Pernahkah kamu merasa betapa banyak hal yang dulu, ketika masih kecil, kita pahami sebagai sebuah kebenaran, namun seiring berjalannya waktu, lambat laun kita menyadari bahwa hal-hal tersebut ternyata salah atau kurang tepat?
Lima sekawan
Kalian tahu dong serial Lima Sekawan karya Enid Blyton, kisah tentang petualangan para detektif cilik – Julian, Dick, Anne dan George serta anjing mereka, Timmy itu?
Nah, aku dulu mengartikan “Lima Sekawan” sebagai “54” karena sekawan dalam bahasa Jawa halus berarti “empat” dan bukannya “sekawan” dalam arti “satu perkawanan”.
Dulu, setiap ada edisi terbaru yang keluar dan kebetulan dibeli oleh salah satu paman, aku selalu menghitung berapa jumlah anggota ‘perkawanan’ itu? “Hmm.. kenapa hanya lima, itupun yang satunya anjing? Kemana sisa 49-nya?”
Dan kalian percaya atau tidak, kesalahpahaman itubaru ?berakhir ketika suatu waktu di sudut toko buku bekas di Newtown, NSW, aku menemukan sebuah buku bertitel, The Famous Five, lalu setelah satu orang kawanku menjelaskan “Ini kan yang kalau di Indo diterjemahkan jadi Lima Sekawan!” Aku manggut-manggut dan mengiyakan, padahal kalau mau jujur, saat itu aku baru tersadar dari sebuah kesalahpahaman yang barangkali sudah berusia lebih dari 25 tahun!
Bumi itu bundar tapi tidak bulat.
Ini perkara yang lumrah sebenarnya selumrah orang-orang dulu yang tak percaya bahwa bumi ini bulat.?Pernah suatu waktu aku mengunjungi pantai bersama Papa dan Mama, Citra adikku belum lahir saat itu. Di tepiannya aku bertanya pada Papa, “Pa, dibalik garis itu ada apa?” aku menunjuk horizon.
“Le, ya nggak ada apa-apa.. ya tetap laut dan laut sampai nanti menyentuh daratan..”
“Daratan apa?”
“Australia!”
“Lha setelah Australia?”
“Ya laut lagi..?”
“Terus?”
“Ya terus melingkar sampainya ke sini lagi..”
“Kok bisa?”
“Karena bumi itu bulat!”
“Nggak mungkin…!”
Aku lantas menjelaskan tentang bentuk bumi menurut versiku sendiri yang memiliki tepian lalu berbibirkan jurang yang tak bertepi… Ah, alangkah mengkhayalnya…
Anak dan kapan tuhan memberinya
Pada satu pesta nikah teman Papa, aku bertanya pada Mama, “Ma, kenapa orang setelah menikah kok punya anak?”
Ia lantas menjawab dengan bijaknya, “Karena anak itu pemberian Tuhan..”
“Hmm.. lalu kapan Tuhan memberikan? Kemana?”
“Ya setelah menikah… ke perut.. seperti kamu dulu juga lahir dari perut Mama, Le” ujar Mama mengusap-usap perutnya.
“Hmm.. maksudku, kapan Tuhan memberikannya? Siang? Sore? Atau malam?”
Mamaku terdiam lama…. ia lalu menjawab, “Hmm.. malam!”
Sekarang, aku manggut-manggut kenapa ‘tuhan’ memberinya malam.. ya karena memang lebih enak ‘menanti tuhan memberi’ itu malam atau setidaknya pagi buta, dini hari! Hihihihi…
“Pribang dibang saku”
Kalian tahu dong lagu Garuda Pancasila yang dulu selalu disiarkan tepat setelah acara Berita Nasional pukul 19.00 WIB selesai dibawakan hingga 30 menit sesudahnya??Aku dulu selalu berdiri di depan televisi ketika lagu itu dibawakan. Dengan jalan di tempat bak tentara aku menyanyikan lagu itu dengan penuh percaya diri…
Hingga pada lirik “pribadi bangsaku…” akupun menyanyikannya sebagai “pribang dibang saku!”
Lalu aku bertanya pada Papa, apa arti “Pribang dibang saku?”
Ia tertawa.. menertawakanku… “Itu salah, Le.. yang betul itu ‘pribadi bangsaku’!”
“Ah nggak Pa.. lha wong aku denger setiap malam kok!” jawabku.
“Hehehe.. enggak… ‘Pribang dibang saku’ itu nggak ada artinya!”
“Ah, memang semua harus ada artinya, Pa?”
“Ya iya lah… kalau nggak ada artinya, buat apa Garuda Pancasila dinyanyikan?”
Sekian belas tahun sesudah kejadian itu, beberapa malam lalu, ketika sedang trenyuh dengan berita kekerasan berbau SARA yang melanda negaraku, aku kembali teringat pada pertanyaan Papaku di atas yang pada saat ku kecil dulu tak bisa kujawab.
Dan bukannya sekarang sudah bisa kujawab, aku toh masih tetap tak bisa menemukan jawaban terbaik untuk itu.
Maukah kalian, sidang pembaca membantuku menjawab pertanyaan papaku itu tadi?
Masih berartikah Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya?
Kalau berarti kenapa masih ada pertikaian berbau SARA?
Kalau tak berarti, kenapa masih perlu untuk dinyanyikan dan lambangnya digantungkan di tembok-tembok perkantoran?
Gambar “Bumi itu bulat tapi tak bulat” diambil dari sini. Gambar “Anak dan kapan tuhan memberinya” diambil dari sini.
Gara-gara kamu nulis ini aku jadi inget kalo dulu lebih hapal lagu Garuda Pancasila versi pengamen daripada yang aslinya. Kalo gak salah liriknya begini
Ora melu-melu, Glek! Hahahaha!
Hhanahaaa ternyata ini semacam kesalahan berjamaah gitu..
Saya waktu SD malah nyanyinya “Dibang dibangsaku..” *ngikik*
Hehehehe.. *toss!
Hahahahaa…
Oalah dikau ya Don, udah salah, ngeyel pulak… Pribang dibang saku ? Kkwwkwk..
Waktu aku kecil sih gak ada kesalahan soal Lima Sekawan itu, soalnya sekolahku mengajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar utk anak2 Irian, jadi gak ada cerita keliru dgn bahasa lokal hehehe..
Btw. Kesalahanku juga ada tentu saja, salah satunya membaca Pak Goon dengan Go-On. Bukan “Gun.”
LOL.
Eh itu bukan kesalahan… kalaulah itu kesalahan, lumrah!
Orang barat sendiri sampe skarang tak konsisten… kalau bloom dibaca blum, floor harusnya juga flur dan door juga dur.
Nyatanya? *eh! :)
Kalo blood bacanya apa ya, blud or blad? Nah ini suka bikin bingung gw :D.
blad… tapi agak blaaod ya…
lima sekawan = lima empat…hihihiihih…lucu mas, aku ngguyu tenan pas moco bagian kuwi… ;)
lah yen lagu pribadin bangsaku kuwih…hahaha…(sik aku ngguyu sik)…jik mending awakmu, mas..yen aku ngomong.. “pribang pribang pribang” dan kupikir itu semacam kata-kata tanpa arti seperti nana nana nana..dudu dudu dudu gitu..
wakakakkakaka…. :D
Hahahaa.. adoh tenan nek kuwi :)
kesalahan masalalu ..
setiap orang pasti pernahj
Pernahj apaj?
LOL.
Soal Garuda Pancasila : aku dulu juga ngeyel sama Ibuku, aku selalu ngotot kalau di syair itu sebenarnya : Pribang pribangsaku..hehehe…
Tulisan yang kocak, berakhir pada renungan yang mendalam, tanda cinta seorang anak bangsa yang sudah di rantau orang. Semoga Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika kembali menjadi spirit bagi anak-anak bangsa di negeri ini. Dan semoga spirit itu membawa kita semua bisa lebih menghargai arti kebinekaan itu sendiri. Karena berbeda itu indah kan?
Amin! Makasih apresiasinya, Ris!
Yang lirik lagu Garuda Pancasila itu saya waktu kecil nyanyinya “pribang-pribang saku”. Saya dulu juga bingung, kok kalimatnya agak aneh. Dan anehnya lagi, Ibu dan Bapak Guru waktu itu kok seperti membiarkan murid-muridnya salah mengucapkan lirik lagu tersebut.
Hahahahaha.. saya semakin merasa tak sendirian untuk pernah melakukan salah yang seperti itu ;)
xixixixix… saya sampe ketawa sendiri menyadari ternyata emang utk banyak lagu nasional pun saya masih banyak kesalahan, persis seperti yang mas nya katakan :p hehehehe.. jadi gak enak :(
Hehehe makasih :) Sama2 nggak enak lah :)
pemberian tuhan itu apa enak pagi hari ya mas? sekalian mandi besar gitu? *eh
dan mungkin Pribang dibang saku itu lebih cocok dengan indonesia sekrang? karna pribadi yang gi gambarkan pancasila itu juga sekrang susah ditemukan… nice artikel mas don.. suka :D
Thanks, Mas Bair :)
wakakakakak… ngakak :D
lucu banget hihihi…
lirik lagu garuda pancasila itu tidak semua orang menguasai walaupun sudah dewasa juga. ada juga yang tidak tahu, ada juga yang tidak ingat. tidak ingat ya berarti tidak mengamalkan, jadinya ya SARA deh… gitu kali ya korelasinya *asal* :D
Hehehehe.. nice comment, Fem!
Wah, yang Pribang dibang saku, saya juga punya pengalaman yang sama… :D
Toss..:)
Sebaiknya mas Donny ndamelaken buku putih kangge punika mas, kersanipun boten salah kuwadrat. :lol:
Buku jambon wae, Mas :)
Yang terjadi sekarang malah “kesalahan di masa dewasa”. Sebab, meskipun Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika-nya masih setia dipasang di dinding-dinding kantor, baik negeri maupun partikelir, oleh orang dewasa, orang dewsalah yang sering tidak dapat menghargai Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika-nya itu, Om. Buktinya, terus…..ada pertengkaran berbau SARA itu.
salam kekerabatan.
Ah, tpat sekali, Pak Guru!
hahaha saya dulu juga sering beranggapan seperti itu bang
beratanya hal-hal aneh yang inigin saya ketahui kepada orang tua saya
yah namanya juga masih dalam masa pertumbuhan
hihi
Hihi… salam kenal!
hafal ga Padamu Negeri ?
dulu ik selalu salah urutan2nya.. kebolak balik melulu.. hihihi…
Nyampe skarang juga gw masi sering salah2 :)
hahaha…aku juga dulu pernah nyanyiin lagi Garuda Pancasila dengan lirik pribang dibangsaku hahaha
Tosss!
Dodol banget siiiiiiy postingan lu yang ini Don :))
iya gue juga suka Serangan Fajar
Berlalu sambil ngakak!
Don,
Awalnya guyon…belakangan jadi serius.
Masih perlukah Bhineka Tunggal Ika?
Jawaban: masih….
Kadang cerita diluar berbeda dengan kehidupan sehari-hari.
Lha saya yang tiap hari jaga di rumah sakit, justru mendapatkan kebersamaan tanpa mengenal sekat. Lha adikku sampai saat ini telah menghabiskan donor darah dari 25 orang…apa suku bangsa dan agama nya? Justru dari berbagai suku dan agama….
Ahh Don..justru itu yang bikin males menonton TV, karena yang di tayangkan kekerasan atau debat terus menerus…saya ingat kata pak sopir taksi…
“Kersane bu, sing penting kulo taksih saged angsal yotro kangge genduk lan tole…”
haha…dulu saya pikir juga pribang pribangsaku..haha..
duh, jangan2 anak-anak sekarang dah pada ga hapal lagu garuda pancasila yah ga kayak jaman dulu.
Hmm..jangan2 garuda pancasila udah jadi semacam simbol dan dongeng aja ya sekarang..hiks..
artikel yang bagus banget nih
hahaha … ngakak soal Lima Sekawan itu. aku dari dulu sih mikirnya sudah bener. baru tahu belakangan ini kalau ada yang mengira sekawan itu empat. sekarang aku suka kagum dengan penerjemahnya, yang bisa menemukan padanan “The Famous Five” menjadi “Lima Sekawan”. kayaknya kalau aku bisa semedi dulu tuh untuk dapat padanannya.
eh, kalau soal Pancasila, aku juga berpikir begitu loh!