Tentang Jogja (7): Jl Mataram – Balai Desa Condong Catur – Wisma Ampel 2 Kamar 34B

9 Jun 2020 | Cetusan

Matahari kian temaram ketika bis kota yang mengantarku melaju dan menjauh dari Jalan Mataram.

Awalnya aku duduk di bangku paling belakang karena tak mau kehilangan pandangan kepada Mama yang melepasku sore itu. Tapi setelah Jl Mataram lewat, sebelum melewati Kretek Kewek, oleh Pak Kernet aku disuruh pindah tempat duduk, ?Pindah ngarep, Dik. Neng kene angine gede??

JL Mataram – Balai Desa Condong Catur

Bis menyusuri Kotabaru melewati SMA 3 lalu ke utara hingga perempatan Gramedia. Menyeberang ke Jl Cik Di Tiro melewati pertigaan jalan menuju SMA 6. Membawa ingatan terhadap peristiwa saat tukang becak ?memperkenalkanku? pada SMA Kolese De Britto beberapa minggu sebelumnya.

Dari situ bus bergerak melambat melewati Rumah Sakit Mata Dr Yap hingga Panti Rapih dan bundaran UGM. Melingkar ke kanan, bus melaju ke Samirono yang ramai betul sore itu sementara waktu sudah menunjuk pukul enam.

Mentok hingga Jl Gejayan (kini Jl Affandi), bus belok ke kiri ke arah utara dan? aku mulai deg-degan. 

Kenapa belok ke kiri?
Bukankah harusnya belok ke kanan menuju Demangan lalu belok kiri lagi ke Jl Solo hingga IAIN?

Aku berusaha tahu jalan tapi semakin berusaha semakin tak tahu ke mana bus ini akan berjalan. Mau bertanya masih malu campur deg-degan! Bagaimana kalau nanti malah ketahuan aku pendatang baru dan dicelakai? Hari kian menggelap hingga akhirnya bus sampai di satu tempat yang oleh si kernet diteriaki sebagai ?Bale? Bale??

Sekonyong-konyong semua penumpang yang tinggal segelintir itupun turun. Aku tak sempat lagi bertanya selain ikutan turun. Kupikir, teriakan ?Bale? adalah ?Bali? alias ?kembali? sebagai isyarat bahwa bus akan pulang kandang dan penumpang diminta turun di situ dan saat itu juga. 

Tapi ternyata aku salah!?
Bale adalah sebutan untuk Balai Desa Condong Catur yang letaknya berseberangan dengan Terminal Condong Catur.

Bus terlanjur melaju pergi saat aku tersadar dan berpikir untuk naik lagi. Akupun bingung harus ke mana, naik apa? Kalaupun bertanya kepada siapa?

Sempat hendak menyerah untuk naik becak saja tapi akhirnya datanglah keberanian itu. Kepada seorang yang berdiri tak jauh dariku, aku bertanya, ?Mas, mau tanya.. kalau mau ke IAIN Sunan Kalijaga naik jalur berapa ya??

?Jalur 7, Dik??

?Nyegatnya dari mana??

?Dari sini, aku juga mau naik bus yang sama??

Fiuhhh! Lega!!!

Balai Desa Condong Catur – Wisma Ampel 2

Tak seberapa lama kemudian bus pun datang dan aku segera naik dan masuk ke dalamnya.

Bus kali itu benar-benar beda dengan bus yang kutumpangi sebelumnya. Lampu kabin begitu redup, penumpang penuh berjejalan dan aku harus berdiri gencet-gencetan di antara penumpang lain, bergumul dengan bau abab serta keringat penguk mereka.

Tiba-tiba terbersit rasa sesal saat itu.

Kenapa? Kenapa aku mesti pindah ke Jogja? Hanya supaya dapat status ?Anak Jogja?? Hanya supaya semua orang menaruh hormat karena aku anak De Britto?

Huh! Bayangkan jika aku memilih untuk tetap bersekolah di Kebumen! Jam-jam segini biasanya aku sudah mandi dan ongkang-ongkang kaki sambil nonton siaran televisi ditemani teh panas manis dan pisang goreng bikinan Mama!

Tapi perjuanganku usai saat aku turun di IAIN Sunan Kalijaga. Dari situ aku jalan ke arah utara hingga akhirnya sampai di Wisma Ampel 2.

Berbeda dengan pemandangan di siang hari, sore itu suasana wisma lebih ramai dengan para penghuninya. Di sana-sini terdengar suara orang mandi. Ada yang memutar musik keras-keras baik dari radio maupun tape player ditingkahi beberapa anak yang ikutan bernyanyi.

Aku segera masuk ke pintu garasi menuju kamarku, Kamar 34B.

Tiba di depan pintu, aku mengeluarkan kunci. 

Belum sempat memutar gagang kunci, tiba-tiba pintu dibuka dari dalam. Seorang pria berpawakan sedang dengan senyum ramah mengulurkan tangan dan menyapaku, ?Halo, kamu Donny ya??

Aku tersenyum, menjabat tangan dan membalasnya, ?Iya, kamu Heribertus??

?Panggil saja aku Heri, Don!? jabatnya erat.

(Beberapa hari sebelum merilis tulisan ini, aku sempat kembali menghubungi Heribertus melalui WhatsApp untuk iseng bertanya bagaimana kesannya dulu ketika pertama kali melihatku sore itu. Ia bilang bahwa hal yang paling diingat adalah model belahan rambutku hahaha! Waktu itu rambutku agak merah ?dari sononya?, tipis, lurus dan kubelah pinggir/sisi dengan jidat yang lebar!)

Me & Heribertus

Keterangan foto: Aku (berkacamata) dan Heribertus pada pertemuan 2008 yang lalu

Tak lama kemudian akupun mandi.?

Sesudahnya, semalam-malaman aku ngobrol dengan Heri tentang banyak hal. Menjelang jam 12 malam, aku jatuh dalam lelap.

Tidur yang tidak nyaman, sebentar-sebentar bangun hingga sekitar jam 4 pagi aku benar-benar tak bisa tidur lagi. Aku hanya bisa memandangi langit-langit kamar menunggu waktu menjelang pagi.

Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup aku merasakan rindu terhadap Papa, Mama dan Chitra, adik semata wayangku. Rindu yang kuat? terlampau kuat?

Sydney, 9 Juni 2020

*Tentang Jogja?adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. Rindu “merintih tersedu-sedu” selalu setia menemanimu hingga kini sebab kamu adalah buah rindu.

    Balas
    • Ah, indah :)

      Balas
  2. jauh dimata tapi dekat di hati.

    Kesadaran akan rasa kangen baru terasa saat berjauhan

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.