Tentang Jogja (9): Hari Pertama Sekolah

11 Jun 2020 | Cetusan

Hari pertama masuk sekolah, aku dan Heri memasang weker jam 5:30 pagi. Segera sesudahnya kami mengambil handuk dan keluar untuk antri ke kamar mandi. Sambil mengantri kami saling bertukar ?Selamat pagi? dengan kawan lain yang juga sama-sama barusan bangun. 

Yang menarik kuamati waktu itu adalah hampir setiap kamar punya weker. Tak setiap kamar men-setting weker pada jam yang sama. Dari perbedaan weker, menghasilkan paduan suara yang unik dan berbeda-beda pula. Dari yang standard, ?Kring?, ke yang digital ?Tut-tut.. tut-tut.? Dari yang menyodorkan suara berupa kokok ayam jantan hingga yang bisa memutar suara orang berkata, ?Selamat pagi?.Ayo bangun!.?

Hari Pertama Sekolah

Sekitar jam 6:15 pagi, aku selesai mandi dan bersiap. 

Pagi itu aku mengenakan seragam kemeja putih dengan logo De Britto dan celana abu-abu yang masih benar-benar baru, hasil jahitan dari penjahit langganan Papa dan Mama di Kebumen, Elita. Di De Britto waktu itu, sesuai aturan, kami wajib mengenakan seragam setiap senin, selasa dan sabtu. Di hari rabu, kamis serta jumat kami boleh mengenakan baju bebas asal atasannya ber-krah dan bercelana panjang. Untuk alas kaki tak mesti mengenakan sepatu. Sepatu sendal khas ?Neckermann? atau sendal gunung ?Alpina? juga diperbolehkan.

Kami berjalan berombongan pagi itu. Dari Wisma Ampel, keluar di Jl Petung. Sesampainya di pertigaan IAIN Sunan Kalijaga belok ke kanan ke arah Gelael, Kantor Pekerjaan Umum, Toko RIMO lalu sampailah di De Britto.

Blok kelas satu terletak di sisi utara sekolah, memanjang dari timur yang bersebelahan dengan parkir sepeda dan lapangan sepakbola hingga ke kelas yang letaknya dekat dengan ruang yang diberi nama Ruang Koran karena di situ selalu dipajang koran Kedaulatan Rakyat terbaru bersebelahan dengan majalah dinding dan papan pengumuman.

Aku segera mencari namaku dari kelas ke kelas bersama ratusan anak lain. Sementara di seberangnya, para kakak kelas dengan rambut gondrong dan tampang yang disangar-sangarkan, sibuk mengamati dengan beraneka ragam tatapan. Setelah sekitar lima belas menit mencari, akhirnya kudapati namaku ada di kelas 1-6 yang letaknya ada di sisi paling luar, bersebelahan dengan ruang parkir sepeda dan merupakan kelas yang tidak biasa karena memiliki jendela dan pintu. Kalau kalian baca tulisanku ini, di situ kutulis bahwa kebanyakan kelas di De Britto tidak memiliki tembok pembatas yang utuh, tak pula berjendela dan berpintu.

Dari sekian nama yang kulihat, ada dua yang tak asing lagi ada di kelas yang sama. Mereka adalah Opang Christian (alm) dan Ario Nirmolo. Keduanya adalah orang-orang yang kukenal pertama kali saat mendaftar sekitar sebulan sebelumnya.

Sebagaimana halnya sekolah-sekolah lain dan universitas waktu itu. minggu pertama kegiatan belajar-mengajar diisi dengan Penataran P4. Maka jam demi jam pun berjalan dengan cukup membosankan. Satu-satunya hiburan hanyalah saat jam istirahat saja.

Bertemu kawan-kawan lama: Kebumen dan Klaten

Saat jalan-jalan ke kelas lain selama masa istirahat, aku mendapati pula beberapa gelintir kawan yang datang dari Kebumen. Diantaranya Andi Karsono, kawan sejak TK (TK Pius Bhakti Utama), SD (Pius Bhakti Utama) dan SMP (SMPN 1 Kebumen), Ciang Han (aku lupa nama Indonesianya, dia kawan di SMP) serta yang cukup mengagetkan adalah Adi Nugroho, kawan dekatku saat duduk di SD Pius Bhakti Utama! Ia duduk di kelas 1-1!

Lalu di kelas lain, aku berjumpa beberapa kawan TK semasa aku sekolah di TK Maria Assumpta Klaten, 1983-1984. Mereka adalah Richardus Ukki, Dandung Bawono dan salah satu kawan terdekat saat TK, Lie Fock Kuang, pemilik Bakso Anda Klaten yang meninggal dunia akhir 2018 silam.

Menemui mereka semua ada di De Britto, meski tak sekelas, membuatku merasa tak sendirian.

Sepulang sekolah, sekitar jam 12:45 WIB, kami berjalan beriringan. Kali itu tak hanya dengan sesama penghuni Wisma Ampel 2 tapi juga dengan anak-anak lain yang letak rumah kost nya searah. 

Di antaranya adalah Bona (Bonaventura Cahyo Kusmono), Deddy ?Giant?Indracahya (meninggal 2016 silam) dan Rianto Naibaho. Ketiganya ngekost di depan INSTIPER (Tiga tahun sesudahnya, tepat setelah lulus, saat aku sedang mencari universitas dan belum punya kost baru, aku sempat numpang di kamar Heribertus yang menyewa salah satu kamar di kost tersebut).? Juga ada seorang yang aku lupa namanya tapi ia kerap dipanggil Hanoman karena giginya yang tonggos ke depan. Si Hanoman ini kost di Jl Petung sebelah utara yang dari kostnya jika ingin pergi ke warung makan Barokah (Jl Ori) tinggal jalan kaki dari arah belakang melalui kebun dan pekarangan serta kandang ternak penduduk waktu itu.

Warung Makan ‘Suyat’

Letak Warung Makan ?Suyat?

Siang itu, aku dan beberapa kawan Wisma makan di warung makan Suyat yang letaknya ada di depan Wisma agak menjorok ke sisi timur. Warung makan ini masih kukunjungi bahkan hingga menjelang kepindahanku ke Australia, 2008 silam. Makanan yang dijual adalah makanan rumahan lengkap dengan sayur-mayur yang selalu ganti setiap hari, ayamg goreng, perkedel, telur, tahu, tempe dan semur sapi. Lalu di atasnya digantung keranjang telur asin serta setandan pisang. Sementara itu ia juga menjual beberapa jenis rokok yang bisa dibeli secara eceran.

Dibandingkan dengan Barokah, harga makanan yang dijual di warung Bu Suyat agak sedikit lebih mahal. Seingatku dulu aku makan dengan sayur tiga macam plus ayam goreng dan kerupuk serta rokok sebatang Gudang Garam Filter cukup membayar ongkos Rp 600,- saja.

‘Rudy’ Rujak

Berjalan pulang ke wisma, di depan pintu gerbang ada seorang bakul rujak segar yang kerap ngendon di situ selama jam makan siang. Aku tak tahu nama aslinya tapi anak-anak memanggilnya sebagai Rudy mungkin karena ketika memasarkan dagangannya ia kerap berseru ?Ruuud? jak..?

Rudy ini adalah orang yang juga kupamiti ketika aku pindah ke Australia pada 2008 silam karena waktu itu ketika melewati Wisma Ampel 2 dan ia ada di sana. Saat kutemui pada 2008, rautnya sudah tua, rambut memutih meski tubuhnya masih terlihat kuat, ?Aku sakjane wes ora oleh dodolan karo anakku. Dikon pindah Kalimantan amor mereka tapi aku wegah, Don?? ujarnya waktu itu.

Oh ya, oleh Rudy aku dipanggil sebagai ?Donny Kithul.’

Tau kenapa? Kithul dalam bahasa ngapak berarti ?Senggama/bersetubuh?. Istilah itu dipakai sebagai tanda saja untuknya bahwa aku berasal dari Kebumen.

Aku tak membeli rujak siang itu karena cukup kenyang. Aku segera masuk kamar dan berusaha untuk rebahan dan ngobrol dengan Heri. Heri tak sekelas denganku. Ia tinggal di kelas 1-4 dan kami saling berbagi pengalaman hari pertama.

Rombongan ‘Ngapak’

Menjelang sore, ketika sedang duduk-duduk di kantin, aku mendengar serombongan anak wisma yang juga bicara dalam bahasa ?ngapak?, bahasa Jawa dengan dialek khusus yang dipakai orang-orang di sisi barat Jawa Tengah. Akupun tertarik mendekat dan memperkenalkan diri, juga dengan Bahasa Ngapak.

?Loh.. rika sekang ngendi? Purwokerto?? tanya salah satu dari mereka yang kemudian kutahu bernama Budi.

?Ora, nyong sekang ?Bumen?? jawabku.

Rombongan ?ngapak? itu lantas jadi kawan-kawan dekatku waktu itu. Bicara ?ngapak? dengan mereka membuat rasa kangenku pada kawan-kawan SMP (dan gebetanku) terobati. Mereka adalah Budi Susanto, Rano Merciano Tangkilisan, Joedith Tjhristianto, RIchard Hartono, Junianto Santoso dan Dionisius Vianney Pontoan yang akrab dipanggil Donny. Budi, Rano, Joedith dan Richard berasal dari Purwokerto/Banyumas. Mereka sudah saling kenal sejak lama. Junianto berasal dari Klampok, Banjarnegara dan Donny berasal dari Cilacap.

Joedith lantas menjadi salah satu teman dekatku bahkan hingga setelah aku lulus SMA. Richard Hartono sekarang tinggal di Auckland, New Zealand, dan beberapa kali kami bertemu saat ia sedang berkunjung ke Sydney, Australia.

Rokok

Sekitar jam 4 sore, ketika sedang berjalan kembali ke kamar, aku melihat Pak Suryanto sedang menyirami tanaman yang letaknya ada di sebelah kantin. Saat itu aku sedang menghisap rokok dan menyapa, ?Selamat sore, Pak Sur??

Pak Sur menoleh. Raut mukanya yang semula ceria berubah saat melihatku merokok, ?Donny, kamu merokok??

?I.. iya, Pak. Kan Mama saya sudah bilang waktu itu bahwa saya merokok..?

Ia diam saja sambil menggeleng-geleng kepala?

Sekitar jam enam sore, satu jam sebelum jam belajar pertama dimulai, aku mendapat telepon dari Papa/Mama.

Cara mendapat sambungan telepon saat tinggal di Wisma Ampel 2 saat itu ada aturannya. Yang boleh menelpon hanyalah orang tua atau saudara kandung. (Meski demikian, saat akhirnya aku punya pacar, pacarku kuajari mengelabui dengan berpura-pura jadi adikku dan setiap Pak/Bu Sur curiga karena aku telpon kelamaan dan mereka mencoba mengangkat telepon dari dalam, pembicaraan kami ubah yang semula sayang-sayangan antar-pacar jadi sayang-sayangan adik-kakak hahahah!) Setiap kali ada panggilan, Pak dan Bu Sur mengumumkan melalui corong, ?Panggilan, Donny kamar 34B ada telepon? diulang hingga tiga kali.

Kami tak diijinkan masuk ke rumah untuk menerima telepon. Pak Sur menyediakan sebuah telepon yang dipasang paralel di halaman di atas akuarium. 

Sore itu, ketika mendapat hubungan telepon dari Papa/Mama, seperti anak-anak lainnya, aku mendatangi telepon yang ada di halaman rumah. Tapi tak seperti sebelumnya, kali itu Pak Sur tampak bicara cukup lama dengan Papa/Mama. Hmmm, sepertinya ada yang sedang dibicarakan?

Sekitar sepuluh menit menunggu, akhirnya Pak Sur memberi kode kepadaku untuk mengangkat gagang telepon tanda aku bisa bicara dengan Papa/Mama.

?Halo, Don?. piye Le dina pertama sekolah?? tanya Mama.

?Yo, apik, Ma. Kesel juga hehehe tapi seneng.? jawabku.

?Don, Papa meh ngendika sedilut ki?.? ujar Mama seraya menyodorkan telepon ke Papa. Aku deg-degan. Biasanya ada ?sesuatu? kalau sudah demikian.

?Le?? suara Papa pun terdengar datar, aku bernafas agak lega.

?Halo, Pa? piye?? jawabku.

?Nganu, Le?. Pak Sur mau ngendika karo Papa.. leh mu ngrokok aja kebanteren, Le??

Nah!?
Sudah kutebak!?
Pak Sur rupanya lapor ke Papa/Mama bahwa aku merokok.?

?Lho, tapi kan Mama pas wingi kae wes matur karo Pak Sur bahwa aku memang ngerokok?? aku menanggapi.

?Iyooo.. tapi aja banter-banter, Le?? jawab Papa.

?Aku ora banter kok, Pa?. biasa wae?? sanggahku lagi.

?Ealah.. cah kok angel men dikandani? Yo wes ngene wae, nek iso pas ngerokok aja neng ngarepe Pak Sur, Le??

Aku manggut-manggut mengerti.

Di balik kaca kulihat Pak Sur menatapku dalam-dalam dengan raut muka datar. Barangkali ia merasa puas telah melaporkan kelakuanku ke Papa/Mama dan hal itu memang benar. Barangkali ia merasa apa yang jadi laporan akan membuatku kena bombardir kemarahan kedua orang tuaku? hal itu tidak benar! Hahaha?

Sydney, 11 June 2020

*Tentang Jogja?adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Catatan penting untuk para guru, “Ingat2lah baek2 yoh…90% riset menunjukkan bahwa anak dan orru adalah aktor-aktris alami.”

    “Maksudnya Pak?”

    “Koloqium berjamaah ae…rasah telpon2an.”

    “Tambah bingung Pak.”

    “Yowis udud tho ae…ning aja nang ngarepe Pak Sur yo.”

    Balas
    • hahah :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.