahkan kedamaian hati. Tak mudah, penuh tantangan tapi menentramkan.

Jadi, yuk mari kita sama-sama bergelantungan kepadaNya.

Sydney, 10 Maret 2018

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.