Hingga awal tahun 1993, menginjak kelas 3 SMP, sebenarnya aku belum punya bayangan untuk melanjutkan studi ke Jogja. Ada banyak faktor yang membuatku berpikir demikian . Pertama, aku ini aslinya? mbok-mboken? alias ?anak mama?. Kedua, tinggal di rumah yang masih tergolong baru dan termasuk salah satu rumah modern di Kebumen kala itu membuatku merasa nyaman. Ketiga, aku sudah menemukan kawan-kawan yang asyik untuk bermusik, olahraga dan mencoba hal-hal baru termasuk yang sedikit menjurus nakal. Yang keempat, aku sudah mulai belajar punya gebetan! Cewek adik kelas, dua tahun di bawahku. Matanya indah, berhidung bangir berkulit langsat dan bibir tipis nan selalu basah (yang terakhir ini mungkin karena dia waktu itu pake kawat gigi sehingga sedikit-sedikit merasa perlu membasahi bibir supaya nyaman.. entahlah).
Tapi lagu Yogyakarta yang dirilis KLa Project mengubah semuanya!
Sebagai orang yang pernah tinggal di Jogja dan menemukan cinta di sana, Papa dan Mama merasa sangat tertambat hati dengan lagu bikinan Katon dan Adi tersebut. Setiap pulang kerja, Papa selalu memintaku untuk memutar lagu itu dari pita kaset. Saat sedang mendengar radio lalu tiba-tiba Yogyakarta muncul, Mama minta digedein volumenya dan seluruh isi rumah diminta diam supaya dia khidmat mendengarkan. Atau ketika video klipnya muncul di televisi, Papa langsung bilang, ?Ssstttt? meneng kabeh sik!? Lalu mulai berkomentar, ?Kuwi ngendi ya? Jokteng tho? Plengkung Gading! Kuwi makam ngendi yo?? Lalu Mama menimpali, ?Kuncen yak?e, Pa??
Aku sendiri, meski waktu itu baru bisa merangkai Jogja sekadar Malioboro, Jl Perwakilan, Toko LIman, Akur Optik dan Gardena tapi lambat-laun ikut ?teracuni? juga? Hingga suatu saat, di sebuah sore yang temaram, Papa bertanya, ?Le, kowe ra pengen sekolah neng Jogja??
Dan lucunya, aku yang semula punya empat alasan untuk tak pindah pun berubah, ?Yo pengen, Pa?? Dan Mama yang semula juga tak memberi ijin hanya diam saja larut dalam ketukan drum Ari Burhani di lagu Yogyakarta yang membius nan melodius itu!
Kami lantas sepakat, aku bisa ke Jogja kalau aku diterima di sekolah negeri terkemuka di sana. Definisi ke-termuka-an bagi Papa sederhana, kalau enggak SMA 1 Teladan ya SMA 3 Padmanaba!
Namun di hari kelulusan, NEM Ebtanas yang kuterima ternyata tak tinggi-tinggi amat! Saat Pra-EBTA, NEM ku sempat menyentuh 50 koma sekian tapi ketika EBTANAS hasilnya melorot jadi 47 koma sekian.
Dari hitungan kertas, aku tak mungkin masuk ke SMA 1 Teladan Yogyakarta. Tapi SMA 3? ?Ya dicoba sik, Le? sesuk awake dewe mangkat mrana..? begitu kata Mama mencoba membesarkan hatiku.
SMA 3
Keesokan paginya, tanpa mendengarkan lagu Yogyakarta kami pergi ke Jogja! Menggunakan travel yang biasa, kami langsung menuju ke SMA 3 yang letaknya ada di seberang Stadion Kridosono.
Di depan gerbang suasananya sangat ramai. Calon pendaftar serta orang tua kemruyuk mengitari pintu. Aku dan Mama mencari informasi tentang bagaimana mendaftar. Setelah mendapatkan formulir pendaftaran kami mengantri.
Tak lama kemudian, dua orang karyawan keluar membawa papan tulis berukuran besar berisi pengumuman tentang jumlah calon siswa yang mendaftar lengkap dengan NEM tertinggi dan NEM terendah serta kuota yang bisa diterima tahun itu.
Patahlah hatiku saat mengetahui bahwa jumlah pendaftar sudah melebihi kuota dan NEM terendah yang mendaftar adalah 49! Artinya? kalau aku nekat mendaftar, aku tetap tak kan bisa diterima!
Mama mencoba membesarkan hatiku, ?Wes ra popo, Le? Ayo golek sekolah liyane rasah nglentruk ngono??
Keluar dari gerbang SMA 3, kami mendapat informasi bahwa sekolah negeri terbaik setelah SMA 3 adalah SMA 6 yang letaknya di Terban, tak jauh dari SMA 3. Kami pun segera ke sana naik becak.
SMA 6
Sama seperti di depan gerbang SMA 3, pagi itu ratusan orang berkerumun di depan gerbang SMA 6.
Aku dan Mama mencoba meringsek masuk. Kali itu kami tak ingin antri. Kami memilih untuk mencari tahu informasi tentang kuota, jumlah pendaftar dengan distribusi NEM baru kemudian memutuskan untuk ikutan antri atau tidak.
Lagi-lagi hatiku patah!
NEM terendah yang ada di sana adalah 47 koma sekian tapi itupun sudah masuk ke kategori CADANGAN!
Aku dan Mama saling pandang, ?Piye, Le? Wani ndaftar apa ora??
Aku diam.
?Opo ora usah wae? Bali Kebumen wae ndaftar neng SMA 1 Kebumen??
Aku diam.
Karena tak kunjung menerima jawaban, Mama memelukku kami berjalan keluar. Pupus sudah harapan untuk bisa sekolah di Jogja! Tapi sebentar? tiba-tiba lagu Yogyakarta seperti berkumandang di kepala dan aku menghentikan langkah untuk bersuara, ?Ma, aku pengen sekolah neng Jogja wae!?
Mama bingung. ?Lha tapi sekolah neng endi? Nek sekolah sing biasa yo Mama wegah, Papa mesti mengko juga duka??
Aku mulai merengek, ?Ora? Pokokmen aku ora gelem sekolah Kebumen! Sekolah neng Jogja wae!?
Mama tahu betul sifat dan watakku. Kalau sudah keluar kata ?Pokokmen? adalah ?Pokokmen!?
Aku lantas berjalan sedikit meninggalkannya. ?Kowe arep neng endi, Le?? cegah Mama.
?Golek sekolah!? seruku.
Di depan gerbang, ada seorang tukang becak. Kepadanya aku lantas bertanya, ?Pak, sekolah Jogja sing sae pundi??
Si tukang becak itu lantas menyebut beberapa nama sekolah negeri, ?Nek swasta??
?Wah nek swasta kathah. Wonten MUHI (SMA Muhammadiyah Satu) wonten BOSA (SMA Bokpri Satu)? lan De Britto (SMA Kolese De Britto).?
Lalu tiba-tiba aku teringat pernah pergi ke depan De Britto bersama Mama, Papa dan Chitra tiga tahun sebelumnya dan akupun berkata pada Mama, ?Nyoba De Britto, Ma??
Siang itu kami naik becak ke De Britto.
Dalam perjalanan Mama tak henti membujukku, ?Le, wes ta, mulih wae. Sekolah De Britto ki mesti larang. Papa mesti mengko ora kersa lho???
Aku menggeleng, ?Pokokmen! Pokokmen! Pokokmen!?
Meski dalam hati aku juga sebenarnya tak yakin, apakah aku bisa masuk ke De Britto? Apakah orang tuaku sanggup membiayaiku sekolah di sana? Dan?. aku jadi ingat cerita Mama yang katanya murid-muridnya cowok semua dan gondrong-gondrong?! Adakah aku nanti dibully di sana karena aku bakalan jadi yang paling culun sendiri? Karena lebar jidatku, karena belah pinggir rambutku, karena berminyaknya wajahku dan karena tebalnya kacamataku? yang membuatku selama di SD dan SMP tak pernah dipanggil nama sendiri oleh teman-teman selain Buthak! Bathuk! Cunong! dan yang paling menyakitkan Botol alias botak tolol!
De Britto
Melewati batas kota hingga akhirnya sampai di gerbang De Britto, waktu sudah menunjuk pukul sekitar setengah dua siang. Tak banyak kerumunan seperti yang tampak di depan SMA 3 dan SMA 6 barusan.
Turun dari becak kami berjalan di samping pasturan/kapel De Britto. Masuk ke dalam melewati gedung baru yang lantas kutahu itu adalah perpustakaan dan laboratorium yang berseberangan dengan lapangan sepakbola. Sesampainya di loket, oleh seorang pegawai yang aku lupa orang dan namanya, kami diberitahu bahwa pendaftaran hari itu sudah hampir tutup.
?Besok aja ke sini lagi, Bu. Jam 9 gitu?? ujarnya bersahaja.
?Nggih, Pak. Neng niki anak kula ajeng mlebet sekedhap ndelok sekolah punapa kepareng, Pak?? tanya Mama yang lantas diiyakan oleh si bapak tadi.
Dari loket tadi aku masuk ke dalam kompleks kelas dan astaga? aku mendapat bayangan yang sama sekali berbeda dengan definisi sekolah yang kubayangkan selama ini!
Sekolah adalah kumpulan ruang tertutup bernama kelas, bukan?
Tapi di De Britto, tak ada satu kelas yang tertutup! Hanya ada tembok setinggi lebih kurang 1.5 meter, tanpa pintu apalagi jendela! Sekolah macam apa ini?!
Lalu di tengah, di bawah pohon yang rindang dan besar, beberapa lelaki gondrong bertampang dekil, berkemeja tapi bercelana jeans berkumpul bermain gitar. Sesekali mereka saling menertawakan satu sama lain adu keras dan aku ketakutan!
Lalu tiba-tiba saja, salah satu dari mereka mengetahui kehadiranku dan Mama di situ. Ia menghampiri sembari membawa kotak yang dijinjing. Aku makin ketakutan!
?Bu, anaknya mau mendaftar De Britto?? tanyanya sopan.
Mama menjawab canggung, ?Iya, Mas tapi besok. Ini anak saya mau lihat-lihat dulu saja? Nggak tahu dia suka atau tidak.?
Orang itu lantas mendekat kepadaku, ?Dik, beli kaosnya dulu aja biar semangat masuk De Britto!?
Aku menggeleng buru-buru karena takut dan melepaskan pandanganku darinya jauh-jauh. Orang itu adalah sosok yang lantas kukenal sebagai Antonius Tomy Trinugroho, ketua presidium (semacam OSIS) kala itu yang saat tulisan ini kurawi menjabat sebagai Deputy Managing Editor di Harian Kompas.
***
Melangkah keluar dari De Britto, sebenarnya aku tak punya nyali untuk melanjutkan niatku. Tapi di sisi lain aku tak punya pilihan kalau aku tetap berkeras ingin sekolah di Jogja.
?Le, ayo maem. Mama arep sisan neng wartel.?
Aku diam saja, hanya mengangguk.
Sore itu kami makan di warung makan yang letaknya tak jauh dari Batas Kota. Di warung makan itu ada beberapa bilik wartel dan Mama masuk ke sana menelpon Papa untuk memberitahu bahwa malam itu kami tak pulang ke Kebumen. Kami akan singgah di rumah Klaten supaya besok paginya bisa berangkat lebih santai dan sampai lebih cepat karena perjalanan dari Klaten ke Jogja toh hanya sekitar 30 menit saja.
Kepalaku pening karena telat makan.
Tiba-tiba muncul bayangan wajah gebetanku. Ia duduk ngelendot di sebelahku. Tangannya hangat menggenggam tanganku. Matanya yang lebar berubah sayu. Ada butir airmata di sudutnya. Hidungnya yang mbangir ditempelkan di pipiku dan bibirnya yang tipis nan basah menggapai-gapai daun telingaku., ?Pulang ke kotamu? Ini bukan kotamu, Donny. Pulang dan sekolah di Kebumen saja! Kita bisa jadian, kita bisa pacaran sepuasnya? Kalau kamu sekolah di Jogja, aku nyari yang dekat aja! Gak kuat lama-lama jauhan?.??
?Le! Kok ora ma?em? Malah ngalamun wae!? sergah Mama membangunkan lamunanku.
Aku bingung.
Sydney, 2 Juni 2020
*Tentang Jogja adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.
Ora wani komen, sebab De Britto salah ambil keputusan.
De Britto mengajarkan 1 hal penting ya Mas
Terima kekuranganmu sebagai kelebihannya
Njenengan mending gur diundang bathuk, tekan saiki nek kumpul isih ana sing nyeluk aku jemb** merga kriting, haha
Suoq..