Tentang Jogja (4): Klaten – Janti – De Britto

3 Jun 2020 | Cetusan

Pagi-pagi benar, dari Klaten kami berangkat ke Jogja untukku mendaftarkan diri sebagai siswa baru ke SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Kali itu kami tak hanya berdua. Mama minta tolong Mas Momok, adik Mama yang tinggal di Solo untuk menemani kami. Mas Momok adalah mantan frater. Menurut Mama, adik lelakinya itu tentu bisa banyak membantu kalau diperlukan nantinya, ?Yo sopo ngerti kowe kenal Romo-ne De Britto to, Mok hehehe? You know lah maksud Mamaku tertawa nggleges ?Hehehe? itu?

Janti – De Britto

Kami naik bus lalu turun di Janti.?

Dari sana, kali itu kami naik taksi yang mengantar hingga tepat di depan gerbang De Britto. Keadaan di sana lebih ramai dari hari kemarin tapi tetap tak ada apa-apanya dibanding kemruyuknya orang-orang di depan gerbang SMA 3 dan SMA 6.

Aku segera mengambil formulir pendaftaran dan mengisinya dibantu Mama sementara Mas Momok mencoba mencari kenalan, tak lama kemudian ia datang, ?Mbak Tyas, jebul romo pamong-e ki kancaku neng Mertoyudan (Seminari Menengah Mertoyudan) ndhisik hahaha?.?

Mendaftar masuk di De Britto waktu itu sangatlah berbeda dengan mendaftarkan diri di sekolah lain. NEM tentu saja diperhitungkan tapi bukan jadi yang utama karena nyatanya ada banyak yang ber-NEM tinggi tak diterima, sebaliknya ada yang NEM-nya jauh lebih pas-pasan dariku tapi diterima.

Lalu apa yang mempengaruhi? 

Wawancara!
Proses pendaftaran tidak hanya mengumpulkan formulir dan berkas. Pendaftaran adalah menghadap tim pewawancara untuk diuji kelayakannya. Para calon siswa juga tak perlu menunggu terlalu lama karena di hari yang sama mereka akan diberi tahu? adakah ia diterima, ditolak atau dijadikan cadangan.

Pak Sukris – Pak Mantri (Diduk)

Seperti aku siang itu. Setelah menunggu kurang lebih satu jam aku dipanggil masuk ke ruangan kelas. Dua orang yang lantas kutahu adalah Pak Mantri (Diduk) dan Pak Sukristiyono. Keduanya guru Matematika. Hingga lulus, aku tak pernah diajar oleh Pak Mantri. Tapi Pak Sukristiyono lantas jadi guru yang amat dekat denganku secara personal hingga saat ini. Ia dan aku sama-sama asli Klaten dan dua puluh enam tahun kemudian kami baru tahu bahwa ternyata ia adalah kawan sekolah tanteku, Mbak Susana,? di SMA 2 Klaten!

Di menit awal-awal, mereka berdua membolak-balikkan buku rapor SMP-ku.

?Nilaimu waktu kelas 1 SMP bagus tapi kok lama-lama? jeblok ya? Kebanyakan dolan opo pacaran ki?? tanya Pak Mantri sambil tersenyum.

Aku diam tak bisa menjawab apa-apa tapi lantas kujawab sekenanya, ?Hmmm, sibuk ikut lomba nyanyi, Pak!?

Meski tak bagus-bagus amat, tapi suaraku dulu memang kerap dipakai sekolah untuk mewakili lomba menyanyi mulai dari tingkat rayon, kabupaten hingga propinsi! Tapi meski begitu apa yang kukatakan ke Pak Mantri sebagai jawaban itu adalah bohong belaka! Kerap tak berarti lantas aku kehilangan konsentrasi belajar. Nilaiku jeblok ya karena aku malas belajar dan terlalu banyak keluyuran bersama kawan-kawanku.?

?Jal kowe nyanyi saiki? Apik opo ora suaramu?!? Pak Sukris meminta.?

Aku lantas bernyanyi penggalan reffrein lagu Untukmu-nya Tito Sumarsono yang baru-baru itu kupakai dalam lomba karaoke di Kebumen dan aku menang juara 2.

Mereka berdua tersenyum, ?Wah, suaramu empuk yo!?

Tak lama kemudian wawancara pun berakhir. Jika ditotal tak sampai 20 menit panjangnya. ?Kamu sekarang keluar. Naik ke atas ke ruang guru membawa kertas ini. Tunjukkan kepada petugas di sana lalu tunggu panggilan untuk wawancara berikutnya.?

Segera sesudahnya aku keluar. 

Mama yang duduk di emperan kelas bersama Mas Momok bertanya, ?Piye, Le??

?Dikon munggah, Ma?? ujarku.?

Mama tersenyum sambil mengangkat jempolnya. 

Kecut – Opang – Gama

Segera aku naik ke atas dan di atas yang kemudian kukenal sebagai ruang guru sudah ada beberapa anak yang duduk di bangku yang dipasang melingkar. 

Aku duduk bersebalahan dengan seorang anak yang berpawakan gemuk dan berkulit legam. ?Namamu siapa? Dari mana?? tanyanya padaku. ?Donny, dari Kebumen. Kamu??

Ia menjabat tanganku, ?Ario. Aku dari Sukoharjo? Anak itu lantas kukenal sebagai Ario Nirmolo, teman sekelas yang lebih akrab dipanggil sebagai Kecut.

Tak lama kemudian datang dua orang lain. Yang satu bernama Opang Christian dan yang satu lagi bernama Gama Mahendra. Keduanya dari Jogja tampak dari kesantaiannya dan tentu tutur katanya. Dari mereka pula akhirnya hari itu aku mulai mengenal istilah-istilah Basa Walikan khas Jogja dan belajar mengucapkannya. Di tahun pertama, aku satu kelas dengan Opang di 1-6. Tapi di tahun kedua, Opang dan Gama, keduanya tinggal kelas.?

Setelah lulus SMA, Opang melanjutkan studi fotografi ke Institut Seni Indonesia (ISI) lalu berprofesi sebagai fotografer. Di awal tahun 2000 saat aku mengelola GudegNet, salah seorang wartawanku berkata, ?Mas Donny, dapat salam dari yang punya Parkir Space!?

Parkir Space adalah sebuah ruang seni yang kerap mengadakan acara-acara seni dimana wartawanku kerap meliputnya. Wartawanku tak mau menyebut nama, ?Mas Donny disuruh ke sana sendiri!? Beberapa waktu kemudian aku menyempatkan main ke sana dan ternyata orang itu adalah Opang!

Tahun 2018 silam, Opang Christian meninggal dunia. Setahun kemudian, 2019, Gama, sahabat Opang yang setelah lulus berprofesi sebagai designer juga berpulang ke Rumah Bapa.

Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya aku mendapat panggilan masuk.

Pak Pratolo – Romo Yudho

Dari label yang ada di atas pintu masuk, tertera ?R. Kepala Sekolah?.?

Di dalam sudah ada dua orang. Yang satu berkulit putih, berumur sekitar 35 tahunan berkacamata dan berjenggot tipis. Gaya bahasanya lugas dan nadanya cukup agresif. Matanya tajam menatap lawan bicara? dengan dagu agak ditarik ke atas. Orang itu lantas kukenal sebagai Romo Yudho. Romo Pamong yang tadi disebut Mas Momok sebagai orang yang dikenalnya sejak di Seminari Mertoyudan. Dalam tiga tahun sekolah di sana, ada banyak cerita yang akhirnya terjadi antara aku dengan romo itu. Nanti deh kuceritakan satu per satu :)?

Yang satu lagi seorang yang kalem dan lemah lembut. 

Cara bicaranya sangat kalem dan berusia sekitar 50 tahun waktu itu. Setelahnya kukenal dia adalah Pak Pratolo, kepala sekolah waktu itu.

?Kowe teka karo sopo?? tanya Romo Yudho.

?Datang bareng Mama dan Om?? jawabku.

?Halah, wong jawa kok nganggo Mama, nganggo Om? Ibu lan Paklik!? cetus Romo Yudho.?

Aku menunduk.

?Kowe arep sekolah opo arep ngisruh neng De Britto?? tanya Romo Yudho lagi.

?Nggih sekolah, Pak?.? waktu itu aku belum tahu kalau dia adalah seorang romo.

?Ya kalau sekolah di sini kamu harus belajar rajin supaya nilaimu nggak melorot, Donny!? sahut Pak Pratolo dengan nada yang berbanding terbalik dengan Pak.. eh Romo Yudho.

Tak lama kemudian mereka lantas memberiku kertas dan aku disuruh keluar. ?Ehmm.. maaf, boleh tanya?? tanyaku.

?Takon opo meneh?? jawab Romo Yudho kali ini dengan senyum tersimpul tipis.

?Apakah saya jadinya diterima atau tidak di De Britto??

?Lha karepmu piye? Kamu mau sekolah di De Britto atau enggak?? tandas Romo Yudho lagi. Aku bingung.

Pak Pratolo tersenyum lalu buru-buru menyela. ?Ya! Kamu diterima, Donny. Itu kertas berisi undangan untuk orang tuamu. Mereka harus datang untuk wawancara keuangan untuk menentukan SPP dan sumbangan yang harus dibayar??

Girangku bukan kepalang waktu itu! 

Bukan girang karena semata diterima di De Britto tapi karena dengan diterima di sekolah itu, apapun namanya? pokoknya aku sekolah di Jogja!

De Britto – Jl Perwakilan – Kebumen

Sore itu di depan gerbang De Britto , kami berpisah dengan Mas Momok. Ia pulang ke Solo sementara aku dan Mama naik becak kembali ke Jl Perwakilan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Kebumen menggunakan travel.

Perjalanan terasa begitu menyenangkan. 

Tak lama duduk, akupun jatuh dalam tidur. Di sana, sang gebetanku muncul kembali. Wajahnya kali itu murung dan rambutnya acak-acakan! Ia memegang kedua pundakku dan mengoncang-goncangkannya .?Jadi kamu ninggalin Kebumen dan aku??

Aku terbangun dan tersadar sudah berada di pangkuan Mama yang terjaga. ?Mama ora bobo??

Ia menggeleng mencoba tersenyum.
Dari sudut matanya tampak bening kaca-kaca. Tangannya dielus-eluskan ke kepalaku. Sesekali ia menatapku, sesekali ia memandang ke jalan, menerawang?

Beberapa tahun sesudah kejadian itu aku baru tahu, Mama sebenarnya cukup berat untuk melepaskanku. Dua puluh tiga tahun sesudahnya saat Mama meninggal dunia, giliranku yang tersadar betapa singkat waktuku untuk benar-benar bisa berinteraksi dengan Mama sebelum akhirnya ia pergi…

Sydney, 3 Juni 2020

*Tentang Jogja adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.

Sebarluaskan!

6 Komentar

  1. Padamu aku menyaksikan biji yg bersemi tumbuh subur dan mulai berbuah.
    Tuhan membawa meletakannya ditanah dan linkungan yg baik.
    Biji itu menanggapi smua itu menjadi bakal pohon yg unggul dan kuat….berbuahlah berlimpah untuk banyak orang

    Kok spt Mazmur 23

    Balas
    • Wah!
      Maturnuwun, Pak Sukris! Sungkemku untukmu!

      Balas
  2. Kalimat pertama di paragraf terakhir tersebut, menarik bagiku.
    “Beberapa tahun sesudah kejadian itu aku baru tahu, Mama sebenarnya cukup berat untuk melepaskanku.” (bad. Lukas 2:19)

    SIMBOK
    (asihe nombok-nombok)

    le jupukno lenga klentik segayung
    nduk tukokno lombok selangkung
    simbok arep gawe oseng kangkung
    sing dadi panjaluke mbah kakung

    subuh katabuh pawon kapasung
    dening eluh sihe ibu kelangkung
    brojol bayi katandhang sibiyung
    luhure Gusti swarga kejangkung

    Matur nuwun mas Donny.

    Balas
    • Wah, maturnuwun, Mas Guru!

      Balas
  3. Jebul e kelas 1 nya sak kelas yoo,
    1-6 ??

    Balas
    • lha, kowe lali?

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.