Hari ini, 30 September 2023, adalah hari yang begitu berarti! Lima belas tahun yang lalu adalah hari terakhirku tinggal di Jogja setelah lima belas tahun tinggal di dalamnya. Aku pindah dari Kebumen ke Jogja sejak 15 Juli 1993. Aku keluar dari Jogja pada 30 September 2008 untuk sebulan di Jakarta lalu pindah ke Sydney.

Hari itu adalah H-1 sebelum Lebaran. Seperti biasa, setelah bangun pagi di kamar kost, aku segera gosok gigi dan pergi ke Novotel Hotel untuk berolahraga lalu mandi. Yang luar biasa, karena itu hari terakhirku di Jogja, aku akan berpamitan dengan kawan-kawanku yang selalu berolahraga bersama juga resepsionis dan para trainer yang sudah menjadi kawan akrabku dalam beberapa tahun belakangan.
Barang-barang di kamar kost sudah kumasukkan kembali ke koper. Peralatan mandi sudah kubuang. Spring bed sudah kutegakkan siap untuk diangkut ke Klaten. Aku sudah booking mobil dengan bak terbuka untuk membawa barang-barang itu ke Klaten siang itu.
Setelah selesai olahraga dan pamitan inginku pergi ke Lotek Colombo tapi sudah barang tentu tutup lagi-lagi karena jelang Lebaran. Satu-satunya pilihan yang masuk dalam list ‘makanan enak’ dan masih buka ya rumah makan khas batak milik Om Ucok di Condong Catur.
Setelah makan siang, sekitar jam 2, aku ditelpon oleh sopir mobil yang akan mengantarkan barang-barangku ke Klaten. Aku bergegas balik ke kost. Perjalanan dari Condong Catur ke kost di Jl Ampel yang biasanya makan waktu lama, kali itu, karena lebih lama lagi karena sekujur Jl Gejayan (Jl Affandi) padat merayap!
Sesampainya di kost, mobil sudah bersiap di depan. Aku segera menginstruksikan sopir untuk mengambil barang-barang dan mengangkutnya ke bak mobil.
“Mas Donny sekalian ke Klaten, kan?” tanya sopir.
“Enggak! Aku mau jalan-jalan dulu. Di rumah udah ada adik dan Papa Mamaku! Nanti tolong diturunin sekalian ya?” Aku mengulurkan uang sebanyak yang ia minta. Setelah mobil pergi, aku mengetuk pintu kamar pemilik kost untuk pamitan.
“Wah, Mas Donny udah siap hari ini ya pindahannnya?” ujar Si Cicik pemilik kost.
“Iya, Cik! Hmmmm… makasih banyak ya. Maaf kalau aku gak pernah ada di kost. Maaf kalau aku selalu datang malam trus paginya udah pergi lagi…”
“Oh nggak papa, Mas… kita tahu kok…”
“Ya wes, aku pamit dulu Cik! Tuhan berkati ya…”
“Iya, Mas Donny! Selamat jalan…” Kunci kamar kuserahkan kembali dan sejak saat itu sejatinya aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi di Jogja :)
Menjelang sore, aku mengendarai sepeda motor berkeliling Jogja. Ketika aku menulis berkeliling itu memang literally berkeliling. Aku tak punya tujuan! Tujuanku berkeliling mengitari kota yang begitu sangat kucintai dan memberikan arti bagiku. Ulasan kenangan demi kenangan keluar tanpa permisi setiap melewati sudut demi sudut kota. Ada rasa sedih yang teramat sangat bercampur aduk dengan rasa lega yang menyeruak menandai akhir dari satu masa dalam hidupku untuk kemudian membuka masa yang baru.
Menjelang lindapnya sang mentari ke ufuk barat, aku mencoba menelpon dua orang yang dalam tahun-tahun terakhirku begitu dekat denganku, Martho dan Viktor. Inginku ngopi dengan mereka sekalian pamitan.
Berkali-kali aku menelpon Martho tidak diangkat. Pesan terkirim, tidak dibalas.
Berkali-kali aku menelpon Viktor pun demikian. Pesan terkirim, sempat tidak dibalas hingga akhirnya menjelang jam tujuh malam ia membalas, “Ya, Mas! Piye?”
“Ngopi!” balasku singkat.
“Mangkat!” jawabnya.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi di sekitar Selokan Mataram. Barangkali kedai itu adalah sedikit dari yang masih buka mengingat malam itu adalah malam takbiran.
Bertemu dengan Viktor (dan juga Marto) itu selalu menyenangkan. Selalu ada diskusi ngayawara, antah-berantah yang kadang berakhir dengan kami saling diam sekian lama karena tak juga menemui kata setuju pada topik yang dibicarakan!
Tapi malam itu kami lebih banyak membiarkan suasana lengang menguasai pertemuan.
“Piye perasaanmu, Mas?” tanya Viktor.
“Ya sedih, Tor! Lima belas tahun jhe…” balasku.
“Tapi kan besok ketemu Mbak Joyce di Jakarta trus merit trus pindah Sydney…”
Aku hanya mengangguk…
Menjelang jam 9, kedai sudah hendak tutup kami pun bergegas.
Berjalan beriringan ke arah parkiran, Viktor berujar, “Mas, sorry banget aku gak bisa nemenin kamu naik motor sampai Klaten karena aku harus kembaliin motor ke temanku jhe…”
“Iya Tor! Nggak papa! Aku malah yang makasih banget udah mau jadi sahabatku selama ini dan malam ini kamu adalah orang terakhir yang kutemui untuk nongkrong bareng di Jogja!”
Aku menjabat tangan Viktor erat dan memeluknya cukup lama. Ia mengiringiku hingga ke perempatan Condong Catur. Di perempatan lampu merah, dia membuka kaca helm, “Ati-ati yo, Mas!”
Aku hanya mengangguk tak sanggup membalas kata dengan kata. Lampu hijau menyala. Viktor berlalu lurus ke arah Condong Catur, aku belok ke arah kanan menuju ringroad lanjut ke Maguwo, belok ke kiri langsung ke Klaten.
Sepanjang perjalanan, perasaanku tersayat-sayat. Meski sejatinya aku sudah cukup lama mempersiapkan hari itu sejak aku tak mau lagi mendengarkan Yogyakarta-nya KLa Project untuk sementara waktu tapi tetap saja nyatanya lebur berkeping-keping.
Sampai di rumah Klaten, Papa membukakan pintu.
“Kok nganti wengi, Le?”
“He eh.. macet takbiran, Pa…”
Rumah sudah sangat sepi karena Mama, Chitra dan Eyang sudah tidur. Hanya suara radio yang menyiarkan pagelaran wayang kulit tedengar lamat-lamat dari kamar Eyang.
“Pa…”
“Hmm?”
“Aku wes dudu wong Jogja meneh. Nuwun ya wes nyekolahke aku neng Jogja…”
Papa hanya tersenyum sambil menghisap rokok dalam-dalam….
*Tentang Jogja adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.
I enjoy to read your life journey.