Tentang Jogja (28): Semua berawal di kelas 2 Fis 4!

30 Jan 2023 | Cetusan

Tahun keduaku di SMA Kolese De Britto adalah tahun yang sangat menyenangkan. Berbeda dengan tahun pertama, duduk di kelas 2 aku belajar membuka diri dan bergaul. Aku ditempatkan di kelas 2.A1.4. A1 adalah kode untuk kelas dengan penjurusan Ilmu Pasti (Fisika). Untuk mempermudah penyebutan, kami dulu menggunakan istilah 2 Fis 4. 

Seingatku, tak terlalu banyak kawan sekelas waktu kelas satu yang berada di kelas 2 Fis 4. Satu orang yang kuingat, sosok yang biasa dipanggil Mr. Oen (kependekan dari Untu karena giginya yang tersebar secara tak beraturan) ada di kelas yang sama.

Ia kuingat betul ada di sana karena di hari pertama, Mr Oen yang asli Godean itu menarik lenganku dan mengajakku bicara.

“Thuk! Penting ki, mreneo!” ujarnya. Bathuk adalah panggilanku waktu itu.

Aku menurutinya. Lalu ketika tak ada yang mendengar, ia berbisik, “Si *&$^$^#& (nama samaran) metu!”

“Heh? Bukane deweke mlebu kelas Bio (Biologi alias A2)?”

“Metu sekolah, Su!” balas Mr Oen.
“Heh? Lha ngapa? Pindah ngendi?”

“Degel (meteng/hamil), Su!”
“Heh? Nyadhal (Lanang) kok degel??” balasku masih nggak ‘ngeh’.

“Socone degel, Asuwi!” Mr Oen agak gemes juga denganku, kepalaku ditoyornya keras-keras.

Tapi sekali lagi, karena lugu, aku masih tidak paham maksudnya. “Sek… maksudmu deweke metengi pacare?”

“He eh!” 

“Njuk saiki metu mergo tanggung jawab?”
“He eh!”

Aku masih terdiam lalu bertanya lugu,
“Sek-sek, lha kok iso degel?”
“Lha matamu! Yo kenthu tho yoo….”

Aku terdiam sementara Mr Oen terbahak-bahak….

Pengalaman menjadi yang pertama dan mula-mula karena sesudahnya aku menyadari bahwa ada beberapa kawan yang memang harus mengubah recana dan jalan hidup berbeda karena pacarnya hamil dan mereka harus bertanggung jawab. Enggg… kalian nggak perlu tanya kenapa hamilnya karena nanti ditoyor oleh Mr Oen dengan jawaban super-masuk-akal, “Kenthu to yooo…!”

OK, kita gak perlu bahas lagi soal si *&$^$^#&! Mari bahas suasana kelas 2Fis4.

Sebelum ke situ, seperti yang kutulis di bagian atas tulisan ini bahwa pengalamanku di tahun pertama di De Britto tidaklah menyenangkan. Hal ini lantas membuatku banyak melakukan introspeksi saat libur panjang kenaikan kelas.

Kenapa aku banyak dijauhi kawan sekelas? Karena aku tak mau berkawan dengan mereka.

Kenapa aku tak mau berkawan dengan mereka? Karena menurutku cara mereka bercanda dan berkawan itu nggak asik! Cenderung mengata-kataiku dan seolah menganggap aku ini ‘warga kelas dua’ karena jidatku yang lebar, rambutku yang tipis, wajahku yang berminyak dan berjerawat, kacamataku yang tebal dan banyak lagi.

Lalu?
Aku mengambil langkah berbeda. Demi kerasan di Jogja, demi punya banyak kawan aku mengubah strategi. Kenapa harus malu dikata-katai kalau nyatanya memang demikian? Kenapa harus diam ketika dibecandain karena toh kita bisa becandain balik supaya berimbang dan kita bisa akrab berkawan?

Dan… salah satu orang pertama yang kuajak berkawan adalah Wicaksono Cipto.

Bagiku ini perubahan yang cukup mencolokl mengingat aku orang yang sangat kuper waktu itu sementara Wicak yang adalah veteran (tidak naik kelas) adalah orang yang cukup punya nama di De Britto waktu itu.

Wicak asli Jogja, rumahnya di belakang Jalan Magelang. Orangnya usil dan usilnya kadang nyebelin. Tapi aku berusaha menempelnya karena pikirku sekalinya aku bisa ‘menaklukkan Wicak’ selanjutnya akan lebih mudah untuk berkawan dengan siapapun. Dan usahaku itu berhasil.

“Cak! Ajari golek cewek, Cak!” 
Aku berpikir perlu cari cewek apalagi setelah Si *&$^$^#& sudah berhasil menghamili pacarnya, aku merasa makin terlecut karena jangankan menghamili, punya pacar pun belum pernah barang sebiji!

Wicak yang punya kawan banyak di Stece pun bilang, “Yo ayo mengko melu aku tur aja ngisin-ngisini!” Aku hanya tertawa mendengar celotehannya!

Maka siang itu, sepulang sekolah, aku diboncengkan Wicak di atas motor Yamaha Force 1 modifnya. Dan benar dugaanku, kenalan cewek Wicak sangat banyak! Aku sampai bingung mau kenalan dengan yang mana dan saking bingungnya aku memutuskan untuk tak memperkenalkan diri. Sesuatu yang kusyukuri karena semua dari mereka tak memandangku melainkan Wicak.

“Temenku nih, Donny…” ujar Wicak.
Mereka cuma jawab, “Halo Donny!” dengan mata mengernyit dan bibir disenyum-senyumkan lalu melengos dan melanjutkan bicara ke Wicak…

Aku makin dekat dengan Wicak karena kami ternyata sama-sama suka bermusik. Menjelang bulan Oktober 1994, bersama Bernard, Kristanto dan Sudhar kami membuat band kelas bernama Eliminator. Untuk yang ini biar nanti kuceritakan secara terpisah ya…

Tak hanya soal cewek dan musik, aku dan Wicak akrab di kelas dalam arti sebenar-benarnya; tak bisa berhenti bicara ketika guru sedang menerangkan. Nggak salah kalau lantas Pak Widi Nugroho, guru wali kelasku waktu atau Pak (alm) Himawan sering memintaku untuk tidak duduk sebangku dengan Wicak!

Bersama Wicak aku juga pernah ngerjain seorang guru hingga beliau ketakutan dan nggak mau lagi mengajar di kelasku untuk sekian lama. Karena kelakuanku itu, nilai pelajaran Agama Katolik-ku merah di rapor padahal nilai ulangan agamaku baik-baik saja. Hal ini membuatku jadi bulan-bulanan oleh Eyang Putriku.

“Saru! Putune Guru Agama kok bijine lima! Abang!  Kowe ki ngisin-ngisini brayat! Kudu piye nek ngene iki?” 

Aku cuma pura-pura menunduk sedih waktu itu tapi setelah itu ya … i dont care wkwkwkw!

Suatu waktu, masih waktu duduk di Kelas Dua, seorang kawan yang pernah duduk di kelas satu dulu saat berpapasan tiba-tiba mendekat dan bilang, “Kamu sekarang beda banget, Don!”

“Oh ya?” tanyaku.
“Iya! Temenmu gentho-gentho kabeh! Kayaknya kamu juga jadi ikutan nakal ya?”

Aku diam sejenak lalu menyangkal diri, “Ah enggak! Paling banter ngerokok dan minum! Aku belum senakal dia yang alim tapi jebul menghamili pacarnya itu…Enggg… enggak kok aku nggak nakal! Kancaku sing nakal, aku ora hahaha…”

Perkawananku dengan Wicak menjadi salah satu perkawanan yang penting yang mengubah hidup.

Di kelas tiga kami kembali sekelas dan Wicak adalah sedikit dari kawan bersama aku, Alvon dan Kelik yang berani berangkat ke Jakarta untuk manggung di SMA Kolese Gonzaga. Padahal waktu itu kami sudah diperingatkan untuk tidak berangkat karena tidak diberi ijin oleh Romo Pamong. Ini kuceritakan nanti di tulisan lain ya karena seru abis!

Aku (memainkan gitar) dan Wicak di kantor pertama Citraweb Nusa Infomedia, awal 2000
Aku (tengah) dan Wicak dalam sebuah pameran. Kami mewakili GudegNet, produk pilar milik Citraweb waktu itu…

Di tahun 2000, aku mengajak Wicak untuk bergabung menjadi pendiri Citraweb Nusa Infomedia bersama Valens, Riza dan alm. Iwan dan melalui Wicak pula, di tahun yang sama, akhirnya aku dikenalkan dengan seseorang yang kemudian menjadi pacar selama delapan tahun sesudahnya, sebelum akhirnya kunikahi menjadi istri dan menjadi menjadi ibu dari kedua anakku, Joyce Taufan.

Semua berasal dari sudut kelas 2 Fis 4!

*Tentang Jogja, adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.