Tentang Kembali dan saudara-saudaranya yang tak pernah kembali

6 Feb 2012 | Australia, Cetusan, Indonesia

Awal januari lalu, bersama anak dan istri aku berkunjung kembali ke Taronga Zoo. Kalau dihitung, ini adalah kunjunganku yang ketiga sejak kepindahanku ke Australia, 2008 silam.
Yang namanya zoo, di musim liburan seperti sebulan lalu itu pastilah ramai. Antrian orang mengular membeli tiket masuk; rata-rata datang tak seorang diri, tak juga berdua, melainkan berombongan, kebanyakan keluarga.
Namun yang menarik dibanding dengan kunjungan-kunjunganku sebelumnya, ada semacam keriuhan siang itu, penyebabnya tak lain adalah begitu banyak orang antusias untuk menyaksikan tiga anak harimau yang lahir Agustus tahun silam dan siang itu hendak dipamerkan ke khalayak.
“Ah ini ternyata yang membuat orang antusias bener!” sergahku ke istri. Aku sendiri tak menganggap hal seperti itu sebagai sesuatu yang istimewa, mungkin karena latar belakangku yang tak begitu menghargai detail seperti itu. Ke zoo ya ke zoo aja, nonton binatang, jalan-jalan, lalu pulang.
Tapi angin membawaku akhirnya untuk tertarik dan ‘masuk’ pada ‘event’ tersebut. Menjelang pukul 14:30, di sekitar areal tempat makan di dalam Taronga Zoo, seorang petugas datang menyambangi meja dan berkata, “Hey, tahukah kamu, anak-anak harimau yang lucu itu sedang tidak tidur siang sampai jam 16:30 nanti? Kalau kamu tertarik, datang ke bagian Harimau dan kamu bebas menyaksikannya!” ujarnya ramah.
Kamipun bergegas. Bukan karena antusiasme terhadap harimau sebenarnya, tapi lebih karena makanan telah usai kami santap dan kami harus jalan lagi sementara sudah banyak binatang favorit yang kami saksikan sebelumnya dan tak tahu lagi mau kemana untuk menghabiskan waktu.
Adapun antrian masuk ke kandang harimau ternyata tak bisa dibilang sepi. Panjangnya antriannya barangkali sama… atau bahkan aku berpikir jangan-jangan semua orang yang mengantri di depan tadi memang hanya hendak menyaksikan tiga anak macan yang hingga saat itu belum juga membuatku penasaran itu, saking panjangnya.
Hingga tak lama dari situ, istriku menyadarkanku, “Eh, ternyata yang baru lahir itu anak harimau sumatra!”
“Oh…” sahutku. Bagiku, bercengkrama dengan Odilia, anakku sambil sesekali melirik linimasa di Twitter via iPhone lebih menarik ketimbang mendengar kata ‘harimau sumatra’
Lalu antrian meringsekku semakin merapat ke dalam dan para petugas zoo semakin keras menyuarakan info-info tentang anak-anak harimau sumatra. Dalam hati aku tetap keukeuh berujar, “Harimau sumatra? So what!?”
Tak lama kemudian kami telah benar-benar masuk ke lorong menuju kandang harimau, kumasukkan iPhone ke saku dan aku mencoba menikmatinya… ya, mencoba.
Mendekat menjelang kandang, di sisi kanan dan kiri lorong beratap itu dipasang screen monitor yang membantu menjelaskan tentang asal mula dan seluk beluk ketiga anak harimau itu.
Dan dari beberapa menit pertama tayangan, yang bisa kutangkap adalah bahwa nama ketiga anak sumatra itu adalah Sakti, Kartika dan Kembali. Ketiganya adalah anak pasangan harimau pejantan Satu, dan betina Jumilah.
“Wow, Indonesia sekali ya!” aku mulai bergairah. Ke-Indonesia-anku merentang dan aku semakin nyaman menyimak.
Tayangan berikutnya adalah tentang bagaimana jenis harimau sumatra termasuk bagaimana mereka semakin terdesak untuk mempertahankan hidup di alam bebas.
“Life in Sumatra is tough for tigers – it is hard to find safe habitat and enough food”
demikian larik demi larik ditampilkan dalam screen.
Aku tercekat karena pada kenyataannya memang tinggal 400 ekor di habitat aslinya, Sumatra, harimau jenis ini tersisa. Mereka harus bertarung melawan kepunahan karena rusaknya ekosistem yang kebanyakan dialihfungsikan atas nama kesejahteraan makhluk yang lebih tinggi derajatnya daripadanya, manusia.
“Buy sustainable palm oil si a good oil – insist on it in the product you buy!”
Larik itu muncul di presentasi selanjutnya.
Ya, kita dihimbau untuk tidak sembarang mengkonsumsi minyak kepala sawit selain minyak yang ramah lingkungan. Tentu sudah bukan rahasia lagi bahwa begitu banyak perkebunan kepala sawit didirikan dan dikembangkan di Sumatra. Keberadaannya mungkin bagus bagi ekonomi negara, tapi untuk harimau sumatra?
Nah, ajakan untuk tidak mengkonsumsi minyak kelapa sawit adalah sebagai wujud kepedulian bahwa kita tak butuh kepala sawit selain yang ‘ramah lingkungan’ karena pengembangan perkebunannya berarti mempersempit areal hidup harimau sumatra tersebut.
Tak hanya itu, kita juga dihimbau untuk membeli kayu yang ramah lingkungan pula (sustainable timber) serta menggunakan kertas daur ulang karena dengan demikian maka permintaan akan kayu sebagai bahan baku kayu olahan dan kertas akan menyusut dan hutan di Sumatra sana jadi tertunda untuk semakin cepat digunduli sehingga diharapkan, harimau sumatra tetap tak kehilangan habitat dan makanannya.
Mungkin dari kita banyak bertanya, “Kan sudah ada reboisasi? Penghijauan kembali lahan yang bekas pakai?”
Benar! Tapi, pikirku, reboisasi pun bukan pilihan terbaik mengingat butuh waktu berapa lama untuk memulihkan ekosistem yang seimbang bagi harimau sumatra? Katakanlah sebuah pohon akan tumbuh dalam waktu puluhan tahun untuk mencapai besar yang sama dengan yang ditebang, maka haruskah selama itu pula harimau sumatra dan rantai makanan dibawahnya menunggu perbaikan alam? Dan, selama waktu menunggu itu semua mereka harus terus kucing-kucingan dengan manusia yang keberadaannya semakin mengepung mereka?
Tayangan screen usai dan antrian membawaku mendekat ke kandangnya dari balik kaca. Dan, ketika aku berada di jarak yang paling dekat dengan anak-anak harimau itu, Bummm! Aku tak kuasa untuk tak jatuh cinta kepadanya. Ketiga anak harimau itu begitu lucu, bermain ke sana kemari, sesekali menggelendot manja ke Jumilah, Ibunya, sementara si Satu, bapaknya, mengamati dari jauh.
Hidup di alam bebas bagaimanapun juga adalah dambaan bagi setiap makhluk hidup karena setiap kehidupan yang diselenggarakan menawarkan kehendak bebas.
Namun, membandingkan dengan apa yang terjadi belakangan di alam aslinya dengan apa yang kulihat saat itu, meski harus hidup dalam alam imitasi dengan intensi hidup di alam ‘kebun binatang’ untuk diteliti dan dipamerkan kepada khalayak, aku justru berharap bahwa Kembali dan saudara-saudara kandungnya itu tak perlu kembali ke Sumatra, ke alam asalnya.
Maaf, bukannya aku lebih percaya pada harimau, tapi manusia terkadang lebih sering mengelastiskan pikiran dan niatnya tergantung situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya.
Niatnya pada mulanya biasanya bagus dan mau mengkonservasi alam, tapi ujung-ujungnya kalau kepepet akan takutnya cepat berubah untuk berujar, “Pilih mana? Harimaunya hidup tapi kami tak bisa makan dan tak ada tempat tinggal? Atau sebaliknya?”
Aku tersontak dari lamunan panjangku ketika petugas memintaku bergeser dari kandang karena antrian berikutnya sudah tak sabar ingin menikmati bagaimana lincahnya harimau-harimau sumatra itu di kandangnya.
Sesaat sebelum bergegas pergi, aku menoleh ke Sakti, Kartika dan Kembali, melalui kaca yang banyak menyisakan uap air dengus nafas pengunjungnya, lalu kehidupan pun kembali berjalan seperti sedia kala.

Sebarluaskan!

26 Komentar

  1. ini bingung commentnya… sedih harimau punah… tapi masa pulau sumatra tidak boleh maju dan berkembang. tidak ada pembangun perumahan untuk manusia, demi keberadaan harimau. Menurut aku keseimbangan yang perlu dipikirkan baik baik, biar semua menjadi diuntungkan.

    Balas
    • Sebenernya yang diperlukan adalah management. Bukannya tak boleh maju dan berkembang, tapi kan tergantung dari sisi mana kemajuan dan perkembangan itu dilihat, tho? :)

      Balas
  2. Iya Mas, kan reboisasinya ga sebanding ama tebang liarnya. Kasian deh harimau2 di Sumatera. Kadang juga dibunuh karena coba kabur ke perkampungan, cari makan, sebab di hutan sudah susah hidupnya. Susah deh, mau dibilang gimana, yang berwenangnya lebih pilih cucunya ga kenal harimau sumatera tapi kenal BMW ketimbang sebaliknya

    Balas
    • Hmmm.. tapi ya ga papa lah.. alam perlu beradaptasi dan mungkin harimau jadi korbannya.. siapa tau suatu saat nanti manusia? Oh no!

      Balas
  3. kelapa sawit emang ancaman sekarang mas.. di tempat aku kalimantan juga.. eksploitasi.besar2an oleh pengusaha kelapa sawit… dan bener banget klo tindakan palingtepat adalah untuk tidak mengkonsumsi minyak kelapa sawit..

    Balas
    • Yup.. setidaknya kita tak ikut andil menikmatinya… :)

      Balas
  4. Enggak terlalu kaget sih, Mbah. Lha wong Jalak Bali, Bunga Raflesia, dan banyak spesies langka dari Indonesia mulai “diamankan” di Eropa.
    Sepertinya orang bule enggak percaya sama kita, padahal karena mereka pula satwa-satwa langka itu diperjuabelikan..

    Balas
    • Ya ga bisa digeneralisasi gitu sih… Lha bayangin kalo ke3 anak macan td dilepas di sumatra?

      Balas
      • Itu anak macan apa anak harimau sih?
        Kalau aku ya tetap ingin mereka tinggal di tanah airnya sendiri, eh!

        Balas
        • Mereka kalau tinggal di tanah air, jaminan keamanannya? :)

          Balas
  5. harimau itu dahulu di Sumatera sangat dihormati, bahkan diberi sebutan Ompung, Inyiak , atau Datuk
    jumlah manusia makin banyak dan perlu lahan semakin luas, ya dampaknya ke keseimbangan alam kan…, makanya KB dong he…he…

    Balas
    • Bener, Bu:)

      Balas
  6. aku setuju dengan kampanye pengurangan penggunaan minyak kelapa sawit. aku sendiri berusaha untuk mengurangi menggoreng makanan. sebisa mungkin aku kukus atau kalau perlu menggoreng, minyaknya tidak pakai minyak kelapa sawit.

    Balas
    • Hemat, sehat dan bermanfaat bg lingkungan ya :)

      Balas
  7. hmmm susah deh kalau memikirkan lingkungan hidup di Indonesia. Kemarin aku telpon papa dan papa bilang, “duuuh parah mel… abis pada main uang semua! Mrk benar-benar tidak pikir masa depan anak cucu. Dosa deh ” :(
    Harimau – pengembangan semena-mena – habis!
    Coba ganti kata harimau nya dengan manusia… pasti akan habis juga, kalau tidak pada cacat :(

    Balas
    • Hmmm.. ya begitulah.. *Speechless*

      Balas
  8. Aahhh so sweet…
    Aku jadi ingat waktu main ke Taman Hewan Siantar. Ada harimau Sumatra, terus ada juga Harimau Putih (lupa darimana)….. Yeah, dan masih aku ingat dulu pernah ke kebun binatang di Medan, harimaunya kurusssss sekali sampai tulang2nya kelihatan. Kurang ajar memang manusia, berani bikin kebun binatang tapi penghuninya tidak dirawat.
    AKu baru tahu kalau Sawit itu tidak ramah harimau…. Kasihan….
    mana mungkin bisa kita lihat lagi harimau itu di sumatera…

    Balas
  9. Setuju sama salah satu komenmu diatas, yang penting adalah manajemen lahannya. Pemerintah harus tegas memisahkan mana hutan industri (yang dapat ditebang trus direboisasi kembali) dan mana hutan lindung. Peruntukkan tersebut harus benar-benar bisa dikontrol. Kita tentu ngga mau mengorbankan pelestarian lingkungan hidup (selain manusia) demi kemajuan ekonomi semata, demikian juga sebaliknya.

    Balas
  10. Dulu, saya masih bisa melihat harimua sumatera berkeliaran dibelakang rumah si Mbah. sekarang pudar Om, semenjak lahan sawit dan karet meraja,… entah kemana mereka pergi. 2 pilihan, bagaimanapun tetap memperhitungkan kelangsungan hidup manusia

    Balas
    • Wow… Saya ndak bs bayangin gimana ngeliat harimau keliaran bebas gitu… ro aku lebih ga bs bayangin kalo suatu waktu nanti harimau sumatra bener2 punah :((((

      Balas
  11. Ketika kecil dulu, orangtuaku suka parno kalau aku main agak jauh dari rumah. Alasannya, takut dimakan harimau atau diinjak gajah. Sekarang, alasan itu sudah tidak ada lagi. Sebab, harimau dan gajah sudah sangat jarang ada di daerahku. Dengan demikian, ada bagusnya juga kan…? hahaha… :D
    Aku sepenuhnya setuju dengan komentar Anderson. Memberikan ketegasan terhadap pengelolaan hutan itu adalah sebuah keniscayaan. Tidak bisa tidak.. Namun sayangnya, para “pemangsa” hutan di Sumatra itu kebanyakannya adalah mereka yang memegang kendali negeri ini…
    So…? ;)

    Balas
    • Ya anggap saja para penguasa adalah harimau ganas dan harimau2 yg sebenernya adalah rusa….

      Balas
  12. nggak bisa tidak, harus selekasnya ditemukan teknologi yang mengurangi ketergantungan kita pada sawit.
    hampir semua produk yang kita pakai/kenakan memakai sawit sebagai base-nya…
    @Vizon
    Sekarang bukannya mereka tidak ada, Da, tapi makin terpojok dan sudah banyak bersinggungan fisik dengan manusia.
    Nggak kurang hampir tiap minggu ada berita manusia dan harimau yang saling “sikat”…

    Balas
  13. jadi ingat film Avatar, di mana manusia akhirnya berusaha mengembalikan habitat alamnya lagi dengan cara merusak alam makhluk lainnya.

    Balas
  14. Kemarin (20 Feb 2012) gue liat NGC, judul nya : Sumatra’s Last Tiger. Bener-bener ya orang-orang itu kejam. Bunuh harimau seenaknya. Di acara itu juga disebutkan kalo sub-spesies Harimau Jawa sama Harimau Bali udah punah. Dan pemerintah Indonesia masih aja `budheg` sama hal-hal penting kaya gitu :( Haruskah nunggu Harimau Sumatra(yang popoulasi nya cuma <400 di seluruh dunia) punah dulu? Badak cula satu Ujung Kulon, Banteng Jawa Baluran, Burung Cendrawasih, udah hampir punah juga. :(

    Balas
    • Heehe komentarmu menarik! Suka istilah “budheg”

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.