Tentang Jogja yang Semangkin Macet Saja

21 Des 2007 | Cetusan

Aku ingat betul ketika membaca di salah satu media, sekitar 15 tahun yang lampau, Ari Burhani (formerly drummernya KLa Project) mengaku mendapatkan inspirasi tabuhan drum
lagu “Yogyakarta” itu dari nuansa suara andhong (kereta yang ditarik kuda dan dikendarai seorang kusir) yang waktu itu banyak berkeliaran di Jogja. Ya, kupikir juga memang sangat sedikit orang yang bisa menampik anggapan bahwa lagu itu dan suara andhong itu sangatlah Jogja sekali.
Tapi sekarang, setelah lima belas tahun berlalu, haruskah lagu itu direvisi aransemennya, utamanya pada bagian derap suara andhong itu, mengingat semangkin sedikitnya andhongandhong yang bertebaran di kota ini?
Atau mengingat, mungkin, jumlah andhong yang tetaplah sama, tapi suara bising knalpot ribuan kendaraan bermotor telah meredam suara mistis hentakan sepatu kuda yang dijejakkan ke aspal di jalan-jalan di Jogja?

Ya! Lalu lintas di kota ini, pada titik-titik tertentu telah menjadi sedemikian brengseknya.
Mungkin kalian yang ada di luar Jogja nggak begitu percaya dengan kenyataan ini, tapi please jangan berpikir terlalu “meremehkan” kota kami karena pada kenyataannya, kecuali banjir dan tingginya tingkat kriminalnya,
kami telah sukses memindahkan “Jakarta” ke Jogja, utamanya tentang kemacetannya :)

Cobalah berkendara di Jogja pada sabtu sore menjelang malam.
Arahkan lajunya ke Ambarrukmo Plaza, anggap berangkat dari perempatan Tugu Yogyakarta maka “wowww.. mejik!” kamu akan mendapatkan satu kenyataan yang bahkan setahun yang lalu
sebelum gempa pun kamu belum mendapatkan kemacetan yang parah seperti itu. Atau kalau tidak mau jadi salah satu anggota pemacet (*halah*) tapi tetap ingin melihat bagaimana mereka bermacet ria sepanjang Jogja, cobalah naik kereta dari arah timur dan melihatlah ke bawah pada
jembatan Kali Code untuk melihat kendaraan-kendaraan mengular berebut masuk dan keluar sentra Malioboro.
Yuk Mari! Kesemuanya itu terjadi di Jogja, di kota yang dinyanyikan begitu syahdu oleh Katon Bagaskara dan kawan-kawan sejak 15 tahunan yang lampau.

Saya, sebagai orang yang cukup ber-logika, sebenarnya sangat sadar dan mahfum akan kenyataan bahwa jumlah manusia yang semakin besar karena kencederungan untuk ber-regenerasi akan terasa semakin menyempitkan lahan publik yang ada di
sekelilingnya. Sehingga, sekali lagi, sangat mahfum se mahfum-mahfumnya bahwa cepat atau lambat kemacetan akibat semangkin banyaknya orang menggunakan jalan raya itu pasti akan terjadi termasuk di Jogja ini.
Tapi yang tidak terlalu masuk logika adalah kenapa kemacetan yang terjadi justru seperti sekonyong-konyong memuncak dalam setahun belakangan, tidak terkontrol, dan pada akhirnya menjadi sebuah pemandangan yang biasa hari lepas hari?

Macet seperti ini jelas mempengaruhi tatanan orang dalam menciptakan budaya tepat waktu.
Kalau di Jakarta mungkin hal-hal begini sudah menjadi kebiasaan oleh karenanya misalnya seseorang yang tinggal di Lebak Bulus hendak janji bertemu dengan orang lain di satu tempat Tangerang Kota jam 4 sore, maka jauh-jauh waktu
sejak pukul 1 siang sudah bergegas mencari kendaraan umum dan waktu tiga jam itu dipertaruhkan untuk berada di jalanan menikmati perjalanan yang lebih banyak memacetkan. Atau dengan kata lain, you-you yang ada di Jakarta
sudah mampu memasukkan variabel waktu tambahan karena “macet” di dalam agenda catatan dan PDA kalian.
Lha tapi kalau di Jogja, kita belum bisa men-set seperti itu karena kemacetan adalah hal yang baru bagi orang-orang di sini. Hal yang baru terjadi “belum ada setahun” sehingga belum bisa dimasukkan
dalam perhitungan waktu seseorang.

Rencana pemerintah Jogja untuk membuat bus khusus seperti busway di Jakarta juga kupikir belum tentu bisa
mengontrol kepadatan lalu lintas. Harapan mereka supaya para warganya memanfaatkan moda transportasi baru itu dengan meninggalkan kendaraan pribadi di rumah kok membuatku males berharap ya.
Kenapa? Karena bagi kalangan kita, kendaraan pribadi itu masih merupakan salah satu perhiasan daripada kebutuhan.

Kalian seharusnya setuju dengan omonganku, kalau nggak percaya sekarang juga kubalik bertanya kenapa ada banyak salon mobil dan montor di Jogja?
Kenapa juga tempat cuci mobil dan montor itu ramai menjelang weekend?
Kenapa juga tempat-tempat jualan helm di sekitar Kota Baru itu selalu ramai dan yang laku kok helm-helm yang cantik, bukan yang safety?
Kenapa juga orang banyak melego mobil-mobil Kijangnya, yang sebenarnya belum terlalu butut, menjadi Toyota Alphard padahal dia cuma hidup bareng satu istri dan satu anak,
dengan kata lain kalau pake Alphardnya ke Ambarrukmo Plaza itu bisa dinunuti tangga teparonya sekalian?

Jadi bisa dibilang, menghadapi arus kemacetan yang semangkin menghebat, ditambah dengan semangkin sempitnya badan jalan karena bangunan-bangunan yang didirikan di kanan kirinya saling empet-empetan serta persepsi
orang tentang kederajatan personal yang dikaitkan dengan bagus/tidaknya kendaraan pribadinya adalah seikat persoalan yang berpeluang menjadi lingkaran sebab-akibat yang tak akan pernah bisa ditemukan lagi mana ujung dan mana
pangkalnya!

Jadi gimana ?
Apa masih berharap kita bisa melihat seorang ibu-ibu anggota sosialita Jogja hendak belanja Levis dan Hush Puppies dari rumahnya di bilangan Gondomanan,
misalnya, naik Busway ke Ambarrukmo Plaza ?
Kok ya ndak mungkin ya…?
“Belanja 501 dan high heels yang baru ya pake mobil dong. SECARA gw kan socialite di Jogja jhe… wagu no nek numpaknya cuman bis?”
Ra siyut, coro Wonosarian berucapnya!” Aku membayangkan si ibu akan memenye-menye seperti itu sebelum menstarter mobil deluksnya di garasi rumah mewahnya.

Jadi gimana Mas Adi, Mas Katon… mau kubantu ngaransemen ulang lagunya dengan deru busway dan suara berdesis mobil-mobil mewah ala Jogja ?

Sebarluaskan!

7 Komentar

  1. Jogja udah seramai itu kah? Wah….tp aura romantisnya masih ada kah?

    Balas
  2. mungkin aransemen baru lagu yogyakarta jadi lebih slow…karena suara andongnya jadi semakin tak terdengar dan timik2 karna macet…

    Balas
  3. Hola Bos! Natalan ra bali po?

    Balas
  4. QQ : Yupe! Aura romantis ga nyambung ke macetnya lalin kali… Justru kian macet kian romantis karena berlama-lamaan berdua di jalan raya ahuahuahua

    Balas
  5. “ra siyut”. wis suwe aku ra krungu ukoro iki, mas :)

    Balas
  6. Anu, kemacetane asline karena tata kota sing ra bener, andai Sleman tata kotanya bener, mungkin ndak bakal kayak gini. Teori ada gula ada semut itu berlaku. Coba daerah Sleman pembangunan kampus, tempat hiburan agak ke arah barat. Mungkin beda hasilnya. Soale pembangunannya pada ke arah timur, daerah UGM, Condong Catur dan sekitarnya. Ndak heran nanti Jogja bakal terbiasa dengan kata banjir dan mungkin susah air. Lak yo wagu to. Apalagi perijinan hotel yang gampang keluar.. Ash pokokmen wagu lah pemimpine..

    Balas
    • He eh, tapi aku tetep percaya nek Jogja sedang membentuk dirinya untuk sebuah peradaban yang berbeda dari masa-masa kita, Bung. Protes seperti kita ini menandakan bahwa kita memang semakin tuwa. Ngga percaya? Check pada anak-anak belasan, mereka menikmatinya dan kita bisa nyinyir bilang “Ah, mereka belum tau!” Iya tho? :)

      Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. Tentang Sydney yang Semangkin Macet Saja - DV, Superblogger Indonesia - […] tahun lalu aku menulis posting di blog ini bertajuk, Tentang Jogja yang Semangkin Macet saja dan hari ini aku…

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.